Kamis, 14 Maret 2013

OSTEOPOROSIS DAN KORTIKOSTEROID


Pendahuluan
Ketika pada tahun limapuluhan kortison diperkenalkan sebagai obat anti inflamasi dan imunosupresi, terjadi perubahan pada penatalaksanaan beberapa penyakit. Keberhasilan kortison adalah pada kemampuannya untuk mengurangi gejala, mengurangi morbiditas, dan pada beberapa kesempatan malah merupakan penyambung nyawa. Walaupun tidak lama kemudian tampak bahwa obat ini tidak tanpa kelemahan, yaitu efek sampingnya yang cukup memprihatinkan. Beberapa efek samping dapat dikurangi dengan cara menemukan kortison yang dapat diserap melaui usus dan mempunyai aktifitas mineralokortikoid yang rendah. Sampai sekarang masih sukar untuk memisahkan efek anti inflamasi dari efek glukokortikoid. Oleh karena itu supresi sekresi ACTH, diabetes dan merupakan dampak yang kurang menguntungkan dari pemakaian kortikosteroid dalam pengobatan.

Kekerapan Terjadinya Osteoporosis Akibat Kortikosteroid
Telah lama diketahui bahwa pemberian kortikosteroid suprafisiologik jangka panjang akan menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan terjadinya fraktur kompresi pada vertebra. Setelah kecanggihan teknologi kedokteran mampu melakukan evaluasi kuantitas massa tulang dengan lebih tepat, maka akibat steroid pada terjadinya osteoporosis tulang lebih mudah dipelajari. Didapat cukup bukti bahwa steroid tidak mempunyai efek yang sama pada semua bagian skelet, akan terjadi kekurangan massa tulang yang lebih besar pada tulang aksial yang lebih banyak mengandung bagian tulang trabekular (iga, vertebra dan Krista iliaka) dan sedikit berefek pada tulang panjang yang mengandung tulang kortikal yang metabolismenya agak kurang aktif. Walaupun penelitian longitudinal tidak begitu banyak dilakukan tetapi cukup terbukti bahwa kehilangan massa tulang pada tulang trabekular lebih banyak terjadi daripada pada tulang kortikal.
Pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, pengukuran densitas massa tulang pada lengan bawah menunjukkan penurunan 1.7% pada tulang kortikal (bagian tengah), dan 2.9% pada tulang metafiseal (50% terdiri dari tulang trabekular) dalam jangka waktu 3 bulan pertama setelah pengobatan.

Patogenesis
Sel tulang mempunyai reseptor sitoplasma bagi kortikosteroid dan efek langsung pada tulang telah digambarkan pada beberapa penelitian. Dengan konsentrasi suprafisilogik dalam kultur sel tulang ia akan menghambat sintesis protein dan kolagen, pertumbuhan sel dan sintesis RNA. Pada percobaan binatang, kortikosteroid akan menghambat sintesis kolagen dan proliferasi sel, dan pada pemeriksaan histologik akan tampak pengurangan jumlah sel osteoblas dan fibroblast.
Baik pada penelitian binatang maupun manusia, telah dapat dikonfirmasi secara in vitro akan adanya gangguan formasi tulang pasca pemberian kortikosteroid, yang juga mempengaruhi kecepatan kalsifikasi dan periode formasi tulang trabekular.
Bukti secara tidak langsung akan adanya supresi formasi tulang oleh kortikosteroid didapat dari penelitian produksi osteokalsin. Osteokalsin yang merupakan matriks protein yang disintesis oleh osteoblas mempunyai korelasi dengan kecepatan pembentukan tulang. Kotikosteroid juga menghambat absorpsi kalsium di usus baik pada penelitian binatang maupun manusia. Hal ini terjadi karena efek kortikosteroid langsung pada mukosa usus, sedang perubahan yang terjadi pada metabolisme usus tampaknya tidak berpengaruh.
Oleh karena itu dapatlah diasumsikan bahwa peningkatan resorpsi tulang merupakan akibat dari penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan aktivitas paratiroid, terutama bila absorpsi kalsium sehari di usus tidaklah mencukupi untuk mengimbangi kehilangan melalui ginjal. Juga masih mungkin bahwa kortikosteroid meningkatkan sensitifitas tulang terhadap hormon paratiroid, yang mengakibatkan bukan hanya yang lebih tinggi dan penurunan absorpsi kalsium di usus.
Kehilangan massa tulang terjadi pada pemakaian kortikosteroid pada semua macam penyakit, terutama bila dipakai dengan dosis tinggi dan untuk jangka waktu yang lama.

Gambaran Klinis
Pemakaian kortikosteroid eksogen banyak dipakai dalam bidang kedokteran klinik, dank arena pemakaian terbanyak adalah dalam bidang rematologi dan pulmonologi, maka bidang inilah lebih banyak diteliti orang untuk menilai hubungan kortikosteroid dan osteoporosis. Menifestasi kliniknya adalah fraktur dan ini biasanya menyerang tulang trabekular. Pertama kali keadaan ini dilaporkan pada pasien dengan fraktur vertebra pada penyakit rematik dan baru lama kemudian disadari bahwa fraktur iga pada pasien asma juga terjadi. Diduga keadaan ini terjadi karena batuk yang lama, walaupun hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit rematik. Fraktur seringkali terjadi pada daerah femur, pelvis dan humerus.

Hubungan Lama Pengobatan Steroid dan Kehilangan Massa Tulang
Kelainan ini terjadi pada pemakaian steroid pada semua penyakit bila dipakai dosis tinggi untuk jangka waktu yang lama. Kehilangan massa tulang terjadi segera atau tidak seberapa lama setelah pemakaian steroid tersebut. Telah dilaporkan terjadinya fraktur 1 bulan setelah pemakaian steroid. Kehilangan massa tulang yang tercepat terjadi pada bulan-bulan pertama pemberian steroid dan setelah itu hanya terjadi secara perlahan-lahan sesuai dengan bertambahnya umur. Dapat dikatakan bahwa pada mulanya banyak terjadi resorpsi tulang sedang efek supresi pembentukan tulang terjadi kemudian.

Dosis Kortikosteroid yang Merangsang Osteoporosis
Malabsorpsi kalsium akan terjadi pada pemberian steroid yang agak tinggi seperti 15-20 mg/hari sedang bila dosis sekitar 8-10 mg, maka efek ini tidak seberapa. Walaupun ada penelitian dengan dosis rendah steroid (< 10 mg/hari) yang mendapatkan penurunan massa tulang pada kondisi penyakit tertentu.

Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya osteoporosis pada pemakaian kortikosteroid, sebaiknya tidak memakai obat golongan ini jika tidak diperlukan sekali, pakailah dosis sekecil mungkin dan hentikanlah secepat mungkin.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.      Merubah cara pemberian steroid:
-          Pemberian ACTH
-          Metilprednisolon secara intra vena
-          Kortikosteroid secara inhalasi
-          Pemberian secara selang-seling (alternating)
2.      Diberikan bersama obat lain seperti:
-          Kalsium
-          Natrium Frourida
-          Vitamin D dan metabolitnya
-          Bifosfonat
3.      Steroid alternatif:
-          Deflazacort

Pengobatan
Bila pemberian kortikosteroid dapat dihentikan maka inilah yang perlu dilakukan terlebih dahulu. Hal ini sudah dapat terbukti pada pengurangan kortikosteroid endogen pada sindrom cushing, dimana kemudian akan menyebabkan penambahan densitas mineral tulang, penurunan kadar hidroksiprolin dalam urin, peningkatan kadar osteokalsin dalam serum dan penurunan kadar PTH serta 1,25(OH)2D3. Obat yang dapat mengurangi resorpsi tulang:
-          Vitamin D dan metabolit:
Kalsitonin
Bifosfonat
-          Obat yang dapat meningkatkan pembentukan tulang:
Natrium flourida: merupakan stimulator fungsi osteoblas, bila diberikan bersama vitamin D dosis rendah dan kalsium.
Anabolik steroid: merupakan stimulator proliferasi osteoblast dan dapat meningkatkan kadar osteokalsin.




DAFTAR PUSTAKA
Reid D. Corticosteroid Osteoporosis, in Osteoporosis, Pathogenesis and Management Editor: R.M.Francis, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Boston, London. 1990: 103-44.

Adami S, Rossini M. Anabolic Steroids in Corticosteroid Induced Osteoporosis. In: Anabolic-Androgenic Steroid, Towards The Year 2000, Editor: Hans Kopera, Blackwell-MZV, Wien, 1993: 207-19.

Riggs, B.L. Pathogenesis of Involutional Osteoporosis, Procedings, First Asian Symposium on Osteoporosis, Editor: Charles Chesnut, Hong Kong. Excerpta Medica, 1988: 32-7.

Tohme, J.F, Cosman F, Lindsay R. Osteoporosis, Principles and Practice of Endocrinology and Metabolisme, 2nd Edition, Editor: K.L.Becker, Philadelphia. J.B.Lippincott Company, 1995, 567-85.

2 komentar: