Sabtu, 23 Maret 2013

INTELEGENSI

     1.      Pengertian “ intelegensi”  menurut para ahli :

Ø  Menurut Kaufman (1999) anak yang tinggal bersama orang tua kandung dengan anak yang tinggal dengan orang tua angkat berbeda dalam hal perkembangan IQ. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya pengaruh factor-faktor genetika terhadap factor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan.
Ø  Menurut Plomin (1988) perkembangan intelegensi tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Ø  Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Scarr dan Weinberg anak-anak yang hidup dengan orang tua angkat lebih berkembangnya  IQ  nya daripada anak-anak yang hidup dengan orang tua  kandung. Ini dapat disebabkan karena factor ekonomi sehingga  si anak dapat belajar lebih baik bersama orang tua angkat sehingga jelaslah bahwa factor lingkungan turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak.
Ø  Menurut Cardwell, Clark, & Meldrum (2000:460) intelegensi  adalah kemampuan untuk mendapatkan dan menerima  informasi, untuk berpikir dan memberi alasan  secara  efektif, serta  menyesaikan informasi tersebut dengan lingkungan sekitarnya.
Ø  Menurut  Richardson(1999), pengetahuan berasal dari pengalaman yang kemudian memasuki proses penalaran  sehingga menjadi lebih terstruktur dan empiris  lalu berkembang menjadi intelegensi  yang dipengaruhi oleh factor genetik.
Ø  Menurut Segal, WeifeldG. & Weisfeld, C., (1997) intelegensi diperoleh sebagai hasil interaksi antara lingkungan dan faktor-faktor genetik.
Ø  Jadi, dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah kemampuan individu untuk mempelajari pengalaman baru, menalar dengan baik, untuk selanjutnya   dapat menyelesaikan masalah secara efektif yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
  
2.      Faktor – faktor yang mempengaruhi intelegensi (kecerdasan) terdiri atas dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan
Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan faktor alami  berupa segala hal yang yang diwariskan atau berdasarkan keturunan. Contoh – contoh factor genetic adalah sebagai berikut:

ü Faktor anak kembar
Berbagai penelitian dirancang untuk mengintesvigasikan perkembangan pengukuran tingkat kecerdasan termasuk anak kembar. Penyebab dari penelitian ini yakni untuk mencoba membandingkan setiap individu yang saling berbagi genetik yang satu sama lain. Dalam hal ini diharapkan para peneliti mampu untuk menggambarkan kesimpulan mengeni factor – factor apakah yang lebih berpengaruh terhadap kecerdasanu, factor genetic ataukah factor lingkungan. Suatu cara untuk membandingkan orang – orang yakni dengan menggunakan skor IQ. Dalam t pengukuran skor IQ seseorang akan diberikan tes untuk orang tersebut, tes tersebut akanmengukur beberapa factor seperti logika matematika, kemampuan verbal dan sebagainya. Ketika tes selesai dilaksanakan maka IQ dari seseorang akan dapat dihitung, secara umum semakin tinggi skor yang dimiliki semakin tinggi pula kecerdasan yang dimiliki. Bagaimanapun sangatlah penting untuk menyadari bahwa terdapat beberapa permasalahan pada tes IQ. Penadapat yang merujuk kepada genetika dan alam diinvestasikan menggunakan tes IQ. Jika orang – orang yang memiliki genetikyang sama namun memiliki skor IQ yang berrbeda maka hal ini dapat dinyatakan bahwa lingkungan berpengaruh  membentuk kecerdasan. 
Kembaran monozygot ( MZ ) berbagi material genetik yang sama dikarenakan mereka berasal  dari satu telur  sehingga disebut “Kembar Identik”.
Kembaran dizigot (Dz) berasal  dari telur yang berbeda satu sama lain sehingga genetik mereka mirip dengan saudara kandung, yang membedakan hanyalah mereka saling berbagi pengalaman di masa-masa sebelum kelahiran, tidak seperti saudara kandung lainnya yang dikandung secara terpisah.
Biasanya dalam penelitian skor IQ dari dua orang yang kembar akan dibandingkan dan menghasilkan sejumlah korelasi. Sebuah korelasi yang berangkakan 1 merupakan korelasi  yang sempurna dan artinya skor kedua orang tersebut sama persis. Semakin menjauh dari angka korelasi 1, maka semakin berkurang korelasi/hubungan yang dimiliki. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang menghasilkan korelasi 0,89 akan menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi antara dua skor IQ, sebaliknya hasil dan korelasi 0,2 menunjukkan tingkatan hubungan atau kemiripan yang rendah antar skor-skor tersebut.
Shield (1962) melakukan salah satu perlakuan yang paling awal dan sangat terkenal dalam penelitian anak kembar. Shield mencetuskan mengenai hal disertakannya anak kembar dalam suatu percobaan dengan menyediakan sampel 44 kembaran, sebagian anak kembar akan tinggal bersama dan sebagian lainnya akan dipisahkan dari kembarannya. Tingkatan IQ dari kembaran-kembaran tersebut di tes dan dibandingkan, korelasi kembaran Mz adalah 0,77 untuk kembaran yang dipisahkan dan 0,76 untuk kembaran yang tumbuh bersama. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan tempat mereka tumbuh  sedikit berperan dalam kecerdasan dikarenakan kolerasinya yang hampir identik. Jika lingkungan berpengaruh kepada faktor perkembangan kecerdasan maka kita harapkan perbedaan antara kolelasi tersebut menjadi lebih besar.

Evaluasi
Penelitian ini tampaknya menyediakan bukti yang jelas bahwasanya kecerdasan dipengaruhi oleh faktor genetik namun hal ini dikritisi habis-habisan oleh prinsip kamin (1977).
Dia menyatakan bahwa sampel yang disediakan shield sangatlah kecil. Juga menjadi pernyataan bahwa sebagian anak kembar tumbuh bersama dan sebagian lagi dipisahkan justru patut dipertanyakan. Tidak terdapat pengklasifikasian yang jelas ketika kamin (1977) meninjau ulang penelitian itu, ditemukan bahwa kerap kali kembaran yang dikatakan diasuh secara terpisah tentunya telah menghabiskan sejumlah waktu secara bersama-sama.
Kembaran-kembaran Mz hanya diasuh terpisah setelah berumur 1 tahun, dan kerap diadopsi oleh sanak saudaranya, dan tentunya akan saling menjenguk satu sama lain. Hal ini juga diketahui bahwa agen adopsi mencoba untuk mencocokkan keluarga adopsi dengan si anak, dalam hal  mencocokkan tempat merupakan  suatu usaha dimana anak ditempatkan pada lingkungan yang sama untuk membuat adaptasi menjadi mudah. Oleh karena itu hal tersebut tidak  mungkin dikatakan bahwa lingkungan tempat pengasuhan anak kembar tersebut sangatlah berbeda hanya karena mereka diasuh secara terpisah. Isu ketiga yakni sama halnya dengan digaet yang dituduh melakukan percobaan yang bias, juga korelasi sempurna yakni satu (1), jadi catatan faktor apakah yang menjadi perbedaan antara hasil penelitian shieds dan 100? Bisa saja percobaan yang disebabkan oleh faktor  lingkungan sehingga faktor lingkungan dapat ditinjau sebagai hal yang berpengaruh.  Asumsi bahwa kembarna Mz adalah identik juga menimbulkan pertanyaan, mereka mungkin saja memiliki perbedaan pengalaman lahir oleh juga diasuh dan memiliki hubungan berbeda dengan orang tua yang berbeda. Keseluruhan dari pengalaman mereka itu tidak dapat dikatakan identik secara menyeluruh dan oleh karena itu mereka tidaklah identik secara menyeluruh (Flanagan, 1977).
Penelitian lainnya yang menggunakan anak-anak kembar sebagai  perlakuan. Kaufman (1999) dan Bounchard dan McGue (1988) meninjau ulang perlakuan dari beberapa penelitian. Pederson etal (1992) meninjau ulang adopsi orang-orang swedia / pembelajaran pertumbuhan anak kembar, dan New man et al (1928) juga menginvestasikan perbedaan IQ pada kembaran Mz dan Dz. Hasil dari penelitian – penelitian ditunjukkan pada tabel 4.1. tabel mengindikasikan apa tipe sampel kembaran yang disediakan, apa kondisi tempat mereka tumbuh, misalnya bersama  atau terpisah dan kolerasi antar skor IQ yang mereka miliki setelah tahap pengetesan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa faktor genetik lebih mempengaruhi tingkat kecerdasan dari pada faktor lingkungan, layaknya kembaran dengan genetik material yang sama (Mz) memiliki korelasi yang  lebih tinggi dan pada kembaran (Dz) sebagiamanapun pertumbuhan yang mereka tempuh ini menyatakan bahwa faktor-faktor genetik  lebih penting menentukan tingkatan kecerdasan. Pederson et al (1952) menyatakan bahwa sekitar 80% IQ itu diwarisi.
Dalam penelitian lebih lanjut oleh Bounchart et.al (1990) meninjau ulang terhadap 100 kembaran di Memisota yakni penelitian terhadap kembaran yang diasuh secara terpisah. Mereka menemukan bahwa sekitar 70% skor IQ ditentukan oleh  faktor genetik. kaufman (1999) menyatakan bahwa persentasi heritablitas bagi IQ sekitar 50% lagi-lagi hal ini mendorong pembuktian terhadap pengaruh genetik bagi kecerdasan.
Bagaimanapun jika kita meninjau ulang kesalahan yang diperbuat dalam penelitian shields, bisa dikatakan bahwa hal tersebut mungkin sama dengan pengaplikasian yang telah dilakukan dalam beberapa penelitian. Hal tersebut disebabkan juga oleh penggunaan sampel yang kecil, asumsi / pernyataan tentang kembaran yang tumbuh terpisah padahal masih terdapat  beberapa kontak / komunikasi yang berlangsung gagal dalam mengakui proses pencocokan adopsi/percobaan yang bias, gagal untuk mengakui bahwa kembaran identik tidak memiliki pengalaman yang identik dan gagal untuk mengomentari kekurangan dari korelasi yang sempurna.
Di dalam banyak penelitian kembaran baru-baru ini di Australia didapati bahwa minimal 50% dan mungkin saja 65% dari beragam pendidikan/edukasi yang didapati mampu berdistribusi terhadap genetik. Penelitian ini menyatakan bahwa hanya 25% dari variasi edukasi / pendidikan yang mungkin dapat menjadi faktor lingkungan (Miller, Muluey, & Maltin, 2001). Penelitian ini menyediakan dukungan bagi pengaruh genetik terhadap kecerdasan dan pencapaian pendidikan.
Didalam penelitian lainnya tentang anak kembar yang cakupannya lebih luas, yang baru-baru ini dilakukan, telah memberikan dukungan lebih lanjut terhadap pengaruh genetik dalam perkembangan pengukuran pengukuran kecerdasan. Dalam penelitian in 209 pasang kembaran telah dites dengan umur 5,7,10 & 12 tahun. Hasil dari beberapa tes IQ menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap heritabilitas bagi semua umur dan genetik menjadi pengaruh utama yang menyebabkan stabilitas kemampuan kognitif, kembali dukungan ide terhadap penetapan kecerdasan yang secara umum semakin meluas (Bartels, Rietveld, Van Boal & Boomsma, D.2002).
Penelitian oleh Al-Arcon, Knopik, & Defries (2000) terhadap kemampuan matematika anak dan kemampuan – kemampuan kognitif secara umum mereka menemukan bahwa terdapat 90% faktor-faktor dalam matematika dan 80% faktor-faktor kognitif secara umum yang dipengaruhi oleh genetik.
De Gues, Wright, Martin & Boomsma (2001) menyediakan kesimpulan mengenai penelitian tentang efek genetik yang berpengaruh terhadap ragam individu dan kemampuan kognitifnya dan didapati bukti meliputi eksistensi yang cukup besar terhadap pengaruh dari pada genetik.
  
Penelitian Familia
Penelitian tambahan mengenai anak kembar, familia atau konship telah dilaksanakan, hal tersebut menghadirkan partisipan yang memilikihubungan darah kembali alasan disebabkan oleh adanya hubungan informasi genetik. Bouchard & McGue (1981) meninjau ulang jumlah yang banyak dari kembaran dan penelitian familia yang mencoba untuk menetukan faktor apakah yang paling berpengaruh di dalam perkembangan kecerdasan. Penemuan mereka ditunjukkan pada tabel 4.2. peninjauan ulang terhadap penelitian ini memberikan dukungan bagi faktor genetik, semakin dekat hubungan genetik maka semakin tinggi korelasi skor IQ yang didapatkan.

v  Evaluasi
Jika pertimbangan hasil yang diperoleh maka dapat ditinjau bahwa masih terdapat sebuah korelasi yang belum sempurna, sehingga tidak semua skor IQ dapat ditentukan oleh genetik. Juga sulit untuk memberikan batasan yang  jelas antara pengaruh genetik dan lingkaran. Saudara kandung dan kembaran yang diasuh bersama tidak hanya memiliki kesamaan informasi genetik namun juga lingkungan yang sama, didalam perkembangan yang lebih luas, sehingga sangatlah sulit untuk menetapkan jika pengaruh lingkungan yang sama akan memberikan korelasi yang tinggi terhadap skor IQ. Tentunya sangatlah egois jika diasumsikan bahwa informasi genetik yang samalah yang  mempengaruhi skor IQ.
Akhirnya terdapat sebuah keuntungan bagi kelompok yang sama dalam sejumlah penelitian dan meninjau ulang hal tersebut, namun dalam melakukan sejumlah penelitian, kamu akan digunakan secara bersama ke dalam test yang berbeda, oleh karena itu sangatlah sulit untuk menjamin semua penelitian yang digunakan adalah sama dan hal ini justru membuat hasil yang didapatkan menjadi pertentankan.
Bagaimanapun, terdapat penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh segal, Weis Feld, G. & Wessfeld, C. (1997). Dia meneliti perihal orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan umur yang sama diasuh secara bersama sejak bayi (hal ini serupa dengan kasus kembaran Dz). Dia mendapati bahwa korelasi IQ hanyalah 0,17
Penemuan ini menantang praduga yang telah ada yang dibuat untuk tingkatan IQ yang mirip dan didukung oleh teori tentang pengaruh IQ oleh informasi genetik.
Korelasi IQ yang didapatkan adalah 0,15 bagi ibu adopsi dan 0,28 untuk ibu kandung ini menunjukkan beberapa pengaruh genetik terhadap kecerdasan.
Plomin (1988) menelusuri perkembangan anak-anak yang di ikut sertakan dalam penelitian sebelumnya, dan meninjau ulang skor IQ sertakan dalam penelitian sebelumnya, dan meninjau ulang skor IQ mereka pada umur 10 tahun, mereka memiliki korelasi hanya 0,02 terhadap saudara adopsi mereka. Kembali hal ini membuktikan bahwa lingkungan yang sama tidaklah terlalu berpengaruh dibandingkan dengan informasi genetik yang telah ada.
Stolmiller (1998) memunculkan pertanyaan-pertanyaan terhadap rancangan projek adopsi texas dan menyarakan bahwa telah terdapat sebuah peremehan yang keterlaluan terhadap pengaruh dari faktor lingkungan keluarga. Bagaimanapun, pernyataan ini diperselisihkan oleh Loeh Lin and Horn (2000).

 Faktor lingkungan
Faktor- faktor Lingkungan
Sejauh ini bukti yang menentang informasi genetik dalam penetapan kecerdasan telah diulas. Evaluasi dari penelitian telah menyatakan bahwa lingkungan tentu saja akan berpengaruh bagi sebagian tingkat penentuan kecerdasan. Bab ini kan mendiskusikan beberapa faktor lingkungan dan mengulas kembali penelitian Empiris yang dilakukan untuk menentukan pengaruh dari faktor-faktor dalam pengukuran kecerdasan.

Penelitian Adopsi
Pada sesi sebelumnya kita telah meninjau penelitian utama adopsi dalam menyelidiki peranan genetik. Disini kita meninjau hal-hal tesebut untuk menyelidiki peranan yang di mainkan oleh lingkungan.
Scarr dan Weinberg ( 1983 ) menemukan bahwa anak adopsi memiliki skor IQ 10 atau 20 poin lebih tinggi ( rata-rata ) dari pada bersama orang tua kandungnya. Hal ini mungkin di sebabkan oleh keluarga yang mengadopsi pada umumnya kemampuan finansialnya lebih baik sehingga anak yang berada dalam lingkungan tersebut dapat mengembangkan potensi mereka secara menyeluruh.
Scarr dan Weinberg ( 1977 ) juga meneliti anak kulit hitam yang diadopsi oleh keluarga kulit putih. Seperti di lansirkan sebelumnya, keluarga-keluarga tersebut memilki kapasitas financial dan status pendidikan yang tinggi di bandingkan dengan keluarga aslinya. Rata-rata IQ
anak kulit hitam yang diadopsi 12 bulan setelah kelahiran ( umur 1 tahun ). Hal ini telah di bandingkan dengan rata-rata IQ anak kulit hitam dengan latar belakang genetik yang serupa namun memiliki latar belakang lingkungan orang miskin. IQ anak-anak tersebut adalah 90. Dengan demikian, Scarr dan Weinberg menghasilkan bukti bagi peranan dan sebuah lingkungan.
Schiff et al. (1978 ) menemukan bahwa anak yang terlahir dari orang tua yang status sosial nya rendah namun kemudian di adopsi oleh keluarga yang status sosial ekonomi nya tinggi menunjukkan perolehan IQ yang signifikan ketika di bandingkan dengan anak-anak yang tetap tinggal di lingkungan yang asli.
Capron dan Duyme ( 1989 ) meneliti 38 anak-anak perancis yang di adopsi sejak bayi. Setengah dari anak-anak tersebut memiliki orang tua biologis kelas menengah ke atas, setengah nya lagi memiliki orang tua biologis yang bekerja atau kelas rendah. Sebagian dari bayi-bayi tersebut di adopsi oleh keluarga dengan status sosial tinggi di bandingkan orang tua biologis mereka, dan sebagian bayi lain nya di bawa kepada keluarga dengan kelas sosial rendah. Anak-anak yang di asuh di rumah-rumah kelas atas memiliki skor IQ 15-16 poin lebih tinggi di bandingkan anak-anak yang berada di kelas bawah yang lebih rendah dari kelas orang tua biologis nya . Penelitian ini menegaskan bahwa penting nya peranan lingkungan dalam dalam mengembangkan pengukuran tingkat kecerdasan.

Evaluasi
Semakin awal anak di adopsi, maka semakin baguslah kemampuan intelektual mereka yang akan meningkat. Hal ini menyatakan bahwa lingkungan itu penting dan berpengaruh ketika hal tersebut di laksanakan dalam kondisi/situasi yang tepat. Umur kelihatan nya juga merupakan faktor yang penting. Bukti tersebut menyatakan bahwa lingkungan sangatlah berpengaruh dalam umur “pre- school” (sebelum sekolah).
Penelitian yang melibatkan anak-anak dari budaya yang berbeda di buka pembahasan nya. Tes IQ telah di kritiskan dalam hal kebudayaan yang bias. ( perhatikan nanti di bawah teks bias ). Pemikiran di dasari di sekitaran nilai kelas menengah kulit putih, ide-ide dan pengalaman-pengalaman. Oleh karena itu, peningkatan anak-anak kulit hitam mungkin tidak menjadi peningkatan intelektual yang tepat. Mereka mungkin tidak memiliki penambahan kecerdasan, namun dikarenakan mereka di bawa ke dalam sebuah keluarga kulit putih, faktor-faktor di ukur oleh tes IQ menjadi semakin di kenal sehingga mereka tampil dengan baik. Misal nya: saya mungkin akan gagal pada tes menulis di dalam bahasa yang berbeda, namun jika hal tersebut di terjemah kan saya akan lulus. Sama hal nya jika sebuah tes menggunakan objek dan contoh yang tak diketahui saya gagal, jika saya merujuk kepada objek dan contoh yang saya kenal saya mungkin akan lulus. Saya tidak semakin cerdas, saya hanya lebih memahami kaidah peraturan.
Keluarga adopsi secara umum lebih sedikit dan mempunyai status financial dan pendidikan yang lebih baik. Faktor-faktor tersebut menjadikan pengaruh lingkungan tampak lebih kuat.
Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Capron dan Duyme ( 1989 ) menyatakan pentingnya aspek lingkungan, faktor-faktor genetik juga merupakan hal yang penting dalam penelitian ini. Anak-anak yang orang tua biologisnya berasal dari latar belakang status sosial ekonomi nya tinggi memiliki IQ yang lebih tinggi di bandingkan anak-anak yang orang tua biologisnya ( kandung ) berasal dan latar belakang status sosial ekonomi yang rendah, tanpa pengaruh lingkungan.

Penelitian Familial ( kekeluargaan )
Kaufman ( 1999 ) menyediakan bukti untuk menyatakan  pentingya pengaruh lingkungan terhadap referensi dari penelitian keluarga. Dia menemukan bahwa korelasi saudara kandung  yang di asuh bersama ( 0,47 ) lebih tinggi dari pada mereka  yang di asuh terpisah ( 0,24 ). Dia juga mendapati hal yang serupa  bahwa anak dan orang tua yang hidup bersama memiliki korelasi skor IQ yang lebih tinggi ( 0,42 ) di bandingkan mereka yang tumbuh terpisah ( 0,22 ). Hal ini menunjukkan bukti bahwa perkembangan pengukuran tingkat kecerdasan. Jika faktor lingkungan tidaklah penting, maka skor yang didapatkan pada kedua hal tersebut seharusnya mirip.

Evaluasi
Korelasi yang di nyatakan masih sedikit rendah dan faktor-faktor lain juga mempengaruhi perkembangan IQ.

Status Sosial ekonomi
Faktor lain yang diselidiki adalah status sosial ekonomi ( SES ). Beberapa penelitian di sediakan untuk di tinjau seandainya terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dengan tingkat kecerdasan.
Bernstein ( 1971 ) menyatakan bahasa antara keluarga yang SES rendah dan keluarga yang SES nya tinggi adalah berbeda. Dia menyatakan dalam penelitian nya bahwa anak yang berasal dari keluarga yang SES nya rendah memiliki batasan kode bahasa sedangkan mereka yang berasal dari keluarga yang SES nya tinggi memiliki kode bahasa yang mendetil. Maksud nya adalah anak dari keluarga SES yang rendah bahasa mereka merupakan konsep abstrak yang rendah, yang menjadikan proses informasi sulit. Disini Bernstein menyatakan berpengaruh pada perkembangan kognitif dan kecerdasan verbal mereka, dan argumen ini menyatakan ide bahwa kecerdasan ternyata mempunyai hubungan dengan status sosial ekonomi.
Penelitian kejuruan Longitudinal, mengikuti perkembangan anak sejak lahir hingga remaja, dilakukan oleh Sameroff et.al ( 1987 ). Hal ini di kenal dengan sebutan penelitian Rochester Longitudinal dan di mulai sejak tahun 1970.
Penelitian ini menyertakan sekitar 200 anak. Penelitian ini mengidentifikasikan 10 faktor-faktor yang mempengaruhi skor IQ. Faktor-faktor tersebut bukanlah pengaruh genetik namun lingkungan. Mereka adalah :
Ø  Keadaan mental pengasuhan yang sakit
Ø  Kegelisahan / keinginan serius pengasuhan
Ø  Ayah yang tinggal jauh dari keluarga
Ø  Anak yang menjadi anggota mineritas grup
Ø  4 atau lebih anak di keluarga
Ø  Banyak nya tekanan pengasuhan yang di berikan walaupun pada anak libur sekolah
Ø  Kurangnya sifat ke ibuan dan kurangnya perhatian positif
Ø  Kebiasaan pengasuhan yang kaku dalam perkembangan anak
Ø  Kurang nya pendidikan lanjut bagi para orang tua
Ø  Miskin nya pelayanan pengasuhan
Semakin banyak faktor yang dirasakan oleh seorang anak, maka semakin rendahlah skor IQ yang mereka dapatkan. Setiap faktor tampak nya mengurangi IQ sebanyak 4 poin.

Evaluasi
Labow ( 1970 ) mengkritisi percobaan Bernstein yakni memulai hal yang membingungkan dengan menghilangkan Linguisrik dan sosial. Hal itu, kemampuan bahasa yang rendah tidak lah sama dengan rendah nya lingkungan sosial. Labou juga menyatakan bahwa Bernstein telah gagal dalam mengambil perhitungan pada penelitian tanpa standar bahasa inggris. Beberapa anak menggunakan bahasa inggris yang berbeda dari yang lain dan hal tersebut tidaklah di perhitungkan.
Meskipun penelitian Sameroff seakan menunjukkan bukti bahwa tingkat kecerdasan IQ berhubungan dengan status sosial ekonomi, hal tersebut tentunya menunjukkan faktor-faktor asosiasi yang di sertai dengan rendah nya status sosial ekonomi suatu kelompok, bukan pada status sosial ekonomi itu sendiri memberi dampak pada IQ.
Faktor lainnya yang menganggap sosial ekonomi rendah suatu kelompok mungkin secara genetik memiliki kecerdasan yang kurang yakni mengapa mereka tidak menerima pendidikan dan oleh sebab itu menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ( skill )/ semi skill pegawai dan menjadi bagian dari kelas rendah. Hal ini kemudian menjadi alasan bagi genetik bukan lingkungan. Jika kecerdasan ditentukan oleh genetik tentu secara logika bahwa orang-orang  tersebut yang IQ nya rendah memiliki status sosial ekonomi yang rendah. ( Flanagan, 1977 ).
Faktor lain yang bukan genetik bias di kaitkan dengan hubungan pengasuhan. Orang tua memiliki pengaruh yang kuat terhadap lingkungan dimana anak-anak berkembang, Sesi selanjut nya akan membicarakan tentang berbagai hal lain yang menjadi faktor lingkungan bagi pengaruh kecerdasan.

 Ø  DIET
Benton dan Cook (1991) menyediakan sekelompok anak dengan suplemen vitamin dan sekelompok grup control diberikan “placebos”. Ketika IQ anak dites, anak-anak yang mendapatkan suplemen memiliki peningkatan IQ skor 7,6 poin dan placebos grup menurun hingga 1,7 poin. Penelitian ini menjadi lebih membutakan dan oleh karena itu anak-anak tidak mengetahui apa yang mereka anggap. Hasil tersebut sedikitnya mampu membandingkan.
Daley, Whaley, Sigmen, Epinosa dan Neumann (2003) mencatat bahwa banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat IQ bisa bertambah dari waktu ke waktu peningkatan ini dikenal dengan istilah Efek Flynn. Mereka menyatakan bahwa hasil dari 20 industrial nasional telah menunjukkan peningkatan IQ yang luas setiap waktu. Mereka menyatakan bahwa diantara penyebab dari meningkatnya hal tersebut adalah dikarenakan nutrisi yang baik pada anak. Penelitian akan membantu untuk menjelaskan mengapa anak yang memiliki IQ rendah pada kelompok yang SES nya rendah, laksana diet lebih kerap terjadi pada orang-orang miskin sehingga hal tersebut mungkin berpengaruh bagi IQ mereka.
Berkman, Lescano, Gilman, Lopez dan Black (2002) menginvestasikan efek kronis malnutrisi (kurang gizi) bagi kemampuan kognitif. Mereka mengetes anak dengan umur 9 tahun dan mendapati bahwa mereka yang miskin diet dan memiliki pertumbuhan ketangkasan pada umur 2 tahun dengan skor 10 poin lebih rendah dites kognitif pada umur 9 tahun dari pasangannya yang tidak kekurangan nutrisi. Black menyatakan bahwa penelitian ini menekankan aspek penting dari nutrisi bagi anak dibawah 3 tahun, kembali menyediakan bukti bagi hubungan antara diet dan kemampuan kognitif.
Penelitian dilakukan kepada anak yang hidup di Shanty House di India menunjukkan bahwa malnutrisi sebelum umur 6 bulan secara signifikan menyebabkan IQ (Choudhary, Sharma, Agarwal, Kumar, Sreenivas, & Puliyel, 2002) kembali menyatakan hubungan antara diet yang terlalu dini dengan kecerdasan.
Bentun (2001) mengomentari penelitian yang telah ditela’ah yakni menyelediki hubungan antara suplemen bernutrisi dengan tingkatan kecerdasan anak.
Sepuluh penelitian dari 13 penelitian memberikan respon positif terhadap suplemen tersebut minimal pada tes sampelnya. Bukti tersebut menyatakan bahwa tidak semua anak memberikan respon terhadap suplemen namun minoritas asak-anak memberikan respon, dan hal tersebut juga memberi efek khusus terhadap perkembangandan kemampuan non verbal anak.
Bagaimanapun, hal tersebut tampak memberi tanggap terhadap diet anak yang terdiri dari tingkatan nutrisi yang rendah. Hal tersebut mungkin memberikan hasil yang menunjukkan level normal bagi fungsi diet yang normal.

 Ø  EVALUASI
Sebuah masalah dengan penyelidikan terhadap diet adalah hal tersebut sulit dimonitir atau dilacak secara menyeluruh terhadap diet perorangan dan hasil dari disempurnakannya fasilitas makanan secara pasti. Hal ini membuat kesimpulan mengenai hubungan antara diet dan kecerdesan menjadi tanda tanya. Permasalahan lain yaitu mengilustrasikan efek adari faktor-faktor diet yang lain haruslah konstan, untuk menunjukkan bahwa diet menghasilkan suatu perbedaan. Hal tersebut adalah sulit untuk memantau seluruh aspek lingkungan dan oleh sebab itu sulit untuk menunjukkan bahwa diet merupakan faktor yang menentukan argument ini dapat ditinjau jika kita kembali ke penelitian sebelumnya anak-anak india yang hidup dikota Shanty. Walaupun diet dini diidentifikasikan sebagai penetapan aspek yang menunjukkan IQ, begitu pula halnya terhadap pendidikan pre-sekolah dan tempat tinggal.
Anak-anak pada tempat tinggal permanen memiliki IQ yang lebih tinggi dan mereka mungkin kerap menghadiri pre-sekolah (TK/Playgroup). Sama halnya penelitian yang dilakukan pada Efek Flynn mengiidentifikasikan kemampuan menulis dan membaca pada orang tua dan struktur keluarga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan IQ. Tampaknya sulit untuk memetapkan hubungan antara faktor-faktor lingkungan dengan IQ.
  
 Ø  STIMULASI PENGASUHAN
Hart dan Risley (1995) melakukan penyelidikan perkembangan dalam jangka waktu yang lama, mereka memfokuskan kepada interaksi verbal. Mereka menemukan bahwa semua anak mulai belajar berbicara pada umur yang sama namun akan tampak berbeda pada umur 3 tahun.
Anak-anak yang berasal dari keluarga profesional memiliki kosa kata yang lebih luas dari pada anak yang keluarganya berasal dari kelas pekerja. Hart dan Risley menghubungkan kebiasaan pengasuhan. Mereka menyatakan hubungan antara stimulasi pengasuhan orang tua dan perkembangan bahasa.
Caldwell dan Bradley (1978) menemukan korelasi atau hubungan antara skor IQ yang tinggi dengan faktor-faktor berikut : pengaru pengasuhan emosional, penetapan materi, permainan yang sesuai, kemampuan untuk bermain dan belajar, harapan orang tua. Skor IQ yang bagus dihubungkan kepada orang tua-orang tua yang menyediakan penerimaan dan pembelajaran untuk anak. Caldwell dan Bradley mengembangkan ukuran yang disebut “Home Observation” untuk mengukur lingkungan (HOME). Mereka mendapati skor yang rendah dalam skala HOME bagi korelasi bayi terhadap skor IQ rendah di sekolah
Crandell dan Hobson (1999) menemukan bukti untuk menghubungkan antara pengaru perasaan (latihan) terhadap IQ. Sampel dari 36 ibu-ibu yang dibagi kedalam dua grup dasar terhadap respon wawancara dan question terhadap “attachment”. Ibu=ibu tersebut diberikan tes IQ dan anak-anak diberikan versi secara singkat. Interaksi ibu-anak ditarukan di video tip. Anak yang ibunya terjamin bernilai 19 poin lebih tinggi dalam tes. Dan sub-grup yang selamat 12 poin dan 12 bagi ibu yang tidak terjamin 12 poin bagi skor IQ, disana masih terdapat skor IQ diantara anak-anak yang signifikan. Hal ini menyatakan “attachment atau penyampaian perasaan” memiliki pengaruh lebih besar terhadap IQ dibandingkan hal pengasuhan. Penelitian ini menekankan pentingnya “attachment” dan sosialisasi lingkungan anak didalam perkembangan pengukuran kecerdasan.
Sigman et 21 (1988) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak-anak dengan IQ yang tinggi berbicara kepada mereka kerap dan banyak, mendetil dan tata cara yang akurat, satu hal lagi yang mengilustrasikan pentingnya stimulasi pengasuhan. Laundry et 21 (1996) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak dengan IQ yang tinggi bekerja di 2PD (perbaikan bab 3) mereka berbicara kepada anak-anak mereka diatas standar rata-rata pemehaman dan menggunakan strategi untuk menolong mereka mempelajari skill atau kemampuan yang baru. Pianta dan Egeland (1994) menemukan bahwa orang tua –orang tua yang anaknya memiliki IQ yang tinggi menyediakan permainan dan mainan yang sesuai dengan umur mereka.
Projek yang dinamakan “Projek Abecedanan” mengikut sertakan bayi-bayi dari level family atau keluarga miskin yang ibu-ibu mereka memiliki skor IQ yang rendah. Anak-anak ditetapkan pada salah satu dari dua grup-grup kontrol dan penelitian. Di dalam kontrol grup, anak-anak diberikan suplement nutrisi dan perawatan medis. Di dalam grup percobaan, anak-anak diberikan kedua hal tersebut, faktor tersebut namun diperkaya dengan perawatan harian. Hal ini dimulai sejak anak berumur 6-12 minggu dan dilanjutkan hingga anak mencapai usia TK. Skor IQ lebih tinggi terdapat pada eksperimental grup disetiap pengetesan antara 2 hingga 12 tahun yakni 44% untuk kontrol grup dengan IQ skor yang lebih luas dibandingkan eksperimental grup yang hanya 12,8% (Ramey dan Campbell, 1987, Ramey, 1993).
Penelitian ini kembali memperlihatkan bagaimana pentingnya lingkungan dalam perkembangan pengukuran kecerdasan. Tentu saja lingkungan yang kaya akan memberikan pengaruh yang lebih daripada supplement dan perawatan medis.

 Ø  EVALUASI
Kembali hal ini disadari bahwa anak-anak mungkin akan menerima stimulasi dan pendidikan yang lebih sebagai penyemangat sebagai akibat dari tingginya IQ para orang tua. Hal demikian menyatakan bahwa orang tua yang memiliki IQ yang tinggi akan lebih menekankan pada hal edukasi atau pendidikan dan stimulasi. Dengan denikian, hal tersebut secara otomatis memberikan argument terhadap lingkungan-lingkungan mungkin akan terbentuk dikarenakan penetapan genetik IQ yang tinggi.
Ini penting untuk menyadari finansial sebagai sebuah faktor. Orang tua dengan IQ yang tinggi mungkin memiliki karir yang lebih baik dan oleh karena itu akan menentukan pendapatan mereka. Ini menjadikan penyediaan sarana permainan dan belajar yang sesuai dengan dukungan pendidikan ekstra.
Hal ini harus dicatat bahwa “attachment” merupakan subjek kontroversi yang tinggi. Di dalam penelitian Crandell dan Hobson asumsi adalah suatu hal yang berbeda dalam lingkar IQ biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal “attachment”. Bagaimanapun permas dengan hal “attachment” akan mengindikasikan permasalahan pada area social yang lain dan lingkungan emosi bagi anak, yang akan menjadi latar yang terfokus pada “attachment”.
Plomin dan Petrill (1997) menyatakan bahwa setengah dari HOME prediksi atas perbedaan kemampuan kognitif pada anak dapat dihitung untuk genetik dan faktor non-lingkungan.

 Ø  URUTAN KELAHIRAN
Zajonc dan Markus (1975) meneliti tentang urutan kelahiran dan IQ, dan meninjau kembali skor dari 40.000 lelaki Belanda. Mereka menemukan bahwa skor IQ yang mundur dikarenakan pengaruh dari jumlah anggota keluarga dan urutan kelahiran. Ini mungkin disebabkan oleh anak-anak yang terlahirkan dari orang tua-orang tua harus berbagi perhatian dan waktu yang lebih banyak, dan kerap kali hal finansial menjadi kendala.
Zajonc (2001) membentuk sebuah model yang disebut model pertemuan. Model ini menyatakan bahwa kecerdasan dari setiap anggota keluarga bergantung kepada anggota keluarga lainnya. Dia menyatakan bahwa setiap anak yang urutan kelahirannya semakin akhir akan mendapatkan pengaruh kecerdasan lingkungan yang semakin rendah, dan hal tersebut lingkungan intelektual yang tinggi terbentuk dari rendahnya jumlah anggota keluarga. Alas an tersebut menyatakan bahwa anak yang pertama lahir memiliki IQ lebih tinggi dan berperan sebagai tutor bagi saudara kandungya yang lain, oleh karena itu ajari dan jelaskan hal-hal yang penting kepada mereka dengan sendirinya akan meningkatkan pemahaman dan IQ mereka. Dengan sendirinya anak yang paling kecil tidak butuh memaparkan ide dikarenakan yang lainnya akan menjelaskan ide, dan yang lainnya selalu bersedia untuk memberikan jawaban, oleh karena itu, anak yang paling kecil tidak melakukan hal tersebut, sehingga dia tidak terlalu perlu selalu banyak untuk berpikir dan mengembangkan skill tersebut.

  Ø  EVALUASI
Hubungan antara urutan kelahiran dan kecerdasan telah secara ketat diperdebatkan. Lowery (1995) mengetes kecerdasan murid-murid dan mengumpulkan informasi mengenai urutan kelahiran. Dia menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kecerdasan. Rodgers, Cleveland, Vanden Oord dan Rowe (2001) mengklaim hubungan antara urutan kelahian dan kecerdasan hanyalah ilusi, dan dalam penelitian tersebut ditemukan tidak ada hubungan yang konsisten diantara faktor-faktor tersebut.

   3.      Teori Perkembangan Moral menurut Piaget 
Dengan cara mengamati anak-anak bereksperimen, Piaget mengembangkan teori tahapan perkembangan moral. Sejalan dengan teori perkembangan kognitif,  teori ini juga dibangun berdasarkan tahapan-tahapan yang terjadi pada anak. Setiap tahapan perkembangan moral berbeda secara kualitatif. Piaget menggunakan dua alat utama untuk menyelidiki perkembangan moralitas. Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng dan komitmen mereka terhadap peraturan permainan tersebut. Dia juga meminta anak-anak untuk membuat penilaian moral terhadap tindakan anak-anak lain melalui penyajian cerita. Cerita-cerita tersebut kontras menggambarkan prilaku dan tindakan dua anak yang berbeda. Piaget tertari untuk melihat bagaimana anak-anak membuat penilaian tentang prilaku apa yang salah dan apa yang benar, dan apa yang menjadi dasar penilaian tersebut. Contoh dari salah satu pasangan cerita moral ini dapat dilihat pada tabel 5.1
Piaget meminta anak-anak untuk mendengarkan cerita, kemudian menyakan kembali tanggapan mereka tentang cerita tersebut, seperti yang tercantum dalam tabel 5.1. Dia juga menanyakan siapa sebenarnya yang membuat kesalahan dan mengapa? Dengan merekam tanggapan anak-anak terhadap cerita-cerita tersebut, Piaget bisa mengamati kemajuan dan perkembangan dalam moralitas anak-anak berdasarkan usia. Perubahan dalam menganalisa apa yang benar dan salah ditinjau secara moral, dapat dilihat pada contoh tabel 5.1.
Tabel 5.1. cerita moral Piaget
Cerita A. Alfred bertemu dengan teman kecilnya yang sangat miskin, temannya mengatakan bahwa ia tidak makan malam itu karena tidak ada makanan dirumahnya, lalu Alfred pergi ke toko roti, karena ia tidak punya uang lagi, dia menunggu tukang roti membelakanginya dan mencuri roti tersebut. Dia berlari dan memberikan roti gulung tersebut pada temannya.

Cerita B. Henriette pergi ke toko. Dia melihat sepotong pita cantik diatas meja dan berfikir bahwa itu akan terlihat bagus di gaunnya. Jadi ketika wanita penjaga toko membelakanginya dia mencuri pita dan kemudian berlari.

Tanggapan anak saat wawancara.
Anak 1. “Schma” 6 tahun.
Mana yang lebih nakal dari dua anak tersebut ? Anak laki-laki yang mengambil roti kesalahannya lebih besar.
Apakah seharusnya mereka dihukum? Ya, empat tamparan untuk yang pertama.
Dan gadis itu? Dua tamparan.
Mengapa anak laki-laki tersebut mengambil roti gulung? Karena temannya tidak makan malam.
Dan anak perempuan?  Untuk membuat dirinya cantik.

Anak 2. “Geo” 6 tahun.
Manakah diantara mereka yang lebih nakal? Anak laki-laki dengan roti gulung, karena roti gulung itu lebih besar daripada pita.

Anak 3. “Corm” 9 tahun.
Apa pendapatmu tentang hal itu? Ya, anak laki-laki tersebut mencuri bukan untuk dirinya sendiri. Tapi dia telah mencuri, maka dia harus membayarnya, yang satunya lagi, bukankah dia telah mencuri pita yang bagus.
Mana diantara mereka yang lebih nakal? Gadis kecil yang mengambil pita untuk dirinya sendiri, anak laki-laki yang mengambil roti gulung juga nakal, tapi roti tersebut dia berikan untuk temannya yang tidak makan malam.
Jika anda adalah guru sekolah, mana yang akan anda hukum paling berat? Gadis kecil itu.

 v  Tahapan model perkembangan moral Piaget
Berdasarkan penelitian dan pengamatannya terhadap anak-anak dan berbagai dilema moral yang muncul dari tanggapan mereka terhadap permainan kelerang. Piaget mencatat bahwa pemahaman dan penalaran anak-anak tentang moral berubah karena mereka kembangkan. Atas dasar penelitian itu, ia membangun model perkembangan seperti yang terlihat pada gambar 5.1.
Piaget menghubungkan perkembangan penalaran moral dengan perubahan kognitif. Dia berfikir bahwa penurunan egosentrisme dan menumbuhkan cara berfikir operasional sangat relevan dengan perkembangan moral anak-anak. Untuk menumbuhkan rasa pemahaman moral tersebut, anda harus mampu melihat masalah dari perspektif yang berbeda dan tidak hanya melihatnya dari sudut pandang anda. Sebagai contoh, mengambil mainan dari anak lain merupakan aktivitas umum balita. Sebagian besar orang dewasa dan anak yang lebih tua akan melihatnya sebagai sesuatu yang salah, namun untuk anak yang berada pada tahap egosentris, hal ini akan menjadi masuk akal, karena mainan akan membuat kita bahagia. Anak tersebut tidak mengerti aturan atau perspektif orang lain sehingga mengganggapnya sebagai sesuatu yang boleh dikerjakan.
Oleh karena itu, Piaget melihat bahwa perkembangan moral berhubungan dengan perkembangan kognitif. Piaget mencatat pentingnya interaksi dengan teman sebaya, dalam pengembangan pemahaman moral. Dia merasa ini penting, untuk memungkinkan anak agar mulai memahami penilaian dari perspektif orang lain dan belajar untuk menyelesaikan konflik yang timbul, misalnya memiliki semua mainan yang diinginkan semua anak. Dengan berinteraksi, anak-anak belajar untuk mengembangkan berbagai cara untuk menghadapi konflik, dan mampu membuat aturan, karena aturan tersebut merupakan tahap penting dari perkembangan moral.
Sebuah contoh terkini tentang perkembangan moral anak-anak yang relevan, adalah kasus terbunuhnya seorang balita yang bernama Jamie Bulger. Ada banyak perdebatan tentang apakah kedua anak laki-laki yang membunuhnya itu bertanggung jawab secara moral atas tindakan mereka. Beberapa orang merasa bahwa mereka terlalu muda untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka, yang lain percaya bahwa pada usia 10 tahun perkembangan moral telah terjadi sedemikian rupa dan mereka telah menyadari sepenuhnya tindakan mereka tersebut.
Bagaimana teori Piaget menjelskan hal ini? Anak-anak yang bertanggung jwab berumur 10 tahun pada waktu itu, dan mereka membunuh balita. Oleh karena itu, mereka berada pada tahapan perkembangan relativisme moral. Pada tahap ini, anak-anak telah dapat membentuk moralnya sendiri. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa anak-anak menganggap bahwa prilakunya tidak dapat diterima orang lain. Jika mereka telah membangun moralnya sendiri. Menyakiti anak lain mungkin masih dapat diterima oleh moral mereka. Piaget juga menekankan pentingnya teman dalam pengembangan moral, dan melalui nilai-nilai moral, barulah diskusi dapat dibangun dan ini melibatkan 2 teman. Menariknya, meskipun saat ini niat terlihat lebih penting dari konsekuensi, piaget lebih memikirkan apa maksud dari tindakan anak tersebut daripada fokus pada konsekuensi tindakan mereka. Juga ketika memutuskan apakah mereka bertanggung jawab secara moral, mungkin lebih tepat jika fokus pada niat awal mereka daripada konsekuensi dari tindakan mereka. Mereka tidak dapat membuat keputusan tanpa mengetahui niat awal mereka.
Teori piaget menunjukkan bahwa pada tahapan ini, timbal balik menjadi kunci dari hukuman mereka, anak-anak akan diharapkan mendapat hukuman yang berat sesuai dengan beratnya kejahatan. Namun, piaget berpendapat bahwa harus ada pertimbangan pada niat mereka daripada konsekuensi dan juga anak-anak ini masih berada dalam tahapan operasional konkret, mereka tidak memiliki kemampuan kognitif secara logis yang dapat menyimpulkan konsekuensi dari tindakan mereka, mereka tidak mampu memahami konsekuensi bagi Jamie atau bagi mereka sendiri.
Teori Piaget tidak dapat memberikan jawaban penuh untuk pertanyaan yang diangkat dari kasus Jamie Bulger. Tapi teori tersebut memungkinkan kita mengeksplorasi, ditinjau dari sudut pandang Piaget, tahapan moral pembunuh muda tersebut mungkin telah tercapai.

4.      Teori Perkembangan Moral Kohlberg
            Koheberg mengembangkan ide-ide Piaget lebih lanjut.di menghasilkan perkembangan teori moral mulai dari anak-anak sampai dewasa. Teorinya jauh lebih komplek dan dialamatkan beberapa kritik yang dibuat Piaget. Namun, ada beberapa karkteritik dari keua teori, yitu:
·         Keduanya memiliki tingkat/tahapan karena mereka menyarankan bahwa tingkat perkembangan dari pemahaman moral adalah urutan yang telah ditentukan dari tahap bawaan.
·         Tiap tahapan merupakan sebuah perkembangan berfikir
·         Fokusnya tidak pada apa yang difikirkan seseorang teapi bagaimana mereka berikir dan bagaimana hal ini mempengaruhi penilaian apa yang mereka buat (yaitu perilaku moral) (Flanagan dan Eysenc, 2000)
Teori Kohlberg terdiri dari tiga tingkat perkembangan moral dan disetiap tingkat berisi dua tahapan. Seperti bagan berikut ini:
Tingkat 3: Berprinsip atau pasca konvensional moral
Tahap 6 : Prinsip-prinsip etis universal
Tahap 5 : Kontrak sosial atau utilitas dan hak-hak individu
Tingkat 2: Konvensional moraliats
Tahap 4 : Sistem sosial dan hati nurani (hukum dan peraturan)
Tahap 3 : Antar pribadi yang saling berharap, berhubungan dan sesuai
Tingkat 1: Pra-konvensional moralitas
Tahap 2 : Individualisme, tujuan instrumen dan pertukaran
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan

Tahap perkembangan moral menurut teori Kohlberg secara rinci akan dijelaskan berikut ini:
Tingkat I : Penalaran Pra-Konvensional
            Tingkat pra-konvensional moralitas merupakan tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, ditandai dengan otoritas (kekuasaan) eksternal, penilaian benar dan salah berdasarkan pada otoritas orang terdekat dan unggul secara fisik misalnya orang tua. Standar dari tindakan benar atau salah secara eksternal. seorang anak menggunakan konsekuensi dari tindakan untuk memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.
-          Tahap satu (Orientasi hukuman dan ketaatan)
Yaitu : pada tahap ini Anak menilai apa yang salah dengan hukuman apa yang diberikan dan apa yang benar dengan tidak diberi hukuman atau akan dihargai.

-          Tahap dua (Individualisme, tujuan instrumen dan pertukaran)
Yaitu : pada tahap ini anak berprilaku dengan cara yang akan dihargai dan menghindari prilaku yang akan nantinya akan dihukum. Benar dilihat apa itu adil dan baik adalah yang membawa hasil yang menyenangkan.

Tingkat II : penalaran konvensional
            Pada tingkatan ini, konsekuensi penilaian bukan berasal dari konsekuensi eksternal tetapi didasari dari aturan-aturan kelompok yang dimiliki anak. Norma-norma kelompok tersebut terinternalisasi. Bukan lagi dari orang tua.

-          Tahap tiga (Antar pribadi yang saling berharap, berhubungan dan sesuai/ Norma-norma Interpersonal)
Yaitu : pada tahapan ini, perilaku baik adalah apa yang menyenangkan orang lain, kepercayaan sangat dihargai sebagai loyalitas. Mempertahankan hubungan dinilai suatu yang sangat penting.

-          Tahap empat (Sistem sosial dan hati nurani (hukum dan peraturan)
Yaitu : tahap dimana anak berfokus pada kelompok-kelompok sosia yang besar yang menyedikn mereka dengan norma-norma moral. Penalaran moral berfokus pada tugas dan menghormati otoritas, seperti hukum dan peraturan (peraturan yang tidak dipertanyakan lagi).
  
Tingkat III : pasca konvensional moral
            Pada tingkatan terakhir ini, suatu tingkat yang menjauh dari aturan kelompok yang dijadikan otoritas pribadi dan pilihan pribadi didasrkan pada prinsip dan penilaian pribadi atau suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.

-          Tahap lima : Kontrak sosial atau utilitas dan hak-hak individu
Yaitu : tahap ini melihat awal dari prinsip pribadi yang dipilih. Pada tahap ini hukuman dan aturan tidak relevan. Apa yang benar dan adil adalah suatu yang penting.

-          Tahap enam : prinsip-prinsip etis universal 
Yaitu : dalam tahap akhir individu ini, mengasumsikan tanggung jawab untuk tindakan mereka sendiri dan keputusan didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan menghorm ati orang lain atau jika seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar