Jumat, 29 Maret 2013

PERJALANAN PENYAKIT DAN DIAGNOSIS INFEKSI HIV


Pendahuluan
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di Amerika Serikat. Pada tahun 1983 berhasil diisolasi HIV yang kemudian diketahui sebagai penyebab AIDS. Sampai sekarang sekitar 30 juta orang di dunia terinfeksi HIV. Setiap hari terjadi 7500 infeksi baru. Meski kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat, dewasa ini kasus terbanyak dijumpai di Afrika. Di Asia jumlah kasus infeksi HIV  terus bertambah dan diperkirakan di masa depan, jumlah infeksi HIV terbanyak akan terdapat di Asia.
Di negeri kita secara resmi kasus HIV pertama kali dilaporkan pada tahun 1986. Sampai akhir bulan Juni 1996 menurut Departemen Kesehatan terdapat 407 kasus infeksi HIV/AIDS. Jumlah infeksi HIV/AIDS di masyarakat diperkirakan jauh lebih banyak. Menurut perhitungan Linnan dan Kosen sampai tahun 1995, jika penularan terjadi dengan derajat menengah maka telah terdapat 170.000 orang yang terinfeksi HIV di Indonesia. Sebagian ahli menganggap angka ini terlalu tinggi, tetapi yang jelas angka infeksi HIV di negeri kita terus meningkat.

Variabilitas Virus
Dewasa ini dikenal dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar infeksi HIV disebabkan HIV-1, infeksi oleh HIV-2 didapatkan di Afrika Barat. Infeksi oleh HIV-1 maupun HIV-2 memberi gambaran klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV-1 lebih mudah ditularkan dan masa sejak mulai infeksi sampai timbulnya penyakit lebih pendek.
Sampai saat ini dikenal sekitar 10 subtipe HIV-1 yaitu subtype A sampai J. Di samping itu juga dikenal subtype O (outliers). Subtype B banyak ditemukan di Amerika, Eropa, Jepang dan Australia.
Subtype A dan D dominan di Afrika sub-Sahara. Subtype C di Afrika Selatan dan India. Subtype E di Thailand dan Negara Asean lain. Di Brasil banyak ditemukan subtype F, sedangkan subtype G dan H banyak ditemukan di Rusia dan Afrika Tengah. Subtype I di Siprus serta subtype O di Kamerun.
Subtype virus mungkin berhubungan dengan cara transmisi. Subtype B biasanya ditemukan di kalangan orang yang terinfeksi melalui cara hubungan seks secara homoseksual dan pecandu narkotik suntikan. Sedangkan subtype E dan C banyak didapati pada orang yang terinfeksi melalui hubungan heteroseksual. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan subtype C dan E menginfeksi sel-sel Langerhans dan virus subtype ini melakukan replikasi secara efisien di sini. Fenomena ini dapat menerangkan cara penularan subtype C dan E melalui hubungan heteroseksual karena sel-sel Langerhans banyak terdapat di mukosa vagina, serviks dan mukosa kulit penis. Sel-sel ini tidak ditemukan pada rektum.

Perjalanan Penyakit
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% pasien akan mengalami gejala yang disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia,pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada sebagian orang infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun. Sindrom ini biasanya bersifat transient dan akan menghilang dalam beberapa minggu. Pada masa ini konsentrasi virus (antigen virus) dalam darah tinggi. Respons imun tubuh baik yang bersifat non spesifik maupun spesifik (humoral dan selular) bekerja cukup efisien sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat diturunkan. Viral load dalam darah akan menentukan apakah infeksi HIV akan berjalan progresif atau lambat. Pemahaman mengenai viral load ini berakibat pada perubahan strategi terapi. Penurunan viral load secara dini dan nyata diperlukan agar penyakit tak berjalan progresif. Karena itu pemeriksaan viral load penting untuk menentukan prognosis dan pemantauan perjalanan penyakit. Setelah melalui infeksi primer pasien masuk ke dalam masa tanpa gejala.
Semula diperkirakan masa tanpa gejala merupakan masa tenang, tetapi kemudian diketahui bahwa virus terus berkembang biak secara progresif di kelenjar limfe. Masa tanpa gejala ini cukup panjang, di Negara maju umumnya sekitar 10 tahun. Meski secara klinis tenang pada masa tanpa gejala secara bertahap terjadi penurunan kekebalan tubuh. Jumlah CD4 yang pada mulanya sekitar 1000, pada tahun pertama infeksi turun 100 dan setiap tahun berikutnya terus turun sekitar 60/tahun. Bila jumlah CD4 mencapai 200 merupakan jumlah yang kritis karena pada jumlah ini infeksi oportunistik sangat mudah terjadi. Pasien masuk ke fase full blown AIDS.
Pada fase AIDS ini HIV yang semula berkembang biak dikelenjar limfe ditemukan kembali dalam jumlah yang tinggi di darah. Pada fase AIDS pasien mengalami infeksi oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan HIV (sarcoma Kaposi, limfoma, karsinoma serviks). Pasien biasanya akan meninggal akibat infeksi oportunistik atau kanker.
Pola infeksi oportunistik di Amerika dan Eropa agak berbeda dengan di Asia. Di Amerika banyak ditemukan Pneumonia Pnemocystis Carinii (PPC), sedangkan di Asia tuberkulosis dan jamur. Infeksi oportunistik oleh jamur Penicillium marneffii yang sering terjadi di Thailand tidak ditemukan di Eropa maupun Amerika. Di Jakarta infeksi oportunistik yang sering dijumpai adalah jamur, tuberkulosis, CMV, toksoplasma dan herpes.
Untuk memantau perjalanan penyakit infeksi HIV selain gambaran klinik diperlukan pemeriksaan penunjang. Salah satu parameter yang sering digunakan dalam pemantauan infeksi HIV adalah jumlah CD4. Parameter ini sebenarnya baik digunakan pada tahap penyakit lanjut. Pada tahap infeksi awal digunakan tiga prediktor yaitu viral load, fenotip virus (Sincytia Inducing dan non Syncitia Inducing), disfungsi sel T serta jumlah CD4. Gabungan prediktor-prediktor ini lebih baik untuk menduga perjalanan penyakit yang akan dialami oleh orang yang terinfeksi HIV. Pasien yang mempunyai viral load tinggi, fenotip SI, respon sel T menurun dan jumlah CD4 rendah mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Pada umumnya dianggap semua orang yang terinfeksi HIV akan masuk dalam fase AIDS. Beberapa tahun terakhir ini mulai bermunculan laporan tentang pasien yang perjalanan penyakitnya tidak sesuai dengan perjalanan penyakit yang biasa. Dilaporkan kelompok pasien (sekitar 5%) meski sudah terinfeksi HIV 10 tahun lebih tidak masuk dalam fase AIDS. Orang-orang ini dimasukkan ke dalam kelompok long-term survivor. Pada kelompok ini terdapat kelompok kecil yang tidak mengalami penurunan CD4 meski infeksi HIV telah berlangsung 7 tahun lebih, tetapi sebagian besar mengalami penurunan CD4 meski sangat lambat dibandingkan dengan infeksi HIV pada umumnya. Penelitian mengenai kelompok long-term survivor ini banyak dilakukan dan difokuskan pada faktor virus dan faktor host. Laporan lain yang menarik perhatian adalah hilangnya HIV dari tubuh pasien pada 9 bayi di Eropa yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV. Sekitar 15-30% bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV akan tertular HIV. Pada 9 orang bayi tersebut setelah dibuktikan mereka tertular HIV dengan cara biakan virus atau deteksi antigen virus dengan PCR ternyata kemudian HIV dapat menghilang dan bayi tetap dalam keadaan sehat. Kemampuan tubuh untuk melenyapkan HIV pada sejumlah bayi ini membuka harapan baru untuk keberhasilan pengobatan. Pada kongres AIDS sedunia di Vancouver dilaporkan pengobatan kombinasi (2 macam obat inhibitor reserve transcriptidase dan satu macam inhibitor protease) ternyata dapat menurunkan viral load sampai batas tak terdeteksi (kurang daripada 500 kopi/cc) dalam waktu yang cukup lama sehingga menyerupai keadaan long-term survivor. Keadaan ini menimbulkan optimisme di kalangan peneliti karena pengontrolan infeksi HIV secara klinis agaknya akan dapat dicapai. Tantangan yang dihadapi adalah apakah kombinasi ketiga obat tersebut akan menimbulkan resistensi.

Diagnosis
Dengan memahami perjalanan penyakit infeksi HIV maka sebenarnya diagnosis infeksi HIV tidaklah sulit ditegakkan. Pada masa tanpa gejala yang perlu adalah kecurigaan kita bahwa orang yang kita hadapi mungkin tertular HIV. Ini baru dapat dicapai bila kita mengetahui dengan baik latar belakang pasien termasuk perilaku yang berisiko. Hubungan dokter-pasien sangat penting untuk sampai kepada keputusan melakukan pemeriksaan HIV. Pada fase AIDS karena sudah ada manifestasi klinik maka di samping perilaku berisiko, gejala klinik dapat menuntun kita untuk menegakkan diagnosis HIV. Penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang ditetapkan oleh WHO sebagai indikator untuk diagnosis AIDS dapat bertambah dan revisi diagnosis AIDS dilaksanakan secara berkala. Penyakit-penyakit yang dewasa ini digolongkan sebagi indikator adalah: kandidiasis (esofagus, trakea, bronchus atau paru), koksidiomikosis (diseminata atau luar paru), kriptosporidiosis (dengan diare sebulan lebih), sitomegalovirus (kecuali hati, limpa dan kelenjar limfe), ensefalopati (AIDS dementia), herpes simpleks (dengan ulkus sebulan lebih atau pneumonitis, esofagitis), histoplasmosis (diseminata atau luar paru), isosporiasis (dengan diare sebulan lebih), tuberkulosis, PCP, Pneumonia rekuren dalam satu tahun, ensefalopati multifocal progresif, toksoplasmosis otak, sindrom pengurusan berat badan (penurunan 10% dalam 1 bulan). Selain itu kanker yang berhubungan dengan HIV juga merupakan indikator.
Pemeriksaan tes anti HIV meski sederhana dan mudah dilaksanakan hendaknya dalam pelaksanaannya dipahami benar-benar karena pemeriksaan ini mempunyai peran besar dalam menetapkan diagnosis infeksi HIV.
Pemeriksaan tes antibodi perlu disertai dengan konseling sebelum pemeriksaan (pre test counseling). Ini perlu dilakukan karena orang yang akan diperiksa perlu memperoleh informasi yang cukup sebelum dia memutuskan untuk mengikuti test. Dia harus memahami arti tes positif dan negatif, masa jendela, keadaan yang mungkin dihadapi bila hasil tes positif atau negatif. Sewaktu menyampaikan hasil tes juga perlu dilakukan konseling (post test counseling) agar pasien dapat menerima kenyataan bahwa hasil tesnya negatif atau positif. Pasien harus melaksanakan tes atas kehendak sendiri dan kerahasiaan hasil tes harus terjamin.
Sikap masyarakat terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Jakarta belum sepenuhnya mendukung, beberapa kasus mengalami pengucilan, pemberhentian hubungan kerja serta berbagai bentuk diskriminasi lain.
Untuk menetapkan hasil tes sebagai positif di Indonesia saat ini dilakukan tiga kali pemeriksaan, biasanya pemeriksaan pertama dan kedua dengan metoda aglutinasi atau Elisa. Bila kedua tes menunjukkan hasil positif maka dilakukan tes konfirmasi dengan Western Blot. Bila hasil tes negatif meski hanya sekali dianggap sebagai yang negatif kecuali bila orang yang dites dalam keadaan masa jendela. Untuk orang yang sedang dalam masa jendela tes ulang dilakukan 12 minggu kemudian. Bila tetap negatif barulah disimpulkan negatif. Dengan cara ini maka kit untuk tes HIV perlu mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Biasanya kit diizinkan beredar bila sensitivitasnya di atas 99,5%. Di Indonesia sekarang tersedia berbagai macam tes HIV termasuk tes yang dapat dibaca hasilnya dalam beberapa menit. Bila kita menggunakan tes tersebut kita harus memeriksa apakah tes tersebut mempunyai sensitivitas yang tinggi.
Infeksi HIV termasuk infeksi yang harus dilaporkan. Pelaporan menggunakan formulir khusus. Pada formulir tersebut identitas pasien tidak perlu diisi lengkap, dapat dalam bentuk initial atau nama samaran. Begitu pula alamat cukup mencantumkan kota atau kabupaten tempat tinggal pasien. Dengan demikian kemungkinan kerahasiaan dapat dilindungi.



DAFTAR PUSTAKA
UNAIDS. HIV/AIDS Figure and Trends. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Geneva. March 1996.
Departemen Kesehatan Dirjen P2MPLP, Majalah Support Edisi Juni 1996. Yayasan Pelita Ilmu, Jakarta.
Linnan M, Kosen. AIDS. Indonesia’s Emerging Development Crisis. Program Nasional Penanggulangan AIDS 1994.
Markowitz DM. Infection with Human Defficiency Virus Type 2. Ann Int Med 1993; 118:211-218.
UNAIDS. HIV Variability. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS Geneva, March 1996.
Cooper DA, Gold J, Mac Lean P (et al). Acute HIV Retrovirus Infection, Definition of Clinical Illness Associated with Seroconversion. Lancet 1985;i:537-40.
Pantaleo G, Graziosi C, Fauci AS. The Immunopathogenesis of Human Immunodefficiency Virus Infection. N Eng J Med 1993;328:327-35.
CDC. Revised Classification System for HIV Infection and Expanded Surveillance Case Definition for AIDS Among Adolescents and Adult. Am J Med 1993;269: 729-30.
Antoniskis D, Larsen RA, Sattler FR. Current Approaches to Management of Opportunistic Infection. Current Opinion in Infectious Diseases. 1990;3: 100-107.
Klein MR, Miedema F. Long-term Survivors of HIV-1 Infection. Trend in Microbiology. 1995;3:386-91.
Bor R, Miller R, Johnson MA. A Testing Time for Doctors; Counselling Patients Before HIV Test. Br Med J 1991;303:905-07.
Samsuridjal, Zubairi Dj, Husein (ed). Perawatan dan Dukungan untuk Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS di Masyarakat. Yayasan Pelita Ilmu dan Ford Foundation, Jakarta 1996.
Departemen Kesehatan. Perawatan Penderita AIDS di Rumah Sakit. Jakarta 1989.

1 komentar:

  1. Obat herbal Dr. Imoloa yang luar biasa adalah obat penyembuhan yang sempurna untuk Virus HIV, saya mendiagnosis HIV selama 8 tahun, dan setiap hari saya selalu mencari penelitian untuk mencari cara sempurna untuk menghilangkan penyakit mengerikan ini karena saya selalu tahu bahwa yang kita butuhkan karena kesehatan kita ada di bumi. Jadi, pada pencarian saya di internet saya melihat beberapa kesaksian berbeda tentang bagaimana Dr. imoloa dapat menyembuhkan HIV dengan obat herbal yang kuat. Saya memutuskan untuk menghubungi pria ini, saya menghubunginya untuk obat herbal yang saya terima melalui layanan kurir DHL. Dan dia membimbing saya bagaimana caranya. Saya memintanya untuk solusi minum obat herbal selama dua minggu. dan kemudian dia menginstruksikan saya untuk pergi memeriksa yang saya lakukan. lihatlah aku (HIV NEGATIF). Terima kasih Tuhan untuk dr imoloa telah menggunakan obat herbal yang kuat untuk menyembuhkanku. ia juga memiliki obat untuk penyakit seperti: penyakit parkison, kanker vagina, epilepsi, Gangguan Kecemasan, Penyakit Autoimun, Nyeri Punggung, Keseleo, Gangguan Bipolar, Tumor Otak, Ganas, Bruxisme, Bulimia, Penyakit Disk Serviks, Penyakit Kardiovaskular, Penyakit Kardiovaskular, Neoplasma, kronis penyakit pernapasan, gangguan mental dan perilaku, Cystic Fibrosis, Hipertensi, Diabetes, asma, radang sendi yang dimediasi autoimun. penyakit ginjal kronis, penyakit radang sendi, sakit punggung, impotensi, spektrum alkohol feta, Gangguan Dymyme, Eksim, kanker kulit, TBC, Sindrom Kelelahan Kronis, sembelit, penyakit radang usus, kanker tulang, kanker paru-paru, sariawan, kanker mulut, tubuh nyeri, demam, hepatitis ABC, sifilis, diare, Penyakit Huntington, jerawat punggung, gagal ginjal kronis, penyakit addison, Penyakit Kronis, Penyakit Crohn, Cystic Fibrosis, Fibromyalgia, Penyakit Radang Usus Besar, penyakit kuku jamur, Penyakit Kelumpuhan, penyakit Celia, Limfoma , Depresi Besar, Melanoma Ganas, Mania, Melorheostosis, Penyakit Meniere, Mucopolysaccharidosis, Multiple Sclerosis, Distrofi Otot, Rheumatoid Arthritis, Penyakit Alzheimer, email- drimolaherbalmademedicine@gmail.com / hubungi atau {whatssapp ..... +2347081986098. }

    BalasHapus