Sabtu, 23 Maret 2013

PENGUKURAN PERKEMBANGAN TINGKAT KECERDASAN (DEVELOPMENT OF THE MEASUREMENT LEVEL INTELLIGENCE)


A.  Pendahuluan
Para Psikolog telah memberikan berbagai definisi kecerdasan yang berbeda-beda dan bahkan tidak sepaham dengan apakah kecerdasan merupakan sesuatu yang utuh atau merupakan kumpulan dari elemen-elemen yang berbeda. Sebagai contoh, apakah kamu orang yang sudah cerdas dengan sendirinya atau apakah kecerdasan terbentuk dan aspek-aspek yang berbeda seperti kemampuan verbal dan kemampuan logika, dan sebagainya.
Bagaimanapun, secara umum kecerdasan ditinjau dari berbagai macam kemampuan dalam memperoleh informasi, berpikir dan beralasan secara baik & efektif serta sesuai dengan lingkungannya.
Beberapa aspek kecerdasan dapat di ukur dan dapat di uji melalui tes kecerdasan, sangatlah penting untuk mencatat bahwa tes-tes tersebut hanya dapat mengukur aspek-aspek tertentu dan kecerdasan, dapat dikatakan bahwa mereka merupakan alamat dari tingkat kemampuan yang bukan kecerdasan.
Terdapat bermacam test kecerdasan, yakni standarisasi test, yang biasa pertanyaannya terfokus kepada opini logika, verbal dan kemampuan matematika. Test tersebut memiliki instruksi yang jelas untuk administrasi dan penilaian setiap orang akan mendapatkan hasil berupa nilai yang diberikan setelah test berlangsung.
Test tersebut menyebabkan terjadinya perbandingan kemampuan terhadap satu group dengan group yang lain, atau seorang individual dengan individu yang lainnya. Terdapat beberapa batasan dalam test tersebut, hal ini akan didiskusikan kemudian.

B.  Permasalahan
Kecerdasan merupakan hal yang amat sulit untuk didefinisikan apakah kecerdasan itu? Apakah maksud dari sesuatu yang disebut cerdas?

C.  Pembahasan
I.     Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi  Pengukuran  Kecerdasan. 
Kerap terjadi perdebatan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sama halnya dengan pertentangan terhadap apa sebenarnya kecerdasan itu sendiri, sejarah penelitian kecerdasan sangatlah luas, minat merupakan pusat penyebab ada variasi dari tingkatan kecerdasan seseorang. Hal yang paling mendasar terbagi atas dua hal yakni faktor genetika (alami) dan faktor lingkungan  (pengasuhan), dengan kata lain, dapatkah perbedaan antara tingkat kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetika atau variasi lingkungan ?
Non genetik atau faktor lingkungan berupa segala hal yang tidak diwariskan / tidak berdasarkan keturunan, faktor-faktor tersebut bukan hanya stimulasi lingkungan dan orang tua semata, namun juga nutrisi, kekebalan tubuh, status sosial ekonomi dan sebagainya.
Hasil perdebatan antara para nativists, yang menyatakan bahwa pengetahuan dan opini merupakan pre-struktur genetika dan empiris yang menyatakan bahwa pengetahuan dan opini dan mengatur untuk merefleksikan dan membuat sensasi dari pengalaman-pengalaman tersebut.
Pertanyaan menjadi semakin rumit, karena hal ini belum jelas, seberapa banyak perbedaan dalam  kecerdasan yang dapat ditentukan dengan pengaruh alamiah (genetik) dan seberapa banyak pengaruh pengasuhan (lingkungan), sebagaimana perdebatan mengenai kecerdasan telah berkelanjutan pendekatan Psikometrik terhadap kecerdasan telah berkelanjutan, pendekatan Psilometrik terhadap kecerdasan  telah dicoba untuk mendefinisikan sebuah  faktor umum yang erat kaitannya dengan kecerdasan.
Baru-baru ini, penelitian telah mulai untuk memfokuskan pada pentingnya aspek genetik dan hubungannya terhadap perbedaan aspek-aspek kecerdasan dan penelitian saat ini telah bergerak untuk mencoba mengidenfitikasikan hubungan gen dengan kecerdasan.
Usaha dan investigasi, mengenai pengaruh dari aspek-aspek yang berbeda di dalam perkembangan kecerdasan telah banyak mendapatkan perlakuan dalam berbagai pembelajaran/penelitian.

II.  Faktor Genetik Dalam Pengaruh Tingkatan Kecerdasan
2.1    Pengujian Anak Kembar
Berbagai penelitian dirancang untuk mengivestigasikan perkembangan pengukuran terhadap anak kembar. Penyebab dari penelitian ini yakni untuk mencoba membandingkan setiap individu yang saling berbagai genetik yang sama satu sama lain, memberlakukan hal ini diharapkan para  peneliti mampu untuk menggambarkan kesimpulan mengenai faktor-faktor apakah yang lebih berpengaruh terhadap kecerdasan, faktor genetik ataukah lingkungan. Suatu cara untuk  membandingkan orang-orang yakni dengan menggunakan skor IQ. Dalam proses pengukuran skor IQ seseorang, akan diberikan sebuah test untuk orang tersebut, test tersebut akan mengukur beberapa faktor seperti logika matematika, kemampuan verbal, dan sebagainya. Ketika test selesai dilaksanakan maka IQ dari seseorang akan dapat dihitung, secara umum semakin tinggi skor IQ maka semakin tinggi pula kecerdasan yang dimiliki. Bagaimanapun, sangatlah penting untuk  menyadari  bahwa terdapat  beberapa permasalahan pada test IQ. Pendapat  yang merujuk kepada genetika dan alam di investigasikan menggunakan test IQ. Jika orang-orang yang memiliki genetik yang sama namun memiliki skor IQ yang berbeda maka hal ini dapat dinyatakan bahwa lingkungan berpengaruh membentuk kecerdasan.
Kembaran monozigot (Mz) berbagai material genetik yang sama dikarenakan mereka berasal  dari satu telur  sehingga disebut “Kembar Identik”. Kembaran dizigot (Dz) berasal  dari telur yang berbeda satu sama lain sehingga genetik mereka mirip dengan saudara kandung, yang membedakan hanyalah mereka saling berbagi pengalaman di masa-masa sebelum kelahiran, tidak seperti saudara kandung lainnya yang dikandung secara terpisah.
Biasanya dalam penelitian skor IQ dari dua orang yang kembar akan dibandingkan dan menghasilkan sejumlah korelasi. Sebuah korelasi yang berangkakan 1 merupakan korelasi  yang sempurna dan artinya skor kedua orang tersebut sama persis. Semakin menjauh dari angka korelasi 1, maka semakin berkurang korelasi/hubungan yang dimiliki.
Shield (1962) melakukan salah satu perlakuan yang paling awal dan sangat terkenal dalam penelitian anak kembar. Shield mencetuskan mengenai hal disertakannya anak kembar dalam suatu percobaan dengan menyediakan sampel 44 kembaran, sebagian anak kembar akan tinggal bersama dan sebagian lainnya akan dipisahkan dari kembarannya. Tingkatan IQ dari kembaran-kembaran tersebut di tes dan dibandingkan, korelasi kembaran Mz adalah 0,77 untuk kembaran yang dipisahkan dan 0,76 untuk kembaran yang tumbuh bersama. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan tempat mereka tumbuh  sedikit berperan dalam kecerdasan dikarenakan kolerasinya yang hampir identik. Jika lingkungan berpengaruh kepada faktor perkembangan kecerdasan maka kita harapkan perbedaan antara kolelasi tersebut menjadi lebih besar.

    *      Evaluasi
Penelitian ini tampaknya menyediakan bukti yang jelas bahwasanya kecerdasan dipengaruhi oleh faktor genetik namun hal ini dikritisi habis-habisan oleh prinsip kamin (1977). Dia menyatakan bahwa sampel yang disediakan shield sangatlah kecil. Juga menjadi pernyataan bahwa sebagian anak kembar tumbuh bersama dan sebagian lagi dipisahkan justru patut dipertanyakan. Tidak terdapat pengklasifikasian yang jelas ketika kamin (1977) meninjau ulang penelitian itu, ditemukan bahwa kerap kali kembaran yang dikatakan diasuh secara terpisah tentunya telah menghabiskan sejumlah waktu secara bersama-sama.
Kembaran-kembaran Mz hanya diasuh terpisah setelah berumur 1 tahun, dan kerap diadopsi oleh sanak saudaranya, dan tentunya akan saling menjenguk satu sama lain. Hal ini juga diketahui bahwa agen adopsi mencoba untuk mencocokkan keluarga adopsi dengan si anak, dalam hal  mencocokkan tempat merupakan  suatu usaha dimana anak ditempatkan pada lingkungan yang sama untuk membuat adaptasi menjadi mudah. Oleh karena itu hal tersebut tidak  mungkin dikatakan bahwa lingkungan tempat pengasuhan anak kembar tersebut sangatlah berbeda hanya karena mereka diasuh secara terpisah. Isu ketiga yakni sama halnya dengan digaet yang dituduh melakukan percobaan yang bias, juga korelasi sempurna yakni satu (1), jadi catatan faktor apakah yang menjadi perbedaan antara hasil penelitian shieds dan 100? Bisa saja percobaan yang disebabkan oleh faktor  lingkungan sehingga faktor lingkungan dapat ditinjau sebagai hal yang berpengaruh.  Asumsi bahwa kembarna Mz adalah identik juga menimbulkan pertanyaan, mereka mungkin saja memiliki perbedaan pengalaman lahir oleh juga diasuh dan memiliki hubungan berbeda dengan orang tua yang berbeda. Keseluruhan dari pengalaman mereka itu tidak dapat dikatakan identik secara menyeluruh dan oleh karena itu mereka tidaklah identik secara menyeluruh (Flanagan, 1977).
Penelitian lainnya yang menggunakan anak-anak kembar sebagai  perlakuan. Kaufman (1999) dan Bounchard dan McGue (1988) meninjau ulang perlakuan dari beberapa penelitian. Pederson etal (1992) meninjau ulang adopsi orang-orang swedia / pembelajaran pertumbuhan anak kembar, dan New man et al (1928) juga menginvestasikan perbedaan IQ pada kembaran Mz dan Dz. Hasil dari penelitian – penelitian ditunjukkan pada tabel 4.1. tabel mengindikasikan apa tipe sampel kembaran yang disediakan, apa kondisi tempat mereka tumbuh, misalnya bersama  atau terpisah dan kolerasi antar skor IQ yang mereka miliki setelah tahap pengetesan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa faktor genetik lebih mempengaruhi tingkat kecerdasan dari pada faktor lingkungan, layaknya kembaran dengan genetik material yang sama (Mz) memiliki korelasi yang  lebih tinggi dan pada kembaran (Dz) sebagiamanapun pertumbuhan yang mereka tempuh ini menyatakan bahwa faktor-faktor genetik  lebih penting menentukan tingkatan kecerdasan. Pederson et al (1952) menyatakan bahwa sekitar 80% IQ itu diwarisi.
Dalam penelitian lebih lanjut oleh Bounchart et.al (1990) meninjau ulang terhadap 100 kembaran di Memisota yakni penelitian terhadap kembaran yang diasuh secara terpisah. Mereka menemukan bahwa sekitar 70% skor IQ ditentukan oleh  faktor genetik. kaufman (1999) menyatakan bahwa persentasi heritablitas bagi IQ sekitar 50% lagi-lagi hal ini mendorong pembuktian terhadap pengaruh genetik bagi kecerdasan.
Bagaimanapun jika kita meninjau ulang kesalahan yang diperbuat dalam penelitian shields, bisa dikatakan bahwa hal tersebut mungkin sama dengan pengaplikasian yang telah dilakukan dalam beberapa penelitian. Hal tersebut disebabkan juga oleh penggunaan sampel yang kecil, asumsi / pernyataan tentang kembaran yang tumbuh terpisah padahal masih terdapat  beberapa kontak / komunikasi yang berlangsung gagal dalam mengakui proses pencocokan adopsi/percobaan yang bias, gagal untuk mengakui bahwa kembaran identik tidak memiliki pengalaman yang identik dan gagal untuk mengomentari kekurangan dari korelasi yang sempurna.
Di dalam banyak penelitian kembaran baru-baru ini di Australia didapati bahwa minimal 50% dan mungkin saja 65% dari beragam pendidikan/edukasi yang didapati mampu berdistribusi terhadap genetik. Penelitian ini menyatakan bahwa hanya 25% dari variasi edukasi / pendidikan yang mungkin dapat menjadi faktor lingkungan (Miller, Muluey, & Maltin, 2001). Penelitian ini menyediakan dukungan bagi pengaruh genetik terhadap kecerdasan dan pencapaian pendidikan.
Didalam penelitian lainnya tentang anak kembar yang cakupannya lebih luas, yang baru-baru ini dilakukan, telah memberikan dukungan lebih lanjut terhadap pengaruh genetik dalam perkembangan pengukuran pengukuran kecerdasan. Dalam penelitian in 209 pasang kembaran telah dites dengan umur 5,7,10 & 12 tahun. Hasil dari beberapa tes IQ menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap heritabilitas bagi semua umur dan genetik menjadi pengaruh utama yang menyebabkan stabilitas kemampuan kognitif, kembali dukungan ide terhadap penetapan kecerdasan yang secara umum semakin meluas (Bartels, Rietveld, Van Boal & Boomsma, D.2002).
Penelitian oleh Al-Arcon, Knopik, & Defries (2000) terhadap kemampuan matematika anak dan kemampuan – kemampuan kognitif secara umum mereka menemukan bahwa terdapat 90% faktor-faktor dalam matematika dan 80% faktor-faktor kognitif secara umum yang dipengaruhi oleh genetik.
De Gues, Wright, Martin & Boomsma (2001) menyediakan kesimpulan mengenai penelitian tentang efek genetik yang berpengaruh terhadap ragam individu dan kemampuan kognitifnya dan didapati bukti meliputi eksistensi yang cukup besar terhadap pengaruh dari pada genetik.

2.2 Penelitian Familia
Penelitian tambahan mengenai anak kembar, familia atau konship telah dilaksanakan, hal tersebut menghadirkan partisipan yang memilikihubungan darah kembali alasan disebabkan oleh adanya hubungan informasi genetik. Bouchard & McGue (1981) meninjau ulang jumlah yang banyak dari kembaran dan penelitian familia yang mencoba untuk menetukan faktor apakah yang paling berpengaruh di dalam perkembangan kecerdasan. Penemuan mereka ditunjukkan pada tabel 4.2. peninjauan ulang terhadap penelitian ini memberikan dukungan bagi faktor genetik, semakin dekat hubungan genetik maka semakin tinggi korelasi skor IQ yang didapatkan.

      *      Evaluasi
Jika pertimbangan hasil yang diperoleh maka dapat ditinjau bahwa masih terdapat sebuah korelasi yang belum sempurna, sehingga tidak semua skor IQ dapat ditentukan oleh genetik. Juga sulit untuk memberikan batasan yang  jelas antara pengaruh genetik dan lingkaran. Saudara kandung dan kembaran yang diasuh bersama tidak hanya memiliki kesamaan informasi genetik namun juga lingkungan yang sama, didalam perkembangan yang lebih luas, sehingga sangatlah sulit untuk menetapkan jika pengaruh lingkungan yang sama akan memberikan korelasi yang tinggi terhadap skor IQ. Tentunya sangatlah egois jika diasumsikan bahwa informasi genetik yang samalah yang  mempengaruhi skor IQ.
Akhirnya terdapat sebuah keuntungan bagi kelompok yang sama dalam sejumlah penelitian dan meninjau ulang hal tersebut, namun dalam melakukan sejumlah penelitian, kamu akan digunakan secara bersama ke dalam test yang berbeda, oleh karena itu sangatlah sulit untuk menjamin semua penelitian yang digunakan adalah sama dan hal ini justru membuat hasil yang didapatkan menjadi pertentangkan.

2.3 Penelitian Adopsi 
Metode lainnya yakni penelitian terhadap anak yang diadopsi dan membandingkan skor IQ mereka dengan anak lahir secara alami dari orang tua mereka ( anak kandung ) ataupun dari orang tua adopsi mereka. Kasusunya yakni anak- anak akan berbagi informasi genetik dari orang tua asli mereka dan memperoleh informasi lingkungan atau pengalaman mereka dari orang tua adopsi. Penelitian – penelitian tersebut akan dijelaskan dan di evaluasi saat ini / sekarang.
Horn (1983 ) melakukan sebuah penelitian di Texas dimana terdapat agen adopsi yang sangat besar yang menyediakan data yang memungkinkan terjadinya penelitian ini. Ibu – ibu tanpa nama yang anak – anak mereka (469 anak ) diadopsi sejak lahir dan di IQ nya. Anak – anak tersebut di tempatkan pada 300 keluarga adopsi. IQ para ibu yang mengadopsi juga di ukur. Korelasi IQ yang di dapatkan adalah 0,15 bagi ibu adopsi dan 0,28 untuk ibu kandung. Ini menunjukkan beberapa pengaruh genetic terhadap kecerdasan.
Plomin ( 1988 ) menelusuri perkembangan anak – anak yang di ikut sertakan dalam penelitian sebelumnya, dan meninjau ulang skor IQ mereka pada umur 10 tahun. Mereka memiliki korelasi hanya 0,02 terhadap saudara adopsi mereka. Kembali hal ini membuktikan bahwa lingkungan yang sama tidaklah terlalu berpengaruh di bandingkan informasi genetik yang telah ada.
Stoolmiller ( 1998 ) memunculkan pertanyaan – pertanyaan terhadap rancangan projek adopsi  Texas dan menyatakan bahwa telah terdapat sebuah peremehan yang keterlauan terhadap pengaruh dari faktor lingkungan keluarga. Bagaimanapun pernyataan ini di perselisihkan oleh Loehlin and Horn ( 2000 )
       
     *      Evaluasi
Pembuktian ini menyatakan bahwa biasanya terdapat korelasi yang tinggi antara anak dan orang tua kandung dari pada orang tua adopsi mereka, hal ini menjadi bukti bagi pengaruh faktor genetik. Bagaimanapun pada awal bab ini kita telah mengulas proses yang cocok perihal adopsi. Jika lingkungan menjadi permasalahan yang sulit untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap kecerdasan di bandingkan dengan besarnya pengaruh genetik. Membandingkan saudara adopsi akan terlihat cacat seakan hal ini mengasumsikan bahwa pengalaman anak didalam keluarga yang sama adalah serupa, contoh: Lingkungan itu bersifat konstan. Penelitian Parental menyatakan bahwa saudara kandung didalam keluarga yang sama akan memiliki pengalaman yang mungkin sedikit berbeda satu sama lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengalaman adalah :urutan kelahiran, jenis kelamin, perangai/tabiat/kepribadian, dan pengalaman pengasuhan. Oleh karena itu, berada dalam keluarga yang sama bukan berarti/tidak menjamin berada dalam lingkungan yang sama, dan kembali terdapat sebagian dari hasil penelitian di pertanyakan.
Selanjutnya, kaufman ( 1999 ) menyatakan bahwa IQ orang tua adopsi dengan anak yang tinggal bersama mereka adalah ( 0,19 ) mirip dengan IQ dari orang tua kandung dan anak yang hidup terpisah ( 0,22 ). Bertentangan dengan temuan Texas mengenai projek adopsi dan tidak menyatakan bahwa genetik lebih berpengaruh dari pada lingkungan jika hal tesebut merupakan kasus, tentunya hubungan tersebut mungkin lebih tinggi.

III.   Faktor- faktor Lingkungan
Sejauh ini bukti yang menentang informasi genetik dalam penetapan kecerdasan telah diulas. Evaluasi dari penelitian telah menyatakan bahwa lingkungan tentu saja akan berpengaruh bagi sebagian tingkat penentuan kecerdasan. Bab ini kan mendiskusikan beberapa faktor lingkungan dan mengulas kembali penelitian Empiris yang dilakukan untuk menentukan pengaruh dari faktor-faktor dalam pengukuran kecerdasan.

3.1 Penelitian Adopsi
Pada sesi sebelumnya kita telah meninjau penelitian utama adopsi dalam menyelidiki peranan genetik. Disini kita meninjau hal-hal tesebut untuk menyelidiki peranan yang di mainkan oleh lingkungan.
Scarr dan Weinberg ( 1983 ) menemukan bahwa anak adopsi memiliki skor IQ 10 atau 20 poin lebih tinggi ( rata-rata ) dari pada bersama orang tua kandungnya. Hal ini mungkin di sebabkan oleh keluarga yang mengadopsi pada umumnya kemampuan finansialnya lebih baik sehingga anak yang berada dalam lingkungan tersebut dapat mengembangkan potensi mereka secara menyeluruh.
Scarr dan Weinberg ( 1977 ) juga meneliti anak kulit hitam yang diadopsi oleh keluarga kulit putih. Seperti di lansirkan sebelumnya, keluarga-keluarga tersebut memilki kapasitas financial dan status pendidikan yang tinggi di bandingkan dengan keluarga aslinya. Rata-rata IQ
anak kulit hitam yang diadopsi 12 bulan setelah kelahiran ( umur 1 tahun ). Hal ini telah di bandingkan dengan rata-rata IQ anak kulit hitam dengan latar belakang genetik yang serupa namun memiliki latar belakang lingkungan orang miskin. IQ anak-anak tersebut adalah 90. Dengan demikian, Scarr dan Weinberg menghasilkan bukti bagi peranan dan sebuah lingkungan.
Schiff et al. (1978 ) menemukan bahwa anak yang terlahir dari orang tua yang status sosial nya rendah namun kemudian di adopsi oleh keluarga yang status sosial ekonomi nya tinggi menunjukkan perolehan IQ yang signifikan ketika di bandingkan dengan anak-anak yang tetap tinggal di lingkungan yang asli.
Capron dan Duyme ( 1989 ) meneliti 38 anak-anak perancis yang di adopsi sejak bayi. Setengah dari anak-anak tersebut memiliki orang tua biologis kelas menengah ke atas, setengah nya lagi memiliki orang tua biologis yang bekerja atau kelas rendah. Sebagian dari bayi-bayi tersebut di adopsi oleh keluarga dengan status sosial tinggi di bandingkan orang tua biologis mereka, dan sebagian bayi lain nya di bawa kepada keluarga dengan kelas sosial rendah. Anak-anak yang di asuh di rumah-rumah kelas atas memiliki skor IQ 15-16 poin lebih tinggi di bandingkan anak-anak yang berada di kelas bawah yang lebih rendah dari kelas orang tua biologis nya . Penelitian ini menegaskan bahwa penting nya peranan lingkungan dalam dalam mengembangkan pengukuran tingkat kecerdasan.
    
     *      Evaluasi
Semakin awal anak di adopsi, maka semakin baguslah kemampuan intelektual mereka yang akan meningkat. Hal ini menyatakan bahwa lingkungan itu penting dan berpengaruh ketika hal tersebut di laksanakan dalam kondisi/situasi yang tepat. Umur kelihatan nya juga merupakan faktor yang penting. Bukti tersebut menyatakan bahwa lingkungan sangatlah berpengaruh dalam umur “pre- school” ( sebelum sekolah).
Penelitian yang melibatkan anak-anak dari budaya yang berbeda di buka pembahasan nya. Tes IQ telah di kritiskan dalam hal kebudayaan yang bias. ( perhatikan nanti di bawah teks bias ). Pemikiran di dasari di sekitaran nilai kelas menengah kulit putih, ide-ide dan pengalaman-pengalaman. Oleh karena itu, peningkatan anak-anak kulit hitam mungkin tidak menjadi peningkatan intelektual yang tepat. Mereka mungkin tidak memiliki penambahan kecerdasan, namun dikarenakan mereka di bawa ke dalam sebuah keluarga kulit putih, faktor-faktor di ukur oleh tes IQ menjadi semakin di kenal sehingga mereka tampil dengan baik. Misal nya: saya mungkin akan gagal pada tes menulis di dalam bahasa yang berbeda, namun jika hal tersebut di terjemah kan saya akan lulus. Sama hal nya jika sebuah tes menggunakan objek dan contoh yang tak diketahui saya gagal, jika saya merujuk kepada objek dan contoh yang saya kenal saya mungkin akan lulus. Saya tidak semakin cerdas, saya hanya lebih memahami kaidah peraturan.
Keluarga adopsi secara umum lebih sedikit dan mempunyai status financial dan pendidikan yang lebih baik. Faktor-faktor tersebut menjadikan pengaruh lingkungan tampak lebih kuat.
Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Capron dan Duyme ( 1989 ) menyatakan pentingnya aspek lingkungan, faktor-faktor genetik juga merupakan hal yang penting dalam penelitian ini. Anak-anak yang orang tua biologisnya berasal dari latar belakang status sosial ekonomi nya tinggi memiliki IQ yang lebih tinggi di bandingkan anak-anak yang orang tua biologisnya ( kandung ) berasal dan latar belakang status sosial ekonomi yang rendah, tanpa pengaruh lingkungan.

3.2 Penelitian Familial ( kekeluargaan )
Kaufman ( 1999 ) menyediakan bukti untuk menyatakan  pentingya pengaruh lingkungan terhadap referensi dari penelitian keluarga. Dia menemukan bahwa korelasi saudara kandung  yang di asuh bersama ( 0,47 ) lebih tinggi dari pada mereka  yang di asuh terpisah ( 0,24 ). Dia juga mendapati hal yang serupa  bahwa anak dan orang tua yang hidup bersama memiliki korelasi skor IQ yang lebih tinggi ( 0,42 ) di bandingkan mereka yang tumbuh terpisah ( 0,22 ). Hal ini menunjukkan bukti bahwa perkembangan pengukuran tingkat kecerdasan. Jika faktor lingkungan tidaklah penting, maka skor yang didapatkan pada kedua hal tersebut seharusnya mirip.
Evaluasi
Korelasi yang di nyatakan masih sedikit rendah dan faktor-faktor lain juga mempengaruhi perkembangan IQ.

3.3 Status Sosial ekonomi
Faktor lain yang diselidiki adalah status sosial ekonomi ( SES ). Beberapa penelitian di sediakan untuk di tinjau seandainya terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dengan tingkat kecerdasan.
Bernstein ( 1971 ) menyatakan bahasa antara keluarga yang SES rendah dan keluarga yang SES nya tinggi adalah berbeda. Dia menyatakan dalam penelitian nya bahwa anak yang berasal dari keluarga yang SES nya rendah memiliki batasan kode bahasa sedangkan mereka yang berasal dari keluarga yang SES nya tinggi memiliki kode bahasa yang mendetil. Maksud nya adalah anak dari keluarga SES yang rendah bahasa mereka merupakan konsep abstrak yang rendah, yang menjadikan proses informasi sulit. Disini Bernstein menyatakan berpengaruh pada perkembangan kognitif dan kecerdasan verbal mereka, dan argumen ini menyatakan ide bahwa kecerdasan ternyata mempunyai hubungan dengan status sosial ekonomi.
Penelitian kejuruan Longitudinal, mengikuti perkembangan anak sejak lahir hingga remaja, dilakukan oleh Sameroff et.al ( 1987 ). Hal ini di kenal dengan sebutan penelitian Rochester Longitudinal dan di mulai sejak tahun 1970.
Penelitian ini menyertakan sekitar 200 anak. Penelitian ini mengidentifikasikan 10 faktor-faktor yang mempengaruhi skor IQ. Faktor-faktor tersebut bukanlah pengaruh genetik namun lingkungan. Mereka adalah :
Ø  Keadaan mental pengasuhan yang sakit
Ø  Kegelisahan / keinginan serius pengasuhan
Ø  Ayah yang tinggal jauh dari keluarga
Ø  Anak yang menjadi anggota mineritas grup
Ø  4 atau lebih anak di keluarga
Ø  Banyak nya tekanan pengasuhan yang di berikan walaupun pada anak libur sekolah
Ø  Kurangnya sifat ke ibuan dan kurangnya perhatian positif
Ø  Kebiasaan pengasuhan yang kaku dalam perkembangan anak
Ø  Kurang nya pendidikan lanjut bagi para orang tua
Ø  Miskin nya pelayanan pengasuhan
Semakin banyak faktor yang dirasakan oleh seorang anak, maka semakin rendahlah skor IQ yang mereka dapatkan. Setiap faktor tampak nya mengurangi IQ sebanyak 4 poin.

     *      Evaluasi
Labow ( 1970 ) mengkritisi percobaan Bernstein yakni memulai hal yang membingungkan dengan menghilangkan Linguisrik dan sosial. Hal itu, kemampuan bahasa yang rendah tidak lah sama dengan rendah nya lingkungan sosial. Labou juga menyatakan bahwa Bernstein telah gagal dalam mengambil perhitungan pada penelitian tanpa standar bahasa inggris. Beberapa anak menggunakan bahasa inggris yang berbeda dari yang lain dan hal tersebut tidaklah di perhitungkan.
Meskipun penelitian Sameroff seakan menunjukkan bukti bahwa tingkat kecerdasan IQ berhubungan dengan status sosial ekonomi, hal tersebut tentunya menunjukkan faktor-faktor asosiasi yang di sertai dengan rendah nya status sosial ekonomi suatu kelompok, bukan pada status sosial ekonomi itu sendiri memberi dampak pada IQ.
Faktor lainnya yang menganggap sosial ekonomi rendah suatu kelompok mungkin secara genetik memiliki kecerdasan yang kurang yakni mengapa mereka tidak menerima pendidikan dan oleh sebab itu menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ( skill )/ semi skill pegawai dan menjadi bagian dari kelas rendah. Hal ini kemudian menjadi alasan bagi genetik bukan lingkungan. Jika kecerdasan ditentukan oleh genetik tentu secara logika bahwa orang-orang  tersebut yang IQ nya rendah memiliki status sosial ekonomi yang rendah. ( Flanagan, 1977 ).
Faktor lain yang bukan genetik bias di kaitkan dengan hubungan pengasuhan. Orang tua memiliki pengaruh yang kuat terhadap lingkungan dimana anak-anak berkembang, Sesi selanjut nya akan membicarakan tentang berbagai hal lain yang menjadi faktor lingkungan bagi pengaruh kecerdasan.

3.4 Diet
Benton dan Cook (1991) menyediakan sekelompok anak dengan suplemen vitamin dan sekelompok grup control diberikan “placebos”. Ketika IQ anak dites, anak-anak yang mendapatkan suplemen memiliki peningkatan IQ skor 7,6 poin dan placebos grup menurun hingga 1,7 poin. Penelitian ini menjadi lebih membutakan dan oleh karena itu anak-anak tidak mengetahui apa yang mereka anggap. Hasil tersebut sedikitnya mampu membandingkan.
Daley, Whaley, Sigmen, Epinosa dan Neumann (2003) mencatat bahwa banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat IQ bisa bertambah dari waktu ke waktu peningkatan ini dikenal dengan istilah Efek Flynn. Mereka menyatakan bahwa hasil dari 20 industrial nasional telah menunjukkan peningkatan IQ yang luas setiap waktu. Mereka menyatakan bahwa diantara penyebab dari meningkatnya hal tersebut adalah dikarenakan nutrisi yang baik pada anak. Penelitian akan membantu untuk menjelaskan mengapa anak yang memiliki IQ rendah pada kelompok yang SES nya rendah, laksana diet lebih kerap terjadi pada orang-orang miskin sehingga hal tersebut mungkin berpengaruh bagi IQ mereka.
Berkman, Lescano, Gilman, Lopez dan Black (2002) menginvestasikan efek kronis malnutrisi (kurang gizi) bagi kemampuan kognitif. Mereka mengetes anak dengan umur 9 tahun dan mendapati bahwa mereka yang miskin diet dan memiliki pertumbuhan ketangkasan pada umur 2 tahun dengan skor 10 poin lebih rendah dites kognitif pada umur 9 tahun dari pasangannya yang tidak kekurangan nutrisi. Black menyatakan bahwa penelitian ini menekankan aspek penting dari nutrisi bagi anak dibawah 3 tahun, kembali menyediakan bukti bagi hubungan antara diet dan kemampuan kognitif.
Penelitian dilakukan kepada anak yang hidup di Shanty House di India menunjukkan bahwa malnutrisi sebelum umur 6 bulan secara signifikan menyebabkan IQ (Choudhary, Sharma, Agarwal, Kumar, Sreenivas, & Puliyel, 2002) kembali menyatakan hubungan antara diet yang terlalu dini dengan kecerdasan.
Bentun (2001) mengomentari penelitian yang telah ditela’ah yakni menyelediki hubungan antara suplemen bernutrisi dengan tingkatan kecerdasan anak.
Sepuluh penelitian dari 13 penelitian memberikan respon positif terhadap suplemen tersebut minimal pada tes sampelnya. Bukti tersebut menyatakan bahwa tidak semua anak memberikan respon terhadap suplemen namun minoritas asak-anak memberikan respon, dan hal tersebut juga memberi efek khusus terhadap perkembangandan kemampuan non verbal anak.
Bagaimanapun, hal tersebut tampak memberi tanggap terhadap diet anak yang terdiri dari tingkatan nutrisi yang rendah. Hal tersebut mungkin memberikan hasil yang menunjukkan level normal bagi fungsi diet yang normal.

*   Evaluasi
Sebuah masalah dengan penyelidikan terhadap diet adalah hal tersebut sulit dimonitir atau dilacak secara menyeluruh terhadap diet perorangan dan hasil dari disempurnakannya fasilitas makanan secara pasti. Hal ini membuat kesimpulan mengenai hubungan antara diet dan kecerdesan menjadi tanda tanya. Permasalahan lain yaitu mengilustrasikan efek adari faktor-faktor diet yang lain haruslah konstan, untuk menunjukkan bahwa diet menghasilkan suatu perbedaan. Hal tersebut adalah sulit untuk memantau seluruh aspek lingkungan dan oleh sebab itu sulit untuk menunjukkan bahwa diet merupakan faktor yang menentukan argument ini dapat ditinjau jika kita kembali ke penelitian sebelumnya anak-anak india yang hidup dikota Shanty. Walaupun diet dini diidentifikasikan sebagai penetapan aspek yang menunjukkan IQ, begitu pula halnya terhadap pendidikan pre-sekolah dan tempat tinggal.
Anak-anak pada tempat tinggal permanen memiliki IQ yang lebih tinggi dan mereka mungkin kerap menghadiri pre-sekolah (TK/Playgroup). Sama halnya penelitian yang dilakukan pada Efek Flynn mengiidentifikasikan kemampuan menulis dan membaca pada orang tua dan struktur keluarga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan IQ. Tampaknya sulit untuk memetapkan hubungan antara faktor-faktor lingkungan dengan IQ.

3.5 Stimulasi pengasuhan
Hart dan Risley (1995) melakukan penyelidikan perkembangan dalam jangka waktu yang lama, mereka memfokuskan kepada interaksi verbal. Mereka menemukan bahwa semua anak mulai belajar berbicara pada umur yang sama namun akan tampak berbeda pada umur 3 tahun.
Anak-anak yang berasal dari keluarga profesional memiliki kosa kata yang lebih luas dari pada anak yang keluarganya berasal dari kelas pekerja. Hart dan Risley menghubungkan kebiasaan pengasuhan. Mereka menyatakan hubungan antara stimulasi pengasuhan orang tua dan perkembangan bahasa.
Caldwell dan Bradley (1978) menemukan korelasi atau hubungan antara skor IQ yang tinggi dengan faktor-faktor berikut : pengaru pengasuhan emosional, penetapan materi, permainan yang sesuai, kemampuan untuk bermain dan belajar, harapan orang tua. Skor IQ yang bagus dihubungkan kepada orang tua-orang tua yang menyediakan penerimaan dan pembelajaran untuk anak. Caldwell dan Bradley mengembangkan ukuran yang disebut “Home Observation” untuk mengukur lingkungan (HOME). Mereka mendapati skor yang rendah dalam skala HOME bagi korelasi bayi terhadap skor IQ rendah di sekolah
Crandell dan Hobson (1999) menemukan bukti untuk menghubungkan antara pengaru perasaan (latihan) terhadap IQ. Sampel dari 36 ibu-ibu yang dibagi kedalam dua grup dasar terhadap respon wawancara dan question terhadap “attachment”. Ibu=ibu tersebut diberikan tes IQ dan anak-anak diberikan versi secara singkat. Interaksi ibu-anak ditarukan di video tip. Anak yang ibunya terjamin bernilai 19 poin lebih tinggi dalam tes. Dan sub-grup yang selamat 12 poin dan 12 bagi ibu yang tidak terjamin 12 poin bagi skor IQ, disana masih terdapat skor IQ diantara anak-anak yang signifikan. Hal ini menyatakan “attachment atau penyampaian perasaan” memiliki pengaruh lebih besar terhadap IQ dibandingkan hal pengasuhan. Penelitian ini menekankan pentingnya “attachment” dan sosialisasi lingkungan anak didalam perkembangan pengukuran kecerdasan.
Sigman et 21 (1988) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak-anak dengan IQ yang tinggi berbicara kepada mereka kerap dan banyak, mendetil dan tata cara yang akurat, satu hal lagi yang mengilustrasikan pentingnya stimulasi pengasuhan. Laundry et 21 (1996) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak dengan IQ yang tinggi bekerja di 2PD (perbaikan bab 3) mereka berbicara kepada anak-anak mereka diatas standar rata-rata pemehaman dan menggunakan strategi untuk menolong mereka mempelajari skill atau kemampuan yang baru. Pianta dan Egeland (1994) menemukan bahwa orang tua –orang tua yang anaknya memiliki IQ yang tinggi menyediakan permainan dan mainan yang sesuai dengan umur mereka.
Projek yang dinamakan “Projek Abecedanan” mengikut sertakan bayi-bayi dari level family atau keluarga miskin yang ibu-ibu mereka memiliki skor IQ yang rendah. Anak-anak ditetapkan pada salah satu dari dua grup-grup kontrol dan penelitian. Di dalam kontrol grup, anak-anak diberikan suplement nutrisi dan perawatan medis. Di dalam grup percobaan, anak-anak diberikan kedua hal tersebut, faktor tersebut namun diperkaya dengan perawatan harian. Hal ini dimulai sejak anak berumur 6-12 minggu dan dilanjutkan hingga anak mencapai usia TK. Skor IQ lebih tinggi terdapat pada eksperimental grup disetiap pengetesan antara 2 hingga 12 tahun yakni 44% untuk kontrol grup dengan IQ skor yang lebih luas dibandingkan eksperimental grup yang hanya 12,8% (Ramey dan Campbell, 1987, Ramey, 1993).
Penelitian ini kembali memperlihatkan bagaimana pentingnya lingkungan dalam perkembangan pengukuran kecerdasan. Tentu saja lingkungan yang kaya akan memberikan pengaruh yang lebih daripada supplement dan perawatan medis.

*   Evaluasi
Kembali hal ini disadari bahwa anak-anak mungkin akan menerima stimulasi dan pendidikan yang lebih sebagai penyemangat sebagai akibat dari tingginya IQ para orang tua. Hal demikian menyatakan bahwa orang tua yang memiliki IQ yang tinggi akan lebih menekankan pada hal edukasi atau pendidikan dan stimulasi. Dengan denikian, hal tersebut secara otomatis memberikan argument terhadap lingkungan-lingkungan mungkin akan terbentuk dikarenakan penetapan genetik IQ yang tinggi.
Ini penting untuk menyadari finansial sebagai sebuah faktor. Orang tua dengan IQ yang tinggi mungkin memiliki karir yang lebih baik dan oleh karena itu akan menentukan pendapatan mereka. Ini menjadikan penyediaan sarana permainan dan belajar yang sesuai dengan dukungan pendidikan ekstra.
Hal ini harus dicatat bahwa “attachment” merupakan subjek kontroversi yang tinggi. Di dalam penelitian Crandell dan Hobson asumsi adalah suatu hal yang berbeda dalam lingkar IQ biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal “attachment”. Bagaimanapun permas dengan hal “attachment” akan mengindikasikan permasalahan pada area social yang lain dan lingkungan emosi bagi anak, yang akan menjadi latar yang terfokus pada “attachment”.
Plomin dan Petrill (1997) menyatakan bahwa setengah dari HOME prediksi atas perbedaan kemampuan kognitif pada anak dapat dihitung untuk genetik dan faktor non-lingkungan.

3.6    Urutan kelahiran
Zajonc dan Markus (1975) meneliti tentang urutan kelahiran dan IQ, dan meninjau kembali skor dari 40.000 lelaki Belanda. Mereka menemukan bahwa skor IQ yang mundur dikarenakan pengaruh dari jumlah anggota keluarga dan urutan kelahiran. Ini mungkin disebabkan oleh anak-anak yang terlahirkan dari orang tua-orang tua harus berbagi perhatian dan waktu yang lebih banyak, dan kerap kali hal finansial menjadi kendala.
Zajonc (2001) membentuk sebuah model yang disebut model pertemuan. Model ini menyatakan bahwa kecerdasan dari setiap anggota keluarga bergantung kepada anggota keluarga lainnya. Dia menyatakan bahwa setiap anak yang urutan kelahirannya semakin akhir akan mendapatkan pengaruh kecerdasan lingkungan yang semakin rendah, dan hal tersebut lingkungan intelektual yang tinggi terbentuk dari rendahnya jumlah anggota keluarga. Alas an tersebut menyatakan bahwa anak yang pertama lahir memiliki IQ lebih tinggi dan berperan sebagai tutor bagi saudara kandungya yang lain, oleh karena itu ajari dan jelaskan hal-hal yang penting kepada mereka dengan sendirinya akan meningkatkan pemahaman dan IQ mereka. Dengan sendirinya anak yang paling kecil tidak butuh memaparkan ide dikarenakan yang lainnya akan menjelaskan ide, dan yang lainnya selalu bersedia untuk memberikan jawaban, oleh karena itu, anak yang paling kecil tidak melakukan hal tersebut, sehingga dia tidak terlalu perlu selalu banyak untuk berpikir dan mengembangkan skill tersebut.

*   Evaluasi
Hubungan antara urutan kelahiran dan kecerdasan telah secara ketat diperdebatkan. Lowery (1995) mengetes kecerdasan murid-murid dan mengumpulkan informasi mengenai urutan kelahiran. Dia menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kecerdasan. Rodgers, Cleveland, Vanden Oord dan Rowe (2001) mengklaim hubungan antara urutan kelahian dan kecerdasan hanyalah ilusi, dan dalam penelitian tersebut ditemukan tidak ada hubungan yang konsisten diantara faktor-faktor tersebut.

IV.   PERKEMBANGAN TERBARU DALAM HAL PENELITIAN KECERDASAN
4.1 Pendekatan “psychometric” terhadap kecerdasan
Argumen untuk dan melawan pentingnya faktor genetik dan lingkungan dalam perkembangan dan pengukuran kecerdasan telah diulas. Bagaimanapun, seperti yang dilansirkan pada pendahuluan, perdebatan mengenai perbedaan tingkat kecerdasan yang asli telah masuk ke area yang baru dan berpindah pada fokus pertanyaan yang lebih baru dan lebih penting.
Kline (1991) adalah seorang yang mendukung pendekatan psychometric terhadap kecerdasan. Pendekatan ini merupakan usaha untuk mengidentifikasikan hubungan antara aspek-aspek berbeda bagi kecerdasan. Pendekatan ini akan menyatakan bahwa seseorang yang terlihat cerdas akan memiliki skor yang tinggi terhadap pengukuran kecerdasan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, hal tersebut dapat dilihat untuk mendapatkan faktor kecerdasan yang umum. Pendekatan psychometric menyatakan bahwa faktor umum dapat dikenal dengan lambing “g” dan “g” merupakan bentuk umum dari seluruh pemecahan masalah kemampuan. Pendekatan psychometric menyatakan “g” akan dikombinasikan dengan kemampuan yang lebih spesifik di dalama area tertentu untuk menghasilkan orang-orang yang cerdas di bidang tersebut. Sebagai contoh, seorang musisi yang sempurna akan mempunyai “g” + faktor music, seorang ahli matematika akan punya “g” + faktor matematika. Oleh karena itu, Kline menyatakan bahwa terdapat faktor umum dalam kecerdasan, yang secara fundamental menjadi pemecahan masalah dalam berbagai area, dan hal tersebut dikombinasikan dengan kemampuan yang spesifik. “g” dibentuk berdasarkan 2 macam kecerdasan –kecerdasan yang berubah-ubah dan kecerdasan yang tetap. Kecerdasan yang berubah-ubah merupakan kemampuan dasar yang beralasan. Kecerdasan yan tetap adalah kemampuan yang ditunjukkan melalui hasil kerja (skill) oleh budaya dimana manusia tinggal. Jadi, seorang mungkin memilii kemampuan dasar matematika namun hal tersebut ditunjukkan dan dikenal ketika mereka menjadi seorang akuntan.
Pendekatan psychometric menyatakan bahwa 70% perbedaan kecerdasan dipengaruhi oleh faktor biologis dan 30% dari faktor lingkungan (Sternberg dan Wagner, 1986). Pendekatan ini berlanjut ke dasar perdebatan natural-natural dan menyediakan sebuah penjelasan bagi kecerdasan. Bagaimanapun, hal tersebut telah dkiritisi untuk tidak menjelaskan apakah sebenarnya “g” itu dan bagaimana cara kerjanya (Sternberg, 1986). Juga seperti yang akan kita diskusikan, kecerdasan berkembang melalui perjalanan hidup dan bukan kedewasaan yang singkat, dan hal ini sulit untuk dijelaskan dalam pendekatan psychometric.

D.  KESIMPULAN
1.    Secara umum kecerdasan ditinjau dari berbagai macam kemampuan dalam memperoleh informasi, berpikir dan beralasan secara baik & efektif serta sesuai dengan lingkungannya.
2.    Faktor – faktor yang mempengaruhi  pengukuran  kecerdasan ada dua yaitu factor genetic dan faktor lingkungan 
3.    Penelitian mengenai faktor genetik dalam pengaruh tingkat kecerdasan yaitu penelitian anak kembar, penelitian familia, penelitian adopsi.
4.    Penelitian mengenai factor lingkungan dalam pengaruh tingkat kecerdasan yaitu penelitan adopsi, penelitan familia, status social ekomomi, diet, stimulasi pengasuhan, dan urutan kelahiran.



 
DAFTAR PUSTAKA

Oakley, L. (2004). Cognitive Development. London & New York : Routledge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar