Kamis, 28 Februari 2013

PENDEKATAN HOLISTIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM



           Pendekatan holistik dalam menangani berbagai penyakit di bidang kedokteran konsep dasarnya sudah diterapkan sejak awal perkembangan ilmu kedokteran itu sendiri. Konsep dasar ini bertumpu pada anggapan bahwa manusia adalah sesuatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari badan dan jiwa, yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Selain itu manusia adalah makhluk sosial yang setiap saat berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungannya dimana dia berada.
            Adanya dikotomi antara badan dan jiwa dalam menangani pasien agaknya lebih merupakan akibat dari perkembanngan ilmu dari kedokteran yang tidak seimbang antara kemajuan yang dicapai di bidang fisik seperti patologi-anatomi, biokimiawi, biologi dan sebagainya dibandingkan dengan kemajuan di bidang non-fisik.
            Oleh karena itu nampaknya kita harus mundur dulu jauh ke belakang mengingat kembali beberapa ratus tahun sebelum Masehi pada saat Socrates dan Hipocrates melakukan dasar pendekatan holistik yang menyatakan bahwa selain faktor fisik, faktor psikis sangat penting pada kejadian dan perjalanan penyakit seorang pasien.
            Ucapan Socrates (400 BC) yang sangat popular adalah: As it is not proper to cure the eyes without the head; nor the head without the body; so neither it is the proper to cure the body without the soul. Tidaklah etis seorang dokter mengobati mata tanpa melihat kepala dan tidak etis bila mengobati kepala tanpa mengindahkan badannya; lebih-lebih sangatlah tidak etis bila mengobati badannya tanpa mempertimbangkan jiwanya. Sedangkan Hipocrates menekankan pentingnya pendekatan holistik dengan mengatakan: In order to cure the human body, it is necessary to have a knowledge of the whole of things.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep kedokteran dasar tersebut mengalami pasang-surut sesuai dengan pengaruh alam fikiran para ahli pada zamannya. Pada abat pertengahan konsep dan cara berfikir para ahli kedokteran banyak dipengaruhi oleh alam pikiran fisika dan biologi semata. Pendekatan pada orang sakit semata-mata adalah pendekatan somatis saja.
Pada saat itu pengetahuan tentang sel menonjol dan mengalami perkembangan pesat, karenanya pandangan para ahli hanya ditujukan pada bidang selular semata tanpa mengindahkan faktor-faktor lain seperti faktor psikis, sehingga pada zaman ini seolah-olah dokter bertindak sebagai “mekanik” yang memperbaiki bagian-bagian “kendaraan” yang rusak.
Pada masa ini kita mengenal sarjana Virchow (1812-1902) seorang ahli patologi anatomi yang memperkenalkan teori Patologi Selular dengan dogmanya omnis cellula et cellula. Dengan sendirinya pada masa ini yang menonjol adalah anggapan bahwa manusia sakit disebabkan oleh karena selnya yang sakit. Manusia hanya dipandang sebagai kumpulan sel belaka.
Kemajuan di bidang patologi-anatomi serta patofisiologi berikutnya mendorong para ahli untuk berfikir menurut organ tubuh dan sistem. Masa inipun agaknya belum memandang manusia secara utuh. Timbullah beberapa macam cabang ilmu spesialistis menurut sistem yang ada dalam tubuh seperti kardiovaskular, paru-paru, urogenital, gastrointestinal dan sebagainya, walaupun memang pada gilirannya nanti pendekatan secara sistem di atas bermanfaat pada peningkatan mutu pelayanan.
Pendekatan menurut organ dan sistem kenyataannya tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Banyak diantaranya beberapa pasien yang tidak merasakan adanya kesembuhan setelah mendatangi beberapa ahli sesuai dengan organ tubuh yang dideritanya. Keluhan-keluhan fisik tetap saja tidak berkurang. Sejalan dengan kenyataan ini para ahli kedokteran mulai menengok kembali sisi lain, yaitu semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan manusia termasuk aspek psikis.
Di pihak lain dalam perkembangan ilmu kedokteran ini para ahli psikoanalisa menemukan dan menekankan kembali pentingnya peran faktor-faktor psikis dan lingkungan dalam kejadian dan perjalanan suatu penyakit. Bahkan kemudian para ahli yakin bahwa patologi suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja tetapi terletak pada organisme yang hidup, dan kehidupan tidak ditentukan oleh faktor biologis semata tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yaitu bio-sosio-kultural dan bahkan agama. Inilah konsep yang memandang manusia/orang sakit secara utuh dan paripurna (holistik).
Faktor-faktor fisik, psikis dan lingkungan masing-masing mempunyai inter-relasi dan interaksi yang dinamis dan terus-menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat ketiganya dalam keadaan yang seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi maka akan mempengaruhi pula pada segi yang lainnya dan sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa setiap penyakit memilliki aspek fisik, psikis dan linkungan bio-sosio-kultural dan agama. Dengan demikian konsep mono-kausal dari suatu penyakit sudah tidak dianut lagi.
Pendekatan holistik yang sedemikian itu kenyataannya semakin dirasa perlu, karena pendekatan semata-mata hanya dari sudut fisik saja baik secara teknis, mekanis, biokemis, dan fisiologis ternyata dirasakan semakin tidak banyak menolong pasien dengan sempurna dan memuaskan, terutama pada pasien-pasien dengan penyakit yang tergolong gangguan fungsional.
Dengan perkataan lain, seorang dokter sebagai manusia yang sarat dengan segala pengetahuan yang dimilikinya secara timbal-balik mengobati pasien/pasien juga sebagai manusia dengan segala aspeknya yang harus dipertimbangkan. Dan tidaklah semata hanya memandang pasien sebagai “sosok tubuh” yang tidak berdaya tergolek di tempat tidur, atau melulu hanya melihat “penyakit”-nya saja.
Kemajuan yang pesat di bidang ilmu kedokteran termasuk pengetahuan tentang biomolekular, rekayasa genetik dan kemajuan di bidang teknologi kedokteran (baik untuk diagnostik maupun terapetik) yang semakin canggih di satu pihak membawa dunia kedokteran ke dalam era baru yang semakin maju. Tetapi di pihak lain seiring dengan merebaknya globalisasi, kemajuan-kemajuan yang dicapai tadi seiring pula menimbulkan malapetaka, misalnya dengan pemanfaatan teknologi kesehatan yang tidak pada tempatnya atau makin banyak praktek-praktek yang tergolong “mal praktis” yang dilakukan oleh oknum tenaga kesehatan/dokter yang tidak bertanggung jawab.
Disinilah dalam kaitannya dengan pendekatan holistik tadi perlunya diperhatikan masalah “etika”, moral dan agama. Kemampuan menggunakan alat canggih serta kepandaian pemanfaatan laboratorium yang memadai sebagai modal dasar untuk melakukan terapi, belumlah cukup untuk menjadi dokter yang baik. Kombinasi antara pengetahuan medik, intuisi dan pertimbangan-pertimbangan yang matang adalah “seni” dalam bidang kedokteran yang diperlukan sebagai modal dalam praktek. Memang benar sekali bahwa medicine is a science and art.
Dalam kaitannya dengan masalah etika kedokteran, maka yang harus diperhatikan adalah hak dan kewajiban dokter di satu sisi, dan di sisi lain adalah hak dan kewajiban pasien. Hak-hak pasien dalam hukum kedokteran bertumpu dan berdasarkan atas dua hak azasi manusia, yaitu:
1.      Hak atas pemeliharaan kesehatan (The right to health care).
2.      Hak untuk menentukan nasib sendiri (The right to self determination).
Pasien berhak untuk menerima atau menolak tindakan pengobatan sesudah ia memperoleh keterangan yang jelas, Informed consent adalah persetujuan pasien atas tindakan setelah sebelumnya diinformasikan terlebih dahulu secara jelas dan bukan hanya sekedar memperoleh tandatangan pasien. Inilah hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagaimanakah pendekatan holistik yang menjunjung tinggi etik ini di masa yang akan datang dengan kemajuan ilmu kedokteran yang semakin pesat dan juga semakin merebaknya arus globalisasi? Jawabannya tentu merupakan tantangan besar yang harus dihadapi secara arif dan bijaksana oleh para praktisi di bidang medik.
Sebagai ilustrasi terdapat beberapa pertanyaan yang belum terjawab yang merupakan tantangan di masa yang akan datang:
ü  Apa yang akan dilakukan terhadap kelebihan frozen embryo yang belakangan dilaporkan tersimpan di laboratorium?
ü  Bagaimana menyikapi keabadian benda-benda biologis seperti sperma, yang saat ini sudah bisa dilakukan?
ü  Bagaimana segi-segi hukum yang mengatur tentang inseminasi buatan, serta bagaimana akibat yang mungkin terjadi di masa datang?
ü  Bagaimana pendekatan kepada sejumlah pasien hepatitis B karier yang masih harus melakukan aktivitas kerjanya dan bagaimana anggapan lingkungan sekelilingnya?
ü  Bagaimana perlakuan terhadap pasien dengan HIV positif?
ü  Dsb, dsb.

Nampaknya pada masa yang akan datang masih diperlukan produk hukum dan perundang-undangan dengan tetap bersumber dan mengindahkan segi-segi dan sendi agama.
Perkembangan di bidang biologi molekular telah membawa dunia kedokteran maju dangan pesat, baik dalam segi diagnostik maupun terapi. Belakangan misalnya telah dikembangkan “terapi gen”. Pada bulan September 1990 yang lalu Michael Bleese dkk, telah memulai terapi gen terhadap pasien Ashanti 4 tahun, yang menderita Several Combined Immunodeficiency (SCID) dan berhasil membuat pasien lebih kebal dari serangan infeksi hingga pasien berumur 9 tahun saat dilaporkan oleh Scientific American. Beberapa penyakit lain yang mungkin dapat diperbaiki oleh terapi gen ini misalnya Leukimia, Limfoma Maglinum, Kistik Fibrosis, Reumatoid Artritis, AIDS dan sebagainya. Ini merupakan harapan baru, namun yang harus tetap diingat adalah bahwa yang dihadapi dalam hal ini bukanlah sel, tetapi manusia sebagai kumpulan sel yang segi-segi lainnya tetap harus dipertimbangkan.

Manfaat Pendekatan Holistik
Sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan secara holistik dalam penanganan berbagai kasus harus senantiasa dilakukan. Pendekatan holistik yang dimaksud sekali lagi ditekankan ialah, pendekatan yang memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan pasien. Tidak hanya memandang segi fisik-biologis saja, tetapi juga mempertimbangkan segi-segi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang mempengaruhi pasien serta menjunjung tinggi norma-norma, etika dan agama.
Dengan berdasarkan pengertian seperti di atas, maka pendekatan holistik akan memberikan banyak manfaat, antara lain:
1.      Mendekatkan hubungan antara dokter dengan pasien. Dengan demikian persoalan penyakit/pasien menjadi transparan. Hal ini berarti menjunjung tinggi hak dan kewajiban pasien. Akibat yang menguntungkan adalah mempermudah rencana tindakan/penanganan selanjutnya. Hubungan yang baik antara dokter dengan pasien akan mengurangi ketidakpuasan pasien. Selanjutnya tentu akan mengurangi tuntutan-tuntutan hukum pada seorang dokter.
2.      Pendekatan holistik yang menjunjung tinggi norma, etika dan agama membuahkan pelayanan yang lebih manusiawi serta menempatkan hak pasien pada porsi yang lebih baik.
3.      Dari segi pembiayaan akan tercapai cost-effectiveness, hemat dan mencapai sasaran. Dalam kaitan ini, maka konsultasi yang tidak dianggap perlu akan berkurang. Pemakaian alat canggih yang berlebihan dan tidak perlu juga akan berkurang. Untuk kelainan yang bersifat fungsional misalnya, dengan pendekatan holistik tidak lagi harus menjalani pemeriksaan penunjang yang berlebih-lebihan. Pemakaian obat-obat yang bersifat “multi farmasi” yang biasanya didapatkan pasien dari beberapa subbagian yang terkait dengan penyakit-penyakitnya akan bisa dikurangi sesedikit mungkin.
4.      Dalam bidang pendidikan jelas pendekatan holistik harus sudah ditekankan sejak awal sebagai bekal, baik selama menempuh pendidikan maupun pada saat sang dokter terjun ke masyarakat. Dengan bekal pendekatan holistik bagi dokter yang sedang menempuh pendidikan, maka jelas fikirannya tidak menjadi terkotak-kotak, misalnya hanya berfikir menurut cabang ilmu di subbagian yang sedang diketahui.



DAFTAR PUSTAKA

Anderson WP. Gene Therapy: Scientific American 1995. Sept: 96-9.
Gina Maranto. Embryo Overpopulation. Scientific American 1996; April: 12-6.
Horton R. What to Do With Spare Embryos. Lancet 1996;347:1-2.
Isselbacher KJ, Braunwald E. The Practice of Medicine. In: Isselbacher KJ (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th ed. New York. Mc Graw-Hill Inc. 1995:1-6.
Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ. Clinical Ethics. 2th ed. New York. Macmillan Publishing Co. Inc, 1996.
Kaplan HI. History of Psychosomatic Medicine. In: Kaplan HI (ed). Comprehensive Textbook of Psychiatry/V vol.2 5th ed. Baltimore. William & Wilkins. 1989:1155-60.
Lo B. Ethical Issues in Clinical Medicine. In: Isselbacher KJ (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th ed. New York. Mc Graw-Hill Inc. 1995:6-8.
Oken D. Current Theoritical Concepts in Psychosomatic Medicine. In: Kaplan HI (ed). Comprehensive Textbook of Psychiatry/V vol.2 5th ed. Baltimore. Williams & Wilkins. 1989:1160-9.
Samil RS. Hak Serta Kewajiban Dokter dan Pasien. Dalam: Tjokronegoro (ed). Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 1994: 42-9.

Rabu, 27 Februari 2013

BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN (Nasalis Larvatus)


BAB 1
PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini telah menyebabkan degradasi hutan yang berdampak pada perlunya upaya pelestarian satwaliar di berbagai ekosistem habitat hujan tropika. Kekhawatiran akan semakin menurunnya populasi satwaliar akibat pemanfaatan hutan dan habitatnya telah disadari oleh banyak fihak. Dari tahun 1981 sampai tahun 1985, setiap tahunnya 4,4 juta hektar hutan di seluruh dunia ditebang di antaranya 3,8 juta ha diubah menjadi lahan untuk tujuan bukan hutan, sehingga laju pengurangan hutan di dunia sekitar satu persen per tahun dari luas hutan yang tersisa (WWF, 1990).
Di Indonesia, dalam kurun waktu antara 1998-2004 telah terjadi perubahan luas hutan tropika dari kondisi primer menjadi hutan sekunder rata-rata 1,15 juta ha per tahun dan perubahan dari hutan sekunder menjadi hutan terdegradasi 2,15 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan, 2005). Laju peningkatan lahan kritis dari tahun 2000-2006 rata-rata 3,62% per tahun bahkan untuk Kalimantan laju peningkatan lahan kritis sebesar 4,4% setahun (Departemen Kehutanan, 2007). Menurut teori biogeografi, luas pulau atau habitat sepuluh kali lebih luas maka peluang jumlah jenis yang menghuninya akan meningkat dua kali lipat (Diamond, 1975). Dengan demikian keragaman jenis, populasi satwaliar, dan habitat akan mengikuti kaidah di atas, sebagai dasar penetapan kawasan konservasinya.
Perlindungan satwaliar di Indonesia, terutama satwa langka, sudah dimulai sejak tahun 1931 dengan adanya Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 (Lembaran Negara 1931 No. 226 jis 1932 No. 28 dan 1935 No. 513). Primata yang dilindungi di antaranya adalah bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.), semua jenis gibbon (Hylobates spp.), dan orangutan (Pongo pygmaeus).Upaya peningkatan konservasi satwa juga terus dilakukan melaIui penetapan dan penataan berbagai kawasan konservasi, yang saat ini kawasan konservasi darat mencapai 17% (22.702.527,17 ha) dari kawasan hutan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2007). Kawasan konservasi ini tidak hanya memelihara kelangsungan proses ekologi dan evolusi yang menentukan keragaman jenis, tetapi juga untuk pelestarian plasma nutfah alami yang bernilai ekologis dan ekonomis tinggi.
Pembangunan kawasan konservasi ini merupakan realisasi pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Dengan adanya berbagai peruntukan dan kepentingan kawasan hutan maka tidak semua populasi primata yang langka dan dilindungi tercakup dalam kawasan konservasi. Untuk melindungi satwa yang ada di luar kawasan konservasi seperti di kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), tentunya pemanfaatan hutan perlu mempertimbangkan batas toleransi satwa maupun habitatnya terhadap kerusakan, di samping mengembangkan Wilayah Konservasi di dalam kawasan HPH (dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 252/Kpts-II/1993) dan berkembang hingga Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/Kpts-II/2002 tentang Keriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari).
Pelestarian hutan di luar kawasan konservasi penting artinya bagi kelestarian satwa dan lingkungannya. Dalam pelestarian hutan tersebut perlu dicari suatu indikator ekologis sebagai penentu kualitas lingkungan hutan, seperti satwaliar yang sangat tergantung pada tegakan hutan. Pada kawasan hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi yang dihuni oleh satwa langka yang dilindungi, primata dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengelola hutan dan menentukan strategi konservasi. Jenis satwa ini dalam hidupnya sangat tergantung pada tegakan pohon dalam melakukan aktivitas hariannya, terutama pohon sebagai sumber pakan utama. Dalam hal ini pengetahuan tentang faktor-faktor ekologis yang mempengaruhi pola perilaku makan (feeding behavior) atau ekologi makan (feeding ecology) dapat menunjang sistem pengelolaan habitat dan populasi satwa di dalam kawasan konservasi maupun di kawasan hutan produksi (Bismark, 1993; Meiyaardet al., 2006).
1.1. Bekantan Satwa Endemik
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) adalah jenis satwa yang termasuk ke dalam Ordo (bangsa) Primata, Famili (suku) Cercophitecidae, dan Subfamili (anak suku) Colobinae (Jolly, 1972) dengan status konservasi endangered (IUCN, 2008),termasuk dalam Appendix I CITES dan mendapat perhatian sangat tinggi dalam upaya konservasinya. Jenis ini tergolong sangat langka dan endemik, dengan habitat terbatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai, dan habitat rawa gambut di mana sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia.
Menurut McNeely et al. (1990), dari 29.500 km persegi habitat bekantan, saat ini telah berkurang seluas 40%, sedangkan yang berstatus kawasan konservasi hanya 4,1%. Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan 3,49% per tahun (Supriatna, 2004). Dari enam tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah terjadi penurunan luas habitat antara 20-88% (Meijaard, 2000) dan laju penurunan habitat ini di dalam dan di luar kawasan konservasi dua persen per tahun (PHVA Proboscis monkeys, 2004). Akibat dari penurunanluas habitat tersebut maka populasi bekantan cenderung menurun karena primata ini kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992).Secara morfologi, warna rambut bekantan bervariasi. Di bagian bahu dan punggung atas berwarna coklat kemerahan. Ujung-ujung rambutnya berwarna merah kecoklatan, sedangkan dua pertiga nya berwarna abu-abu. Punggung berwarna kuning keabuan, perut berwarna keku-ningan atau abu-abu, kadang-kadang ada bagian yang berwarna kuning kecoklatan. Tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna coklat kemerahan, dan leher ber warna putih keabuan. Ciri khas bekantan yang mudah dikenali adalah ukuran hidung yang besar dan panjang padajantan (Gambar 1) dan runcing pada betina.Adanya variasi warna bulu pada bagian-bagian tubuh tersebut merupakan dasar dalam membedakan sub-spesies bekantan yang ada, yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis lavartus orientalis (Kern, 1964).
1.2. Dukungan Penelitian dalam Program Konservasi Bekantan
Beberapa aspek penelitian tentang bekantan telah dilakukan antara lain menyangkut populasi di Tanjung Puting dan ekologi makan di hutan bakau (Bismark, 1980, 1989), ekologi dan perilaku sosial di habitat hutan rawa gambut Kalimantan Tengah (TN Tanjung Puting) (Yeager, 1989, 1990), organisasi sosial di hutan bakau Sarawak (Bennett dan Sebastian, 1988), sebaran, habitat dan populasi di Sarawak (Salter et al., 1985), dan distribusinya di berbagai tipe habitat (Meijaard dan Nijman, 2000).
Dalam hal ini, penelitian ekologi secara mendalam terhadap bekantan yang hidup di habitat hutan bakau belum banyak dilakukan. Walaupun demikian, Sunjoto (2004) telah mengkaji aspek ekologi dan habitat bekantan yang hidup di hutan karet di Kalimantan Selatan.Laporan hasil penelitian terdahulu sudah banyak mengemukakan dan mendiskusikan fungsi dan manfaat serta potensi hutan bakau. Hutan bakau merupakan salah satu bagian dari ekosistem estuaria dengan produktivitas tinggi ter utama ekosistem hutan bakau tipe “riverine”(Lear dan Turner, 1977; Mitsch dan Gosselink, 1984) dan mempunyai fungsi ekologisdalam pelestarian jaringan makan (Dingwall, 1983). Seperti halnya di New Guinea terdapat 204 jenis ikan yang sangat bergantung pada hutan bakau, sedangkan di Kalimantan bagian utara diketahui ada 40 jenis dari 33 genus ikan (Collette, 1983).
Selain nilai ekologis tersebut hutan bakau juga mempunyai nilai dalam perlindungan pantai, habitat satwa, estetika, dan nilai ekonomis (Dingwall, 1983). Terbatasnya sebaran dan luas hutan bakau serta tingginya nilai kepentingan ekosistem tersebut mendorong peningkatan upaya pelestarian hutan bakau terutama sebagai habitat satwaliar. Oleh sebab itu hasil penelitian sekarang lebih banyak menggali aspek sosial ekonomi dan biodiversitas dalam kegiatan rehabilitasi areal mangrove untuk tujuan pelestarian fungsi sebagai daerah penyangga kehidupan kawasan perairan. Sebaran dan luas hutan bakau di Kalimantan (Gambar 2) sangat terbatas yaitu 383.450 ha (Darsidi, 1984) dan yang menjadi habitat bekantan hanya seluas 15.600 ha. Pada tahun 1995 habitat ini hanya tersisa 9.200 ha. Penurunan sebesar 41% ini berdampak pada habitat dan sebaran populasi bekantan yang tidak merata (Salter et al.,1985; Yasuma, 1989; Bismark, 2004) dan perubahan sifat bekantan yang kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975) serta meningkatnya kebutuhan lahan untuk pertanian, pemukiman yang memanfaatkan hutan bakau dan hutan di sepanjang sungai. Hal ini menjadi kekhawatiran besar terhadap keterancaman populasi bekantan.
Sumber pakan primata dalam habitat merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi primata (Bismark, 1994, 2004; Meijaard et al.,2006). Kualitas dan kuantitas pakan dapat mempengaruhi perilaku dan organisasi sosial primata (Raemaker dan Chivers, 1980), mempengaruhi luas daerah jelajah dan perilaku pergerakan primata (Whitten, 1982), dan juga mempengaruhi pakan sebagai sumber energi, pertumbuhan dan perkembangbiakan. Potensi pakan juga berpengaruh terhadap besarnya kelompok dan populasi bekantan (Iskandar, 2006). Mengingat besarnya peranan sumber pakan terhadap perilaku dan kelangsungan hidup primata, maka pengelolaan populasi dan habitat bekantan dapat ditetapkan berdasarkan parameter ekologi makan, yaitu hubungan faktor lingkungan habitat terhadap pola perilakumakan dan aktivitas harian dalam habitatnya (Bismark, 2004; Sunjoto, 2005). Mengingat bahwa pakan bekantan banyak tersimpan di hutan bakau,maka penyelamatan hutan bakau akan sekaligus menyelamatkan populasi bekantan. Dalam program pelestarian bekantan tersebut diperlukan informasi tentang perilaku dan faktor lingkungan habitat yang mendukung terhadap kebutuhan pakannya dan keamanan dari perburuan.
1.3. Biofisik Lingkungan Habitat Bekantan
Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat bekantan (Nasalis larvatus) berbeda dengan hutan rawa gambut dan hutan tepi sungai lainnya,di mana hutan bakau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan kadar garam (salinitas) tinggi. Keadaan ini berpengaruh pada drainase tanah dan kondisi salinitas tanah (Lear dan Turner, 1977).
Pasang surut air laut juga berperan sebagai pembawa unsur hara dan menstabil kan salinitas tanah, sehingga tidak terjadi kompetisitumbuhan bakau dengan tumbuhan yang tidak toleran terhadap tanah bersalinitas tinggi. Selain itu sungai juga berperan dalam mengatur kondisi fisik dan kimia tanah hutan bakau sehingga terjadi perbedaan vegetasiyang ada di tepi sungai dengan hutan yang ada di bagian dalam (Mitsch dan Gosselink, 1984). Di samping pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia tanah, dan vegetasi, sungai yang merupakan habitat satwa predator dan parasit berpotensi membawa polutan yang akan berpengaruh terhadap kehidupan bekantan. Lingkungan fisik hutan mangrove seperti disebutkan di atas akanberpengaruh terhadap produktivitas, sebaran, kerapatan, dan biodiversitas tumbuhan. Kondisi ini akan menentukan kuantitas dan kualitas nutrisi sumber pakan bekantan, yaitu kandungan protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, dan mineral dari daun, bunga, dan buah. Selanjutnya, kuantitas dan kualitas sumber pakan tersebut akan membentuk pola perilaku bekantan. Primata sangat selektif dalam memilih habitat yang sesuai dengan potensi sumber pakan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga pohon sumber pakan mempunyai korelasi positif dandapat menjadi penduga populasi jenis Hylobates(Iskandar, 2006).
Secara teori, sumber pakan merupakan faktor yang paling penting dalam pemilihan habitat tersebut. Satwa dalam melakukan seleksi terhadap habitat yang disukainya dapat dipandang dari dua segi. Pertama,secara genetik, setiap individu mampu bereaksi terhadap keadaan lingkungan sehingga dapat melakukan pemilihan habitat yang sesuai. Kedua, adanya hubungan antar jenis atau kelompok serta proses belajar sejak dari umur muda atau belajar dari pengalaman yang didapat dari individu yang lebih tua. Kedua faktor ini dapat terlihat pada pola jelajah dan ruang pengembaraan (home range) primata yang sesuai dengan perilaku sosial dan perilaku makandalam lingkungan habitat (Whitten, 1982; Bismark, 1994).
Keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secara terpisah atau bersamasama akan menyediakan berbagai relung (niche) ekologi yang potensial dalam sebaran satwa, terutama besarnya volume tajuk sebagai penghasil produk tivitas primer yang akan menentukan produktivitas sekunder (satwa). Hutan tropika dataran rendah di Asia, Afrika, dan Amerika, menghasilkan serasah kering sebanyak/sebesar 6-7 ton/ha/tahun, di Malaysia sekitar 7,5 ton/ha/tahun (Raemakers et al., 1980), dan hutan bakau dapat menghasilkan daun muda 5 ton/ha/ tahun (Clough et al., 1983). Struktur fisik hutan terbentuk akibat adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur maupun sifat tumbuhnya. Keadaan ini membentuk stratifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentu, seperti adanya perbedaan ketinggian dan posisi tempat makan jenis primata simpatrik pada pohon. Berbagai relung ekologi akan memberikan tempat bagisatwa mamalia herbivora lain danburung untuk mencari makan. Satwa-satwa tersebut dapat membantu percepatan regenerasi hutan melalui penyebaran biji tumbuhan sebagai sisa makanan, baik oleh primata atau burung serta mempercepat proses daur ulang unsur-unsur penting ke lingkungan. Bekantan dapat meningkatkan biodiversitas jenis tumbuhan di habitatnya melalui cara makan yang mengurangi jumlah biji tumbuhan dominan, sehingga memberikan kesempatan bagi biji tumbuhan yangtidak dominan untuk tumbuh dan berkembang (Yeager dan Blondal, 1992).
Hutan tropika Indonesia memiliki keragaman jenis primata yang tinggi, baik primata pemakan daun (folivorous) maupun pemakan buah (frugivorous). Hal ini didukung oleh ekologi dari setiap jenis primata dalam memanfaatkan sumber pakan yang berbeda sesuai dengan jenis pakan yang disukai, penggunaan stratifikasi tajuk hutan, dan pola pergerakannya (Curtin dan Chivers, 1979; Meijaard et al., 2006). Keragaman jenis tumbuhan yang tinggi di habitat primata, terutama primata simpatrik akan memungkinkan tingginya keragaman jenis pakan menurut ruang dan waktu. Walaupun di hutan primer banyak terdapat pohon besar dan tinggi, pada umumnya kehidupan satwa lebih banyak berkisar pada ketinggian antara 25-35 m dan 15-30 m, kecuali pada habitat tertentu seperti di tepi sungai (Curtin dan Chivers, 1979).
Ekosistem mangrove dengan segala proses interaksi dan inter-relasi komponen di dalamnya yang terkait dengan pertumbuhan populasi satwa adalah ketersediaan atau potensi pakan yang tersedia dalam habitatnya. Populasi primata arboreal sangat tergantung pada kerapatan pohon (Bismark, 2006; Iskandar, 2006). Oleh karena itu upaya konservasi habitat dan populasi primata langka endemik termasuk bekantan diawali dengan pengetahuan status dan potensi tegakan pohon yang berfungsi sebagai pakan maupun pohon tidur yang menentukan daya dukung habitat.
Sumber pakan primata di alam dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif tumbuhan dan hewan. Dalam hal ini dapat berupa daun, bunga, buah, telur burung maupun serangga, dan bagian tumbuhan berupa umbi dengan nilai nutrisi sama dengan buah yang mengandung protein, asam amino bebas, vitamin C, dan gula yang bermanfaat. Pada umumnya bagian vegetatif pohon dan tanaman memanjat dapat dima kan primata, termasuk daun muda atau daun tua (Chivers dan Raemakers, 1980). Orang utan dapat memakan kulit kayu (Rijksen, 1978) demikian juga jenis-jenis tupai (Whitten dan Whitten, 1987).
Masalah dalam pakan primata di hutan tropika adalah senyawa fitokimia yang bersifat toksin, selulosa, dan lignin (Oates, 1977, Hoshino, 1985). Jenis primata pemakan daun terutama dari anak suku Colobinae, dalam mencerna selulosa bersimbiose dengan mikroba lambung (Bauchop, 1978), tetapi proses ini akan kurang efektif bila terdapat kadar lignin yang tinggi (Oates, 1977). Senyawa fitokimia yang terdapat dalam daun (tergolong senyawa sekunder) berpengaruh terhadap tingkat kesukaan mamalia herbivora untuk memakannya. Tumbuhan yang terdapat di hutan tropika yang miskin nutrisi banyak mengandung senyawa fitokimia sebagai senyawa untuk pertahanan, seperti terhadap insekta (Curtin dan Chivers, 1979). Senyawa sekunder tersebut dapat berupa asam amino non protein, alkaloid, dan fenol yang kesemuanya berpengaruh pada perilaku makan satwa (Hladik, 1978). Tanin sebagaimana terdapat pada daun mangrove mengandung komponen senyawa yang dapat mengkoagulasikan protein dan enzim pencernaan, namun pada beberapa jenis primata terlihat tidak ada korelasi yang nyata antara intensitas makan dengan senyawa sekunder tersebut (Whitten dan Whitten, 1987).
Perbedaan komposisi pakan dapat terjadi pada habitat yang berbeda, terutama perbedaan tingkat kesuburan tanah yang akan mempengaruhi keragaman jenis tumbuhan. Perbedaan perilaku makan juga terlihat pada bekantan yang berbeda lokasi habitat seperti di hutan bakau Taman Nasional (TN) Bako dan di Suaka Margasatwa (SM) Samunsam, Sarawak, di mana pada TN Bako aktivitas makan bekantan sejumlah 63,2%, sedangkan di hutan bakau SM Samunsan 13,1% (Salter et al.,1985). Bekantan sebagai primata pemakan daun yang bersifat seperti ruminansia (Hladik, 1978) butuh pakan yang perbandingan protein dengan serat kasarnya rendah (Bennett dan Sebastian, 1988). Di hutan dipterocarpaceae, dengan tanah miskin hara menghasilkan daun dengan rasio protein dan serat yang rendah pula, tetapi kekurangan unsur lain seperti mineral, menyebabkan bekantan tidak dapat menempati habitat yang demikian (Bennett dan Sebastian, 1988).
Hutan bakau yang menerima masukan unsur hara dari sungai dan dari pasang air laut, melalui endapan dan proses dekomposisi oleh jasad renik (Lear dan Turner, 1977) menyebabkan tanah hutan bakau kaya unsur hara, seperti unsur N yang berperan dalam peningkatan produktivitas daun bakau (Clough et al.,1983). Di samping itu daun bakau lebih banyak mengandung mineral yang sangat dibutuhkan oleh satwa ruminansia. Dalam habitat hutan, pakan primata tersebar secara vertikal dan horizontal, dengan demikian primata akan bergerak secara vertikal maupun horizontal untuk mencari makan sesuai dengan tingkat kesukaan terhadap jenis pakan, terutama kaitannya dengan kadar nutrisi dan keamanan, serta menghindarkan kompetisi (Bismark, 1994).
Dalam buku ini akan dikemukakan rangkuman hasil penelitian penulis terhadap populasi dan perilaku bekantan di hutan bakau serta hasil penelitian para pakar yang relevan termasuk hasil penelitian pada program doktor di mana penulis ikut sebagai Tim Promotor. Sebagaimana uraian pendahuluan di atas, kajian ekologi dan konservasi bekantan akan diarahkan pada potensi habitat, sebaran populasi bekantan, dan perilaku terutama yang terkait dengan pakan, daya dukung, dan aspek konservasi bekantan di luar kawasan konservasi.



BAB 2
HABITAT
2.1. Tipe dan Sebaran Habitat
Pada umumnya bekantan endemik Borneo menyukai habitat hutan lahan basah, baik di dalam dan di luar kawasan konservasi. Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat ditemukan di hutan karet yang berada di luar kawasan konservasi yang berdekatan dengan sumber air berupa sungai atau danau kecil (Soendjoto et al., 2005). Meijaard et al.(2000) telah mengidentifikasi luasan ekosistem habitat bekantan di Kalimantan.
Jika melihat kondisi habitat bekantan pada tahun 1995 (Meijaardet al., 2000) luasan terkecil merupakan hutan mangrove yang masih tersisa sebesar 59%. Kondisi ini akan mengalami perubahan pada tahun selanjutnya akibat perubahan fungsi dan vegetasi hutan mangrove, sedangkan bekantan sangat tergantung pada hutan mangrove (Kern,1962). Bismark (1980) melaporkan keberadaan primata ini tersebar di berbagai tipe habitat yang dilalui sungai termasuk di hutan rawa gambut. Bekantan juga diketahui menggunakan pohon yang ada di tepi-tepisungai untuk tempat tidurnya sehingga identifikasi sebaran dan habitatprimata ini lebih mudah dilakukan termasuk penggunaan metoda sensus populasi bekantan melalui sungai.
Jenis bekantan juga dijumpai di hulu sungai yang jauh dari laut, seperti di Sungai Murung Barito Utara (laporan Chivers dan pengamatan pribadi, 1994) serta di hulu Sungai Sangatta yang didominasi hutan dipterocarpaceae (Bismark, 1997). Bekantan ditemukan di pulau kecil, seperti Pulau Kaget seluas 247 ha di Kalimantan Selatan dengan habitat tumbuhan mangrove dan masih terpengaruh oleh kadar garam.
Kekhawatiran akan cepatnya pengurangan luas habitat yang berdampak negatif pada penurunan populasi bekantan adalah terjadinya degradasi habitat hutan dataran rendah, seperti kasus di Taman Nasional Gunung Palung. Dari tahun 1998-2002, penurunan luas tutupan di TN Gunung Palung sangat meningkat dari sekitar 500 sampai 8.000 haper tahun dan di daerah penyangga sekitar 600 ha per tahun (Curran et al.,2004). Kerusakan hutan mangrove lebih disebabkan oleh konversi lahan menjadi tambak. Tambak di hutan mangrove di kawasan hutan produksi PT Karyasa Kencana Tarakan dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1982 meningkat dengan drastis. Luas tambak yang awalnya125 ha meningkat menjadi 50 kali lipat (Sardjono, 1995) sebagai bentuk penyusutan areal mangrove. Secara umum, upaya perbaikan ekosistem mangrove melalui rehabilitasi di Kalimantan dalam kurun waktu tahun 1999-2006 telah terealisasi sejumlah 4.173 ha.
Di Kalimantan Selatan, habitat bekantan mencakup hutan mangrove, hutan campuran di pantai, rawa gambut, dan hutan rawa yang didominasi oleh galam (Melaleuca cajuputi). Selain itu populasi bekantan juga ditemukan di hutan bukit kapur dan hutan karet (Sunjoto et al.,2005). Sebaran bekantan pada beberapa kawasan di luar kawasan konservasi di Kalimantan Selatan telah diidentifikasi oleh Sunjoto et al.(2003).
2.1.1. Hutan Rawa Gambut
Kondisi vegetasi habitat bekantan di hutan rawa gambut Taman Nasional Tanjung Puting telah dilaporkan oleh Yeager pada tahun1989. Analisis vegetasi lebih diarahkan pada potensi pakan bekantan. Dengan data tersebut dimungkinkan untuk mengembangkan penelitian silvikultur jenis-jenis penting yang perlu untuk merehabilitasi habitat atau memperkaya pohon sumber pakan di habitat, restorasi kawasan konservasi dan kawasan hutan terdegradasi yang potensial memiliki populasi bekantan.
Tinggi pohon di habitat bekantan berkisar 6-27 m (rata-rata 11,4 m), diameter pohon 9,6-45,2 cm (rata-rata 18,11 cm), dan basal areal 71,6-1.604,6 cm² (rata-rata 350,3 cm2) serta luas kanopi 9,1-54 m² (rata-rata 22,9 m²). Sejumlah 71% dari hasil identifikasi pohon adalah pohon pakan yang meliputi 80,4% total basal area dan 71,6% dari luas kanopi(Yeager, 1980). Jenis pohon yang disenangi oleh bekantan sebagai sumber pakan adalah Ganua motleyana(Yeager, 1989; Bismark, 1980).
Bekantan di Samboja Kuala, Kalimantan Timur yang lokasi habitatnya berdekatan dengan kampung menunjukkan terjadinya adaptasi bekantan terhadap areal pemukiman masyarakat. Atau sebaliknya, telah terjadi invasi pemanfaatan lahan habitat bekantan oleh masyarakat setempat. Di habitat ini pohon dominan adalah Sonneratia casiolaris (Indek Nilai Penting (INP) 38,37%), Vitex pubescens (INP 30,38%), Sandoricum koetjapi (INP 24,15%), dan Syzygium sp. (INP 18,9%). Selain itu juga terdapat pohon karet (Hevea brasiliensis) 28,95 pohon/ha (Alikodra et al.,1995).
Habitat bekantan di sekitar pemukiman penduduk dengan tumbuhan dominan Sonneratia caseolaris pada hutan tepi sungai hitam Samboja, Kalimantan Timur yang kondisinya sangat terdegradasi juga dilaporkan oleh Ma’ruf (2004). Analisis habitat hutan mangrove yang detail di komplek hutan Sangkimah, Taman Nasional Kutai telah dilakukan pada tahun 1994. Analisis dilakukan dalam areal 1 km persegi mulai dari tepi sungai sampai 500 m ke dalam hutan (Bismark, 1994).
2.1.2. Hutan Mangrove
Hutan mangrove sebagai contoh habitat bekantan dengan populasi tinggi adalah mangrove tipe “riverine” di tepi Sungai Sangkimah Taman Nasional (TN) Kutai (Bismark, 1994). Kawasan hutan mangrove tersebut terbentang mulai dari pantai hingga 2 km ke arah hulu sungai. Tepi sungai didominasi oleh nipah (Nypa fruticans), pohon apiapi (Avicennia officinalis), Bruguiera parviflora, dan Rhizophora apiculata. Sebagian lokasi penelitian di bagian pantai terdapat vegetasi hutan pantai yang didominasi oleh Casuarina equisetifolia. Jenis tumbuhan yang ditemui di lokasi penelitian tertera pada Tabel 5. Contoh habitat ini dapat menjadi model habitat bekantan di hutan mangrove.
Di hutan mangrove umumnya terdapat zonasi atau kelompok jenis yang dominan. Terbentuknya zonasi ini dipengaruhi oleh pasang surut, jauhnya vegetasi dari pantai serta faktor geomor fologi, ekofisiologi tumbuhan, suksesi serta dinamika populasi jenis (Watson, 1928; Anwar et al.,1984). Zonasi vegetasi di areal penelitian selain digunakan untuk melihat penge lompokan jenis juga dapat menggambarkan sebaran jenis pohon mangrove yang potensial sebagai pakan bekantan. Contoh zonasi jenis tumbuhan yang dipetakan antara lain Aglaia cucullata, Avicennia officinalis, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorhiza, Ceri ops tagal, dan Bruguiera parviflora.
Dari zonasi tersebut terlihat bahwa R. apiculata mendominasi vegetasi bahkan tumbuh bersama dengan jenis lainnya. Keadaan ini dapat terjadi karena keadaan tanah hutan yang relatif padat dan bergambut dengan lantai hutan didominasi oleh Acrostichum aureum. Zonasi jenis ditentukan oleh kondisi tanah, di mana kondisi tanah yang lunak atau berlumpur dalam ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia, sedangkan pada tanah relatif keras ditumbuhi Rhizophora (Sugiarto, 1984). R. apiculata tumbuh ke arah daratan tapi Rhizophora mucronata tumbuh pada tanah berlumpur dalam (Anwar et al., 1984).
Diameter, tinggi, luas tajuk, dan kerapatan pohon berperan dalam pembentukan struktur vegetasi. Dari pengamatan dan pengukuran diameter serta tinggi pohon pada jalur pengamatan vegetasi diketahui bahwa pohon bakau bisa mencapai diameter 140 cm.
Pohon berdiameter > 50 cm dengan tinggi di atas 30 m, mempunyaifungsi perlindungan dan pergerakan bekantan, terutama terhadap iklim mikro yang memberikan kenyamanan sebagai tempat istirahat bekantan. Pohon dengan tinggi antara 10-30 m berdiameter 20-40 cm mencapai jumlah 52%. Potensi ini mendukung aktivitas makan dan sumber pakan bekantan.
Hubungan luas tajuk dengan diameter pohon dihitung dari jumlah pohon yang ada dalam petak berukuran 10 m x 100 m, yaitu petak yang dibuat untuk menggambarkan diagram profil vegetasi hutan bakau dari tepi sungai hingga 100 m ke dalam hutan. Dari analisis didapatkan hubungan linier antara luas tajuk (Y, dalam m²) dan basal area (X, dalam cm²) dengan persamaan Y = 11,0559 + 0,01343 X (r = 0,69; n = 78; p < 0,005)
Tanah hutan mangrove berbeda dengan tanah hutan lainnya, di mana tidak ada drainase, kadar garam tinggi, kondisi anaerob, dan mempunyai kandungan organik yang tinggi. Pembentukan tanah hutan mangroveini dipengaruhi oleh faktor fisik, melalui transportasi nutrisi oleh pasang, gelombang, dan sungai, melalui endapan kimia dan faktor biotik yaitu proses dekomposisi oleh jasad renik (Lear dan Turner, 1977).
Salinitas dan nitrogen merupakan faktor ekologis yang mempengaruhi pertum buhan hutan mangrove (Peng dan Xin-Men, 1983) dan parameter Na/K merupakan faktor kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anakan di samping salinitas (Bhosale dan Shinde, 1983). Sukardjo (1987) melakukan analisa kadar C dan N tanah vegetasi mangrove kaitannya dengan jumlah pohon dalam plot pengamatannya.
Di hutan mangrove TN Kutai, tidak terlihat perbedaan nyata antara kadar N dan C pada masing-masing zonasi, demikian pula dengan Na/K dan salinitas. Dari analisis ini dapat dikatakan bahwa kandungan organik, Na, dan K serta salinitas tanah dalam konsentrasi yang merata di hutan mangrove riverine (Tabel 7). Keadaan ini dapat disebabkan oleh zonasi R. apiculata yang sangat dominan. Selain itu dominasi A. aureum sebagai tumbuhan bawah secara fisik dapat berpengaruh dalam pengendapanunsur hara ke dalam tanah. Konsentrasi C di dalam tanah antara 4,996-5,995% menunjukkan konsentrasi yang relatif stabil di mana konsentrasi di bawah 2,86% termasuk dalam kategori tidak stabil (Soegiarto,1984). Tingginya kadar organik tanah hutan ini dimungkinkan oleh karena sebagian besar struktur tanahnya didominasi gambut dan tingginya produksi serasah serta hara dari sungai.
Kadar N tanah di habitat mangrove tepi sungai habitat bekantan berkisar 0,904-1,325%. Laporan Sukardjo (1987) menunjukkan bahwa mangrove di Indramayu mempunyai kadar N tanah 0,08-0,203% sedangkan Soegiarto (1984) menyebutkan angka kisaran 0,28-1,26%di Pulau Rambut. Tingginya unsur C dan N dalam tanah ini memungkinkan vegetasi hutan bakau tumbuh dengan baik sehingga kerapatan pohon di hutan mangrove yang belum terganggu mencapai 755 pohon per ha dengan produktivitas hutan yang tinggi. Hasil penelitian Peng dan Xin-Men (1983) menunjukkan adanya kolerasi antara tinggi (Y) hutan bakau dengan konsentrasi N (X) yang terdapat pada lapisan tanah 20-40cm. Hal ini dapat ditunjukkan dengan persamaan log Y = 0,9373 + 3,124 X. Dilihat dari kandungan organik (C), zonasi C. tagal mempunyai kadar C tanah tertinggi yaitu 5,995 %. Kondisi tersebut juga dilaporkan oleh Johnstone (1983), sedangkan nilai Na/K lebih tinggi pada zonasi Rhizophora (Spenceley, 1983).
Habitat bekantan yang didominasi oleh R. apiculata(jumlah maupun sebarannya) dapat mencapai indeks nilai penting (INP) lebih dari 200% untuk tingkat pohon dan tingkat tiang. Kondisi ini juga terlihat di hutan mangrove yang didominasi oleh R. apiculata di Sulawesi yang menunjukkan INP tinggi, seperti di Sungai Ranu (Morowali, Sulawesi Tengah) yang memiliki INP pohon R. apiculata sebesar 203,58% dan INP tiang 249,60% dengan kerapatan 300 pohon/ha (pohon diameter > 10 cm) (Darnaedi dan Budiman, 1982).
Salinitas sebenarnya tidak terlalu penting bagi kelangsungan hidup jenis pohon bakau, namun diperlukan untuk menghindari kompetisidengan jenis yang tidak toleran terhadap salinitas tinggi (Mitsch dan Gosselink, 1984). Pada tanah bersalinitas rendah (0,876%) akan terbentuk zonasi R. apiculata murni (Sukardjo, 1987). Kondisi kadar garam tanah yang relatif tinggi (6,44-7,475%), mendukung pembentukan zonasijenis lain walaupun tetap didominasi oleh R. apiculata. Pada kondisi salinitas tanah cukup tinggi, tumbuhan menyimpan garam pada daun tua sebelum gugur dan pada Avicennia, garam dapat dikeluarkan melalui kelenjar daun (Lear dan Turner, 1977; Mitsch dan Gosselink, 1984; Field et aI., 1984).2.2. Degradasi Habitat Degradasi lahan habitat bekantan terjadi relatif cepat akibat nilai ekonominya yang tinggi. Habitat tepi sungai adalah areal yang pertama dilalui oleh masyarakat untuk menginvasi lahan di belakangnya, yang dibuka untuk lahan pemukiman dan pertanian. Demikian pula dengan terbentuknya perkampungan yang semuanya ini merupakan bentuk degradasi habitat yang umum terjadi di hulu hingga ke muara sungai hutan riparian yang berpotensi sebagai habitat bekantan.
Berkembangnya pemukiman dan areal pertanian di sepanjang hutan tepi sungai menyebabkan penurunan dan berpencarnya populasi bekantan antara 15-40 km (Bismark, 2002; Ma’ruf, 2004). Pada akhirnya, bekantan yang tersisa, yang seharusnya merupakan penghuni asli, dianggapsebagai hama pertanian oleh sebagian masyarakat (Sunjoto et al., 2005). Pada tahun 1990 habitat bekantan telah dilaporkan hilang seluas49% dan pada tahun 1995 dilaporkan tinggal 39% dan hanya 15% dari habitat aslinya yang ada di kawasan konservasi (Meijaard et al.,2000). Diperkirakan telah terjadi penurunan habitat sekitar 2% setahun.
Kerusakan habitat tidak hanya terjadi di luar kawasan konservasi, bahkan telah memasuki kawasan konservasi. Pada tahun 2001 hutan dataran rendah di kawasan konservasi Kalimantan telah terdegradasi lebih dari 56% (Curran et al.,2004). Degradasi habitat terlihat di Pulau Kaget, di mana hanya 10% kawasan berhutan dan 90% menjadi areal pertanian(Meijaard, 2000). Habitat tumbuhan pohon hanya berada dalam 20-50 m dari tepi sungai dengan kerapatan pohon 150 pohon per ha (Bismark, 1997). Kebakaran hutan yang luas terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting pada tahun 1997 menyebabkan habitat hilang sekitar 75% dan pada tahun 1998 kebakaran hutan Taman Nasional Kutai menyisakanhabitat berhutan 5%.
Habitat bekantan yang spesifik, keterbatasan sumber pakan, dan kompetisi dengan jenis primata lain, menyebabkan bekantan lebihsensitif terhadap kerusakan habitat. Berdasarkan dampak peningkatan arus lalu lintas sungai, pemanfaatan hutan berupa pengelolaan HPH mempercepat kerusakan habitat dan percepatan ini dipacu oleh kebakaran hutan, illegal logging, konversi lahan hutan gambut menjadi areal perkebunan dan pertanian.
Kerusakan hutan karena illegal logging, dampak penambangan emas, dan timbulnya tumbuhan pakupakuan di lahan hutan yang menghambat regenerasi hutan juga mempunyai andil dalam penurunan kualitas habitat bekantan. Namun jenis kerusakan yang sangat berdampak negatif terhadap habitat bekantan adalah pemanfaatan hutan mangrove. Walaupun keberadaan mangrove cukup luas di pantai, namun habitat bekantan sangat terbatas pada tipe riverine mangrove.
Identifikasi Meijaard (2000) menunjukkan beberapa kawasan yang prioritas dalam perlindungan habitat bekantan serta tekanan yang menyebabkan degradasi habitat di Kalimantan. Degradasi habitat dan dampaknya terhadap perburuan dan konversilahan telah menurunkan populasi bekantan sebesar 90% dalam 20 tahun dan di hutan mangrove penurunan populasi 3,1% per tahun (Bismark, 2002). Selain itu telah terjadi proses adaptasi bekantan yang terdesak ke arah perkebunan namun tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap sumber air, danau dan sungai dengan berbagai tumbuhan sebagai sempadan sungai atau danau kecil (Soendjoto et al.,2004).
  
2.3. Keanekaragaman Fauna di Habitat Bekantan
Habitat hutan hujan Kalimantan mempunyai keanekaragaman jenis fauna yang tinggi, di mana lebih dari 420 jenis burung dan 222 jenis mamalia hidup di hutan Kalimantan. Lebih dari 50% burung dan lebih dari 35% jenis mamalianya adalah endemik Kalimantan, di mana 60% jenis burung dan 81% jenis mamalia hidup di hutan dataran rendah (Curran et al., 2004).
Keanekaragaman hayati di Kalimantan ini merupakan bagian besar dari keanekaragaman hayati Indonesia termasuk flora fauna, yang menjadi modal dasar bagi berkembangnya beragam budaya dan suku. Berbagai kegiatan seremonial dan ritual yang biasa dilaksanakan oleh banyak suku di Indonesia tidak terlepas dari pemanfaatan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati (keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem) Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, dan sumberdaya alam ini sebagai modal pembangunan, namun persoalan yang dihadapi adalah bagaimana memanfaatkan keanekaragaman hayati secara lestari (Sumardja, 2000).
Ancaman terhadap keanekaragaman fauna di Kalimantan juga dipicu oleh adanya El-Nino penyebab kekeringan yang berdampak pada perubahan musim berbuah yang tidak sejalan dengan reproduksi fauna sebagai faktor penentu kelestarian populasi. Selain itu konsesihutan yang berbasis hasil hutan kayu, pembangunan hutan tanaman, dan lemahnya pengawasan telah meningkatkan terjadinya fragmentasi dan deforestasi habitat fauna (Curran et al., 2004).
2.3.1. Mamalia
Umumnya tanah di Kalimantan miskin hara terutama di hutan bagian hulu yang didominasi oleh hutan dipterocarpaceae. Rendahnya unsur hara tanah berdampak pada produktivitas tumbuhan terutamatumbuhan sumber pakan satwa (Meijaard et al., 2006), sehingga biomas satwa herbivor rendah. Dalam hal ini satwa herbivor besar, ungulata membutuhkan garam (salt lick), termasuk bekantan membutuhkan sumber pakan bermineral tinggi seperti di hutan mangrove. Rendahnya mineral pada tanah hutan Dipterocarpaceae mempengaruhi sebaran dan kestabilan populasi satwa herbivora (Bennet dan Sebastian, 1988).
Rendahnya tingkat kesuburan tanah menyebabkan tumbuhan memproduksi senyawa sekunder sehingga daunnya kurang disukai satwa, tetapi ada jenis satwa herbivor yang tidak terpengaruhi dengan unsur tersebut. Unsur yang penting bagi vertebrata adalah Ca sebagai mineral kunci. Rendahnya biomas, terbatasnya sebaran dan populasi herbivor menyebabkan populasi mamalia predator juga rendah. Di Kalimantan misalnya, hanya ditemui satu jenis macan, yaitu macan dahan, Neofelis nebulosa yang jejaknya pernah ditemui di lantai hutan di bawah tegakan pohon tidur bekantan (Bismark, pengamatan pribadi).
Jenis mamalia yang menyukai habitat bekantan di rawa gambut di antaranya adalah orangutan (Pongo pygmaeus), Macaca fascicularis, Presbytis spp.,Hylobates agilis,dan Helarctos malayanus. Sedangkan di hutan mangrove jenis mamalia yang lebih sering ditemui adalah Macaca fascicularis dan Presbytis cristata.Sistem perakaran pohon mangrove yang ada di atas permukaan tanah cukup menyulitkan bagi satwa teresterial seperti Cervus unicoloruntuk bergerak di lantai hutan, sedangkan mamalia kecil jenis linsang cukup dominan di lantai hutan mangrove.
2.3.2. Burung
Habitat bekantan di hutan mangrove dengan kerapatan pohon yang tinggi dan mempunyai beberapa strata menurut pertumbuhan pancang dan tiang membuat habitat yang baik bagi jenis burung. Keragaman jenis biota dalam suatu komunitas besar artinya dalampendugaan terhadap keadaan lingkungan dari komunitas tersebut. Dalam hubungan dengan keragaman jenis burung di suatu komunitas, Karr(1975) telah mengemukakan hipotesa bahwa keragaman jenis di suatu komunitas mempunyai hubungan korelasi dengan sumberdaya yang ada di komunitas serta berkorelasi pula dengan produktivitas maupunlaju aliran energi yang terdapat dalam komunitas tersebut.
Keterbatasan jumlah burung di hutan tropika disebabkan oleh kompleksnya interaksi ekologi antara komunitas burung dengan habitatnya. Di antara masalah ekologi yang erat kaitannya dengan komunitas burung adalah faktor tingkat suksesi yang telah dicapai oleh suatu hutan, keadaan curah hujan yang berhubungan dengan populasi serangga dan musimbuah, keragaman habitat serta hubungan antara burung dengan satwa liar lainnya. Perbedaan keragaman jenis antara satu habitat dengan habitat lainnya sebagian besar dipengaruhi oleh faktor fisik berupa keadaan iklim serta struktur maupun komposisi vertikal dari tajuk pada masing-masing habitat (Bismark, 1986).
Hutan mangrove mempunyai keragaman jenis pohon yang rendah dan jarang terdapat buahbuahan yang berdaging sebagai makanan burung, terutama burung pemakan buah. Tingginya keragaman jenis burung di hutan mangrove disebabkan oleh keadaan ekosistem habitat yang relative stabil pada hutan yang belum terganggu sehingga terdapat kemantapan sumber pakan terutama jenis serangga dan stabilnya iklim mikro.
Dalam komunitas yang mempunyai keragaman jenis pohon yang tinggi terdapat lebih banyak jenis burung yang langka dan ditemukan burung-burung khas pada komunitas tersebut. Bila pada komunitas dengankeragaman jenis pohon yang rendah terdapat keragaman jenis burung yang tinggi, maka jenis-jenis yang banyak adalah jenis yang mempunyai sebaran luas, terutama terhadap mikro habitat (Thiollay, 1992).
Berdasarkan King et al. (1975), dari 42 jenis burung yang ditemukan di hutan mangrove yang didominasi R. apiculata,satu jenis burung yang hanya hidup di hutan bakau (2,4%), yaitu Cyornis rufigastra. Sedangkan jenis lainnya mempunyai habitat yang luas, meliputi hutan dataran rendah, hutan sekunder, bahkan ada yang hidup di habitat yang lebih terbuka.
Ciconia episcopus, Egretta, dan Anhinga menggunakan hutan mangrove sebagai tempat beristirahat. Sedangkan Leptoptilos javanicus menggunakan pohon B. mucronata sebagai tempat bersarang. Jenis-jenis dari famili Cuculidae, Picidae, Muscicapidae, Eurylamiidae, danSylviidae, terutama pemakan serangga, mencari makan di hutan mangrove. Pada musim kemarau di Kalimantan, populasi serangga meningkat hingga3-9 kali lipat sebagai sumber pakan burung (Pearson, 1975).
Pada habitat burung, keadaan stratifikasi tajuk pohon secara vertikal, kerapatan daun, luas tajuk, dan jumlah pohon akan mempengaruhi keanekaragaman jenis burung di setiap strata. Adanya kesamaan struktur tajuk pada tempat yang berbeda akan memungkinkan adanya kesamaan jumlah jenis burung, serta sebaliknya adanya kesamaan struktur daun, tetapi terdapat jenis-jenis satwa lain sebagai persaing burung akan menyebabkan keragaman jenis burung rendah.
Tingginya frekuensi burung pada strata 0-15 m dapat disebabkan oleh keadaan habitat mikro yang sesuai, karena di ketinggian tersebut memudahkan burung untuk terbang melakukan foragingseperti mencari makanan. Di samping itu tajuk yang rapat pada strata tinggi berfungsi sebagai pelindung terhadap kestabilan habitat mikro di strata bawah sehingga keseimbangan suhu dan kelembaban strata di bawah tidakberfluktuasi tinggi. Berdasarkan pengamatan perbedaan fluktuasisuhu dalam satu hari menyebabkan burung bermigrasi dari strata atas ke strata bawah.

2.3.3. Reptilia
Reptil yang berpengaruh terhadap populasi bekantan di antaranyaadalah buaya sungai Tomistoma schlegelisebagai predator (Galdikas, 1985), Varanus salvator,dan Ophiophagus hannah (kobra). Varanus salvator(biawak) lebih sering kontak dengan tanah atau lantai hutan, sehingga berpotensi untuk menyebarkan ektoparasit bekantan, karena bekantan sering ada di lantai hutan pada waktu istirahat siang. Jenis ektoparasit yang hidup di habitat dan di tubuh biawak adalah Aponomma lucasi. Perilaku biawak yang mencari makan di daerah lembab dekat dengan sumber air memungkinkan biawak terserang ektoparasit darah.
Parasit darah dapat mengurangi kadar besi dalam darah dan anemia yang berakibat pada proses respirasi dan metabolisme (Moen, 1973; Baker dan Warthon, 1952). Reptil yang hidup di lantai hutan dimungkinkan pula terkena berbagai jenis endoparasit, seperti bakteri yang hidup disaluran pencernan. Graves et al. (1988) telah menganalisis jenis bakteri yang terdapat pada kotoran (feses) reptil di Krakatau, di antaranya ditemukan bakteri Citrobacter, Enterobacter, Pseudomonas, Acromonas, dan Escherichia coli.
Pergerakan, daerah jelajah, dan waktu aktivitas biawak sangat dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Untuk itu biawak menempati mikrohabitat di bawah batu besar untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh (Christian et. al., 1983).
Perilaku biawak dalam mencari mikrohabitat di batu-batuan dan daerah lembab dekat sumber air yang teduh dapat mendukung perkembangan populasi caplak (ixodidae) di mana telur caplak betina yang menetas di tanah akan segera mencari induk semang. A. lucasi mempunyai sebaran yang luas, sehingga kemungkinan terserangnya biawak dan ular oleh caplak tersebut cukup besar pada habitat yang mengalami penurunan kualitas terutama larva ektoparasit A. lucasi, besar kemungkinan dapat juga menyerang bekantan.
Ixodidaedapat menimbulkan masalah dalam kesehatan pada manusia atau satwa. Pada satwa dapat menyebabkan penyakit anemia dan dapat menularkan penyakit tipus, tularemia, dan “Q fever” pada manusia (Baker dan Wharton, 1952).
2.3.4. Fauna Perairan
Fauna yang hidup di habitat di perairan sekitar habitat bekantan di hutan mangrove terutama udang, kepiting serta jenis-jenis ikan.Kepiting dan udang ini termasuk sumber protein hewani yang dikonsumsi oleh bekantan. Fauna sungai yang sangat bernilai ekonomis di habitatbekantan hutan rawa gambut adalah ikan arwana (Sclerophagus formosus) yang sekarang populasinya sudah terancam akibat polusi air, tingginya lalu lintas di perairan sungai, dan penangkapan di alam.
Selain permasalahan lingkungan perairan berupa polusi, penebangan hutan juga berpengaruh pada keragaman dan populasi jenis ikan di hulu sungai, terutama kawasan hutan riparian yang menjadi bagian pengelolaan hutan produksi. Hasil penelitian perbandingan dampak pengelolaan hutan konvensional (CNV) dan sistem reduce impact logging(RIL) terhadap aliran nutrisi dan kualitas air di hulu sungai di Malinau Kalimantan Timur menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Tingginya N/P rasio dan residu tersuspensi di perairan RIL menunjukkan tingginya bahan organik yang diproduksi dan dilepasdari hutan bekas tebangan RIL sebagai sumber mineral dan hara bagi biota perairan. Walaupun demikian nilai N/P rasio dengan angka di atas 20 tetap menunjukkan bahwa perairan sungai ada dalam kondisi oligotropik yaitu input nutrientdan produsen pertama rendah, transparansi tinggi, dan penyebaran jenis ikan merata (IETC, 1999).
Di stasiun penelitian Sungai Seturan, Malinau di mana terdapat areal percobaan RIL dan CNV telah teridentifikasi 28 jenis ikan.
2.3.5. Parasit
Interaksi populasi primata dengan parasit akan berakibat negatif terhadap pertumbuhan dan ketahanan populasi. Parasit dapat pulamengakibatkan penurunan efisiensi energi metabolisme satwa inang dan menurunnya fungsi dari sistem yang ada pada tubuh, seperti sistem peredaran dan keseimbangan panas tubuh (Moen, 1973).
Endoparasit bekantan dapat diketahui melalui feses dan dapat diidentiftkasi di laboratorium. Sementara ini diketahui jenis endoparasit bekantan yang dominan adalah cacing Trichiuris. Selain itu dalam feses bekantan ditemukan telur Ascaris dan jenis Nematoda lainnya.
Trichiuris cukup berbahaya pada primata, dan jenis ini umumnya ditemukan pada Macaca fascicularis (Matsubayashi et al., 1981), orangutan dan simpanse (Rijksen, 1987). Jenis endoparasit lain dalam saluran pencernaan orangutan adalah Strongyloides, Enterobius buckleyi, Arborviata caucasia, Pithecostrongyloides, Trichostrongyloides, dan Gasterodiscoides; dan pada orangutan yang direhabilitasi ditemukan Ankylostoma basiliensi (Rijksen, 1978). Sedangkan pada M. fascicularis ditemukan Oesophagustinum, Streptopharagus, Strongyloides, dan Bertiella (Matsubayashi, 1981). Di hutan mangrove, bekantan hidup bersamaan dengan kelompok M. fascicularis dan oleh karena itu sangat dimungkinkan parasit yang ada pada M. fascicularis juga ditemukan pada bekantan.



BAB 3
STRUKTUR KELOMPOK

Di alam tidak ada jenis mamalia yang betul-betul hidup soliter.Paling tidak kebutuhan pasangan dalam perkawinan atau kebutuhanpemeliharaan, seperti menyusu pada saat bayi. Dengan demikian satwa membutuhkan hubungan sosial, dan kehidupan sosial primata dapatterlihat melalui sistem sosial dengan berkelompok.
Faktor penting yang mempengaruhi besar kelompok dan organisasi sosial primata adalah sumber pakan (Jolly, 1972; Clutton-Brock dan Harvey, 1977; Gittin dan Raemakers, 1980), tekanan predator (Jolly, 1972; Tilson, 1977), dan pengaruh parasit (Freeland, 1976). Menurut Terborgh (1984) besar kelompok primata terbentuk oleh hasil interaksi jenis dengan lingkungan, meliputi besar tubuh dan demografi, serta seleksi dalam jenis kelamin. Primata bersifat poligami, dan dalam kehidupannya terkait dengan kompetisi terseleksi melalui perbedaan besar tubuh dan perkembangan otot pada jenis jantan (Clutton-Brock, 1977).
3.1. Morfologi dan Geometri
Bekantan dewasa menunjukkan perbedaan bentuk dan ukuran tubuh yang nyata antara jantan dan betina (seks dimorphisme) (Kern, 1964; Bennett dan Sebastian, 1988; Yeager, 1989). Perbedaan ini terlihat pada besar tubuh dan bentuk hidung. Jenis jantan memiliki hidung yang relatif besar, alat kelamin eksternal, terdapat warna putih ber bentuk segi tiga pada bagian pinggul (Gambar 10) serta berkembangnya otot yang kuat. Betina relatif lebih kecil, puting susu jelas serta hidung lebih kecil dan runcing. Berat badan jantan berkisar antara 20-22 kg dan betinaantara 10-12 kg (Yeager, 1990). Berat badan bekantan jantan di hutan mangrove berkisar antara 22-27 kg dan betina antara 8-17 kg (Bismark, 2005).
Perbedaan bentuk dan ukuran tubuh bekantan jantan dan betina (dikenal sebagai geometri tubuh) meliputi panjang badan dan kepala (atau tinggi saat duduk), lebar bahu, panjang ekor, dan luas permukaan tubuh. Tinggi duduk, lebar bahu, dan panjang ekor ditentukan sebagai parameter geometri tubuh bekantan yang mudah digunakan untuk membedakan kelas umur bekantan saat satwa beristirahat pada posisi duduk dengan ekor terjuntai ke bawah.
Perbedaan geometri bekantan jantan dan betina terlihat pada bentuk hidung, di mana hidung yang jantan lebih besar dan yang betina lebih runcing. Di samping itu lebar bahu betina (17,5-18 cm), sama dengan 2/3 lebar bahu jantan (23-32 cm) dan tinggi betina (55-58 cm), samadengan 4/5 dari tinggi jantan (60-73 cm) sehingga luas permukaan tubuh betina sama dengan 2/3 luas permukaan tubuh yang jantan. Ukuran tubuh betina dewasa hampir sama dengan jantan setengah dewasa.
Menurut Bennett dan Sebastian (1988) besar tubuh bekantan setengah dewasa lebih dari 3/4 tubuh dewasa sedangkan yang remaja kurang dari 3/4 bagian tubuh dewasa. Walaupun tinggi duduk jantan setengah dewasa sama dengan 3/4 dari jantan dewasa, namun lebar bahunya sama dengan 2/3 dari dewasa dan luas permukaan tubuhnya sama dengan1/2 dari luas tubuh dewasa.
Selain dari ukuran besar tubuh dan tanda-tanda yang dikemukakanBennett dan Sebastian (1988), penentuan kelas umur bekantan dapat dilihat dari perbandingan panjang ekor dengan tinggi duduk (E/Td) serta tinggi duduk dengan lebar bahu (Td/B). Perbandingan ini dapat diamati di lapangan saat bekantan dalam keadaan istirahat dengan posisiduduk.
Untuk kelas umur dewasa dan setengah dewasa, nilai E/Td sekitar1 di mana tinggi dan panjang ekor relatif sama, sedangkan untuk kelas umur remaja, panjang ekor adalah 1tinggi badan sedangkan bayi, ekornya lebih dari 13/4 tinggi duduk.
Indeks Td/B untuk jantan adalah 2,63 atau tinggi badan sama dengan 22/3 lebar bahu. Indeks pada betina dewasa sama dengan indeks pada jantan setengah dewasa yaitu 3, atau tinggi duduk 3 kali lebar bahu, sedangkan untuk kelas umur remaja dan bayi, panjang badan dan kepala sama dengan 22/3 lebar bahu, sama dengan indeks pada jantan dewasa.
Parameter geometri yang mudah diamati di lapangan dan erat kaitannya dengan besar tubuh bekantan yang dicirikan dengan luas permukaan tubuh adalah tinggi duduk dan lebar bahu. Analisis parameter tersebut secara matematik sangat ditentukan oleh variasi dan jumlah sampel yang ada. Dari sampel yang ada, bekantan jantan dan betina dapat mewakili setiap kelas umur walaupun tidak dalam jumlah yang sama.
Luas permukaan anggota gerak (kaki dan tangan) bekantan rata-rata adalah 52,65% dari luas permukaan tubuh. Pada rusa dengan berat badan 60 kg, luas anggota geraknya hanya 36,9%. Dalam hal ini, pelepasan panas secara konveksi melalui kaki rusa relatif besar dibandingkan dengan luas permu kaannya (Moen, 1973). Bekantan yang melakukan aktivitas secara arboreal dengan luas permukaan anggota gerak relatif lebih besar dari rusa (52,65%) memungkinkan terjadinya pelepasan panas tubuh secara konveksi yang relatif lebih besar melalui anggota gerak pada saat melakukan pergerakan quadrupedal (pergerakan dengan menggunakan empat kaki).
Menurut pengamatan, bekantan lebih banyak istirahat setelah aktif makan (42,3%). Pada waktu istirahat satwa ruminansia memproses makanan dalam saluran pencernaan dan pada saat ini pula panas banyak terlepas melalui saluran pencernaan (Moen, 1973). Dalam hubungan ini bekantan memiliki volume saluran pencernaan lebih besar dari primata pemakan daun lainnya, yaitu 8.371 cm³ sedangkan jenis Presbytis melalophos, P. rubicunda, dan P. obscura masing masing 3.168, 3.113, dan 3.805 cm³ (Bennett, 1983). Untuk menjaga keseimbangan suhu, bekantan melakukan istirahat atau tidur dalam posisi duduk dengan anggota gerak mendekap ke bagian tubuh agar pelepasan panas secara konveksi dan evaporasi dapat dikurangi.
3.2. Sistem Sosial
Faktor yang mempengaruhi jumIah individu dalam kelompok dan organisasi sosial primata adalah kepadatan populasi, sumber pakan, predator, dan lingkungan yang memungkinkan untuk memelihara anak dengan baik. Faktor yang sangat berpengaruh di antara faktor di atas juga tergantung pada jenis satwanya. Selain itu juga dipengaruhi oleh phylogenetiksatwa dalam berperilaku (Raemakers dan Chivers, 1980) maupun jenis kelamin, seperti perilaku betina sangat tergantung pada sumber pakan dibandingkan dengan jantan (Bennett, 1983).
Faktor utama yang menentukan perilaku sosial primata adalah seleksi pakan dan kecenderungan dari mamalia untuk menganut polygyni(Raemakers dan Chivers, 1980). Pada burung, sistem monogami benar-benar berperan karena jantan akan melakukan apa saja terutama saat betina bertelur (Clutton-Brock dan Harvey, 1977; Raemakers dan Chivers, 1980).
Kelompok primata dalam jumlah kecil dengan teritorial sempit, jarang ber pencar dalam mencari makan sehingga memaksa kelompokini membentuk sistem sosial monogami (kelompok 2-6 individu) terutama jantan, karena yang betina tidak dapat mempertahankan teritorial sendiri. Perilaku menjaga teritorial ini akan memungkinkan untuk menjamin anaknya agar dapat berkembang (Raemaekers dan Chivers, 1980). Presbytis yang berkelompok dalam jumlah relatif besar (5-19 individu) mencari makanan di dalam ruang pengembaraan (home range) secara berpencar dengan membentuk anak kelompok sebagai adaptasi terhadap keterbatasan dan tersebarnya sumber pakan (Curtin, 1980).
Predator juga mempengaruhi perilaku sosial. Primata dalam kelompok besar akan berkomunikasi lebih baik dalam mendeteksi predator dan sumber pakan sehingga meningkatkan upaya penyelamatan terhadap ancaman predator (Sussman, 1977). Hal ini sangat penting dilakukan pada habitat yang struktur fisiknya sudah terganggu. Habitat yang terganggu dapat mempengaruhi perubahan komposisi dan jumlah individu dalam kelompok bekantan (Yeager, 1991).
3.3. Komposisi Kelompok
Populasi bekantan tersebar dari pantai hingga hutan hulu sungai yang didominasi dipterocarpaceae yang berjarak 70 km dari pantai (Bismark dan Iskandar, 2002), di Sungai Murung Barito Utara, 600 km daripantai, dan bahkan di hutan karet Kalimantan Selatan yang berjarak 300 km dari pantai (Soendjoto et al.,2005). Populasi bekantan ditemukan tersebar tidak merata, di Sungai Sangatta Kalimantan Timur (1986) tersebar antar kelompok 4-25 km (rata-rata 10,6 km) dan tersebar dalam jarak 18-40 km (Bismark dan Iskandar, 2002).
Daya dukung habitat terlihat dari besaran struktur kelas umur dalam populasi bekantan. Populasi bekantan dibangun oleh kelompok-kelompok bekantan dengan jumlah individu yang sangat bervariasi, yaitu antara 6-16 individu per kelompok (Bennet dan Sebastian, 1988), 3-17 individu (Yeager, 1992), dan 17-25 individu (Bismark, 1994). Di Pulau Kaget yang luasnya 247 ha pernah terdapat 19 kelompok bekantan dengan jumlah individu kelompok berkisar antara 4-24 individu (Bismark, 1997).
Rata-rata individu kelompok bekantan di hutan mangrove Taman Nasional Kutai adalah 21 individu (17-25 individu). Jumlah individu kelompok bekantan cukup bervariasi yaitu antara 6-16 individu (Bennett dan Sebastian, 1988), 12-27 individu (Kern, 1984), 11-56 individu (Ruhiyat, 1986), dan 3-17 individu (Yeager et al.,1989).
Pada umumnya jumlah anggota kelompok primata dalam selang waktutertentu memiliki sistem sosial yang sama. Untuk kelompok dengan variasi jumlah 5-25 individu kemungkinkan punya lebih dari satu sistem sosial. Sistem sosial yang dimak sud adalah sistem multi-males(banyak jantan), satu jantan dengan beberapa betina, sistem berpindah antar anggota kelompok (fission fusion), poligami, monogami, dan soliter.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai sistem sosial bekantan. Kern (1964) mengemukakan bahwa sistem sosial bekantan agak longgar sehingga dapat terjadi perpecahan dan penggabungan anggota antar kelompok yang berbeda. Dengan sistem ini dapat ditemui kelompok yang lebih dari 60 individu (Kern, 1964; Bismark, 1986). Salter et at. (1985) menemukan kelompok hingga 50 individu yang kemudian berpencar saat meninggalkan lokasi tempat tidur dan kelompok ini dapat digolongkan pada fission fussion.
Yeager (1989, 1990, 1991) melaporkan bahwa sistem sosial harem pada bekantan adalah stabil sedangkan sebelumnya Kawabe dan Mano (1972) dalamYeager (1990) mendeskripsikan bahwa sistem kelompok bekantan adalah multi-male. Bila dilihat dari jumlah individu kelompok bekantan yang bervariasi antara 17-25 individu maka menurut sistem sosial primata yang dikemukakan Terborg (1984), kemungkinan sistem sosial bekantan adalah harematau multi-male.Sistem sosial bekantan lebih ditentukan pada jumlah dan stabilitas jantan dalam kelompok.
Sistem haremterlihat saat pembentukan sub kelompok. Sistem sosial bekantan di hutan mangrove lebih mengarah pada sistem multi-male, di mana dalam tiap kelompok terdapat lebih dari satu jantan dewasa. Perbandingan individu jantan dewasa dengan betina dewasa (seksrasio) adalah 1:2,55. Di samping itu perpindahan anggota antar kelompok juga terjadi (Bismark, 1994). Penelitian Ruhyat (1986) menunjukkan bahwa kelompok bekantan yang diteliti mempunyai jantan dewasa antara 1-5 individu untuk kelompok 11-56 individu.
Peran jantan dalam kelompok seksdimorphismeadalah untuk mempertahan kan teritorial, terutama kaitannya dengan sumber pakan. Bagi jenis primata yang kurang selektif terhadap sumber pakan, organisasi sosialnya akan menjurus kepada kelompok besar multi-maledan seks dimorphismedan bahkan sistem sosial fission-fusion (Raemakers dan Chivers, 1980).
Perbedaan sistem sosial bekantan berkaitan erat dengan kondisi habitat dan sumber pakan. Habitat bekantan di hutan mangrove riverinememiliki ciri-ciri keragaman jenis pohon yang rendah namun kerapatannya tinggi, dan terdapat jenis pohon yang sangat dominan, yaitu R. apiculata yang menjadi sumber pakan pokok (71,9%) dalam komposisi pakan bekantan. Jenis ini dominan dan membentuk zonasi dengan kerapatan 391 pohon per ha serta mempunyai kualitas kandungan organik dan mineral yang baik. Kondisi ini dapat menghindarkan persaingan antar jantan dalam mempertahan kan ruang pengembaraan dan ini terlihat pula pada sempitnya ruang pengembaraan kelompok bekantan yaitu 19,4 ha. Dari analisis ini terlihat bahwa kondisi habitat, kualitas dan kuantitas sumber pakan di hutan bakau dapat mengurangi kompetisi antar jantan sehingga mengarah terbentuknya kelompok yang multi-male.
Kompetisi juga dapat terhindari oleh adanya kemampuan bekantan dalam memanfaatkan lantai hutan sebagai tempat istirahat dan mudahnya anggota kelompok terpecah membentuk anak (sub) kelompok yang relatif kecil jumlah anggotanya. Pembentukan sub-kelompok ini merupakanstrategi dalam perilaku makan. Penggunaan lantai hutan untuk berjalan akan menguntungkan bagi penghematan energi serta memudahkan dalam pemisahan dan penggabungan sub-kelompok (Raemaker dan Chivers, 1980). Perilaku pembentukan sub-kelompok dan semi teresterial terlihat pula pada M. fascicularis (Kurland, 1973; Aldrich-Blake, 1980), Presbytis obscura dan Presbytis melalophos (Curtin dan Chivers, 1979).
Sub kelompok bekantan berkisar antara 1-19 individu (rata-rata 8,5). Sub kelompok ada yang tidak memiliki jantan, dalam hal ini hanya terdiri dari betina dewasa, setengah dewasa, remaja, dan bayi; sub-kelompok lainnya ada yang memiliki satu, dua, dan tiga jantan dewasa.
Freksuensi terbentuknya sub-kelompok dengan satu jantan dewasa adalah yang tertinggi (43,86%) dengan jumlah individu 2-17 atau rata-rata 9,12 individu. Pembentukan sub-kelompok ini terjadi saat bekantan melaksanakan aktivitas harian, mencari makan, dan istirahat. Sub kelompok dapat pula terjadi sewaktu berada di lokasi tidur, di tepi sungai. Frekuensi dari masing-masing jumlah individu dalam sub kelompok. Sub-kelompok yang memiliki satu jantan dewasa dengan jumlah rata-rata 9,12 individu sama dengan besar kelompok rata-rata bekantan (9 individu) dengan sistem sosial harem(uni-male) yang stabil (Bennett dan Sebastian, 1988).
Pembentukan sub-kelompok yang dimulai sejak bekantan meninggalkan pohon tempat tidur berhubungan dengan efisiensi pemanfaatan waktu mencari makan dan penghematan energi untuk aktivitas pergerakan. Hal ini dimung kinkan pula dengan tersebar ratanya sumber pakan utama yaitu Rhizopora apiculata. Sebaran sub-kelompok yang berjarak antara 50-150 m (rata-rata 96 m) satu dengan lainnya juga bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar individu dalam kelompok dan bermanfaat dalam pengontrolan daerah jelajahnya. Penggabungan sub -kelompok kembali terjadi saat akan kembali ke tepi sungai untuk bermalam.
Pemisahan dan penggabungan individu tidak hanya ter-jadi pada beberapa sub- kelompok dari kelompok yang sama. Penggabungan terjadi pula antar kelom pok, terutama di lokasi tempat tidur di tepi sungai (Bismark, 1986). Pada tahun 1985 kelompok bekantan di Sungai Sangkimah Taman Nasional Kutai bergabung dalam jumlah lebih dari 80 individu dan 117 individu dalam waktu 3-7 hari (rata-rata 5,5 hari). Pada saat tersebut belum banyak terjadi pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak dan pemukiman. Penggabungan kelompok satu dengan yang lain berhubungan dengan perilaku anti predator (Yeager, 1992).
Dengan kecenderungan meningkatnya jumlah anggota pada sub-kelompok yang beranggotakan lebih dari satu jantan memperkuat bahwa kelompok bekantan di hutan bakau lebih cenderung bersifat multi-male.Hal ini diperkuat pula dengan jarang ditemukan (3,5%) agonistikantar jantan dalam satu kelompok atau antar kelompok. Kasus agonistik dapat dilihat dari adanya aktivitas menggoyang cabang pohon dan mengangakan mulut serta ereksi penis pada jantan (Yeager, 1992).
Dalam Tabel 20 terlihat bahwa sub-kelompok dapat terdiri dari jantan saja dan ada pula jantan yang terpisah (soliter). Oleh karena individu-individu tersebut berupa sub-kelompok maka dapat bergabung kembali dengan kelompoknya. Menurut Bennett dan Sebastian (1988) kelompok jantan dan jantan soliter umumnya bergabung dengan kelompok harem, terutama bila berada di tepi sungai.
Kasus fission-fusiondalam kelompok bekantan terlihat pada kelompok dengan jumlah individu 17, pada bulan Agustus 1993 berubah menjadi 22 individu. Perubahan akibat penambahan 4 betina dewasa dengan 2 bayi dan keluarnya satu jantan dewasa (Bismark, 1994). Kasus perpindahan betina dewasa dengan bayi juga dila porkan oleh Bennett dan Sebastian (1988).
Perpindahan betina dewasa dari satu kelompok ke kelompok lain terjadi saat berasosiasi atau penggabungan kelompok dengan kelompok lain di tepi sungai. Perpindahan betina dewasa di antara kelompok berlainan juga terjadi pada monyet Papio hamadryas, Colobus badius, Alouatta seniculus, Alouatta palliata, Gorilla gorilla, Pan troglodiates, dan Colobus satanas (Bennett dan Sebastian, 1988). Perpindahan betina ini menguntungkan dalam menghindari terjadi inbreeding, memperbaiki status sosial betina, menghindari kompetisi dalam mendapat pakan, dan menghindari kemungkinan pembunuhan bayi oleh jantan dominan, serta untuk menda patkan kelompok yang stabil guna memelihara anak dengan baik.



BAB 4
POPULASI DAN SEBARAN

Hutan lahan basah yang meliputi hutan rawa gambut, hutan tepi sungai, dan hutan payau, dinilai sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan budidaya untuk menunjang perekonomian masyarakat lokal maupun regional. Pemanfaatannya dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan produksi, pengembangan lahan pertanian maupun pengembangan wilayah. Dari segi ekosistem, hutan rawa berperan sebagai penampung air hujan sehingga berfungsi sebagai pengendali banjir, sumber air minum, dan pencegah intrusi air laut (Claridge, 1994). Apabila penebangan hutan lahan basah dilakukan secara tidak terkendali, maka akan berdampak pada perubahan tata air sehingga frekuensi banjir meningkat dan air cepat mengalir menuju sungai (Bennet dan Gombek, 1991). Di samping itu kawasan lahan basah memiliki keragaman jenis hayati berupa flora dan fauna yang tinggi dan berfungsi sebagai habitat dari beragam jenis satwaliar, bermanfaat untuk menunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti getah jelutung, buah-buahan, dan ikan sungai sumber protein hewani masyarakat.
Okupasi masyarakat ke dalam kawasan hutan lahan basah dimulai dari sungai sebagai sarana transportasi utama di wilayah kawasan tersebut. Peningkatan frekuensi penggunaan sungai sebagai sarana transportasi menyebabkan meningkatnya pertumbuhan pemukiman dan pemanfaatan hutan riparian berupa hasil hutan maupun penggunaan lahan hutanuntuk perluasan ladang atau kebun. Padahal kawasan hutan sempadan sungai selebar 100 m termasuk dalam kategori kawasan lindung.
Di Kalimantan, hutan rawa di sepanjang tepi sungai dan riverine mangrove di pantai, merupakan kawasan potensial sebagai habitat satwaliar. Bekantan adalah salah satu jenis primata pemakan daun endemik Kalimantan, yang populasinya sangat bergantung pada kualitas ekosistem lahan basah, khususnya hutan mangrove dan hutan riparian, dan tidak toleran terhadap gangguan habitat (Wilson dan Wilson,1975; Bennet dan Gombek, 1991; Yeager, 1992). Berdasarkan laporan McNeely et al. (1990) dari 29.500 km persegi habitat bekantan, 40% telah hilang, sedangkan habitat bekantan yang termasuk ke dalam kawasan konservasi hanya 4,1%. Oleh karena pembangunan pemukiman dan areal pertanian di sepanjang sungai cenderung meningkat, maka dampaknya akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas habitat dan populasi satwa endemik. Salah satu indikator dampak kerusakan habitat hutan rawa terhadap biodiversitas satwa, di antaranya adalah penurunan populasi bekantan.
Distribusi bekantan di Kalimantan telah didokumentasikan oleh Meijaard dan Nijman (2000) di 30 lokasi dan diperoleh informasi sebaran bekantan di 123 lokasi lainnya yang tersebar di hutan mangrove, pulau kecil, delta, sepanjang sungai, dan hutan rawa gambut. Lebih dari 20% populasi tersebar di daerah pantai, 18% tersebar antara 100-200 km dari pantai, 16% antara 20-100 km, dan 58% populasi tersebar 50 km dari pantai, bahkan ditemukan di kawasan 300 km dari pantai dan sampai 750 km dari pantai. Sebesar 90% lokasi sebaran bekantan terletak pada ketinggian di bawah 200 m dari permukaan laut (dpl) dan tertinggi pernah dilaporkan terletak pada 350 m dpl.
Sebaran bekantan dan tipe habitat di Kalimantan Selatan telah dilaporkan oleh Soendjoto (2005) dan Bismark (1997), di Kalimantan Timur oleh Bismark dan Iskandar (2002) dan Ma’ruf et al. (2005). Areal prioritas sebaran bekantan yang mengalami tekanan sampai tahun 1997 telah diidentifikasi oleh Meijaard (2000).
Habitat bekantan yang mudah dikunjungi di Kalimantan Selatan diantaranya adalah Pulau Kaget yang sebagian kawasannya berupa cagar alam dihuni oleh 3 kelompok bekantan (4-10 dan 11 individu) dengan sistem kelompok 1 jantan dewasa dan 3-4 betina dewasa. Total populasi di Pulau Kaget pada tahun 1996 adalah 288 individu di dalam areal seluas 267 ha (Bismark, 1997). Di sekitar Pulau Kaget, Pulau Puduk, dan Pulau Temurung masih ditemukan kelompok bekantan dengan 7-25 individudan di Pulau Tempurung terdapat 3 kelompok masing-masing 7, 7, dan 12 individu (Bismark, 1997).
Pengamatan populasi bekantan di Delta Sungai Mahakam KalimantanTimur dilakukan oleh Ma’ruf et al. (2005). Studi ini dilakukan di daerah muara Sungai Mahakam dengan letak geografis 00’26”06,2-00’41”26,2 LU dan 117’19”13,7-117’31”26 BT. Muara Sungai Mahakam yang dikenal dengan Delta Mahakam memiliki keragaman satwa dan salah satunya adalah bekantan. Populasi satwa ini belum banyak diketahui, sementara di Delta Mahakam kegiatan masyarakat meningkat seiring dengan pembangunan pertambakan dan pertambangan batubara. Kegiatan tersebut akan berpengaruh pada habitat dan sumber pakan bekantan. Arus lalulintas muara Sungai Mahakam yang cukup padatoleh kapal pengangkut batubara, kayu gelondongan, dan tankerminyak dari Samarinda, juga dapat mempengaruhi populasi bekantan. Sebaran populasi bekantan di muara Sungai Mahakam.
Sementara itu habitat bekantan kini telah berkurang akibat pemanfaatan daerah tepi sungai menjadi tambak, pemanfaatan pohon pakan yaitu rambai laut dan pohon untuk beristirahat Heritiera littoralis maupun nipah. Dari Gambar 15 terlihat bahwa areal pemanfaatan pantai (warna ungu) oleh masyarakat untuk tambak, rata -rata setiap tambak berukuran antara 2-5 hektar. Interpretasi awal menunjukkan bahwa 75% muara Sungai Mahakam telah dikelola menjadi tambak. Kemungkinanbertambahnya pembukaan areal untuk tambak atau usaha lain sangat besar. Sisanya 25% merupakan areal yang terbagi menjadi 10% habitat bekantan (terdapat pohon pakan) dan 15% habitat nipah (Ma,ruf, 2005).
4.1. Populasi
Survei populasi bekantan sudah banyak dilakukan para peneliti di Taman Nasional (TN) Kutai, di antara peneliti yang melaporkan populasi bekantan tersebut adalah Wilson dan Wilson (1975) dan Rodman (1987). Keduanya melaporkan bahwa bekantan sulit ditemukan selama penelitian mereka berlangsung. Wilson dan Wilson (1975) menemukan tiga kelompok bekantan di muara Sungai Sangatta dan Rodman (1978) menemukan bekantan di hulu Sungai Sangatta. Populasi bekantan di hutan bakau terkonsentrasi di komplek hutan Sungai Sangkimah, Teluk Kaba, Sungai Pemedas, dan Sungai Padang. Di Sungai Sangkimah sepanjang 2 km dari pantai terdapat sejumlah 117 individu bekantan (Bismark, 1986).
Kepadatan populasi bekantan di beberapa tempat yaitu dilaporkan antara 8,3-58 individu/km² (Tabel 21). Beberapa penelitian populasi bekantan dilakukan oleh Yeager dan Blondal (1992), Ruhiyat (1986), Yasuma (1989), dan Bennett dan Sebastian (1988). Yeager dan Blondal (1992) telah mengemukakan hasil analisisnya bahwa pada habitat yang rusak berat, kerapatan bekantan 9 individu per km², selanjutnya yaitu 25 individu per km² pada kerusakan yang agak berat, 33 individu per km² pada habitat dengan kerusakan sedang, dan 62 individu pada habitat dengan kerusakan ringan. Bekantan sensitif terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975) sehingga populasi bekantan dapat dijadikan indikator terhadap tingkat kerusakan hutan mangrove dan hutan tepi sungai.
Sungai yang panjang, cukup lebar (7->10 m), dan dalam, keberadaan pohon mangrove yang relatif tinggi dan berdiameter besar serta tersedia sumber air tawar yang memungkinkan terbentuknya hutan riverine mangrove di habitat tersebut, menunjang kebutuhan ekologis dan perilaku bekantan. Sungai termasuk komponen ekologis penting yang mem pengaruhi pemilihan habitat oleh kelompok bekantan di hutanbakau termasuk bekantan di hutan karet yang membutuhkan sumber air atau danau kecil sebagai bagian habitatnya (Soendjoto et al., 2006). Hutan mangrove di sekitar sungai lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan dengan tipe hutan mangrove lain (Mitsch dan Gosselink, 1984). Pohon yang lebih tinggi akan memberikan keamanan bagi kelompok bekantan. Selain itu perilaku tidur bekantan yang selalu memilih lokasi di tepi sungai untuk tujuan pengamanan kelompok dari predator dan untuk berkomunikasi (Bismark, 1986; Yeager, 1990). Bagi bekantan, sungai berfungsi sebagai sumber air minum dan sarana untuk berenang; sedangkan A. officinalis yang ada di tepi sungai, selain sebagai pohon tempat tidur jugasebagai sumber pakan daun dan buah yang mengandung protein dan mineral tinggi. Perbedaan ukuran kelompok dan populasi menurut perubahan ekosistem dari muara hingga ke hulu sungai.
Di Sungai Sangatta terdapat 3 sub populasi bekantan yang tersebar dari muara hingga hulu sungai dalam jarak 18-40 km. Sub populasi ini terdiri dari 1-4 kelompok bekantan dalam kawasan 1-2 km hutan riparian (Bismark dan Iskandar, 1997). Sebelumnya, Suzuki (1986) melaporkan bahwa sebaran sub populasi bekantan di TN Kutai antara 4-25 km (rata-rata 10,6 km), keadaan sekarang sub kelompok terpencar dalam jarak rata-rata 30 km (Bismark dan Iskandar, 2002). Keadaan ini merupakan indikasi menurunnya kualitas hutan sebagai habitat bekantan.
Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh kualitas dantipe habitat. Di hulu sungai, satu kelompok bekantan terdiri dari 6-15 individu sedangkan 10 km dari muara, kelompok bekantan pada umumnya berkisar antara 10-25 individu. Kelompok bekantan di hutan mangrove yang terganggu berkisar antara 6-10 individu, di hutan mangrovedengan tutupan vegetasi baik, besar kelompok antara 17-25 individu. Pengamatan di beberapa lokasi survei menunjukkan ada perbedaan jumlah bekantan yang teramati, pengamatan jumlah pada hari pertama berbeda dengan pengamatan hari berikutnya. Perbedaan ini menunjukkan suatu nilai koreksi data dalam penghitungan populasi bekantan, yaitu 1,8. Menurut Yasuma (1989), nilai koreksi ini adalah 2,46. Berdasarkan nilai korelasi, maka populasi bekantan di TN Kutai (Tabel 23) diduga berjumlah 400 individu.
Tingginya frekuensi perjumpaan bekantan di habitat hutan mangrove dan nipah juga dilaporkan oleh Bennett dan Sebastian (1986); Salter et al.(1985), dan Ma,ruf (2004). Mengingat terbatasnya habitat bekantan di hutan mangrove maka ancaman terbesar bagi populasi bekantan adalah rusaknya hutan mangrove, terutama di kawasan konservasi yang hanya mengkonservasi 8% luasan mangrove di Kalimantan. Laporan tentang populasi bekantan dan kondisi sekarang relatif sedikit.
Pada tahun 90-an, di TN Tanjung Puting dengan habitat hutan rawa gambut diperkirakan hanya terdapat 2.000 individu bekantan dan di Sarawak total populasi bekantan diperkirakan 1.000 individu dan 300 individu di antaranya ada di kawasan konservasi (Yeager dan Blondal, 1992).Pada tahun 1986 McKinnon memperkirakan jumlah populasi bekantan hanya 250.000 individu, 25.000 di antaranya berada di luar kawasan konservasi, sedangkan bekantan yang ada di kawasan konservasi kurang dari 5.000 individu (Yeager dan Blondal, 1992), sedangkan dalam kawasan konservasi sendiri hanya mencakup 4,1% dari seluruh habitat bekantan (McNeely et al., 1990) dan pada tahun 1994 populasi bekantan di Kalimantan ditaksir sejumlah 114.000 individu (Bismark, 2002).
4.2. Ancaman Populasi Bekantan
Di hutan mangrove populasi bekantan dapat mencapai 60 individu per km² (Bismark, 1986). Dilihat dari komposisi umur dalam kelompokdan jumlah bayi mencapai 4 individu dalam kelompok menunjukkan bahwa tingkat reproduksi bekantan cukup tinggi. Dalam 9 tahun pengamatan populasi bekantan di TN Kutai jumlah individu per km² menurun sebesar 28,2% atau rata-rata 3,1% seta hun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh bertambahnya intensitas kerusakan habitat di tepi sungai dan kerusakan hutan mangrove.
Pada tahun 1985, populasi bekantan di TN Tanjung Puting adalah 62,9 individu per km², pada tahun 1989 turun menjadi 27,7 individu per km², dan 41 individu per km² pada tahun 1991. Dalam waktu 6 tahun telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% setahun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya polusi air sungai akibat penambangan emas, degradasi habitat, dan meningkatnya lalulintas angkutan sungai (Yeager, 1992). Penurunan populasi dapat disebabkan oleh meningkatnya populasi predator akibat pembukaan hutan. Di hutan rivarianpopulasi biawak (Varanus salvator) cukup tinggi dan biawak adalah salah satu predator primata yang potensial (Rodman, 1978; Yeager, 1990).
Perbedaan populasi di antara jenis-jenis primata, selain dipengaruhi oleh tingkat kerusakan habiat (Yeager dan Blondal, 1992; Wilson dan Wilson, 1975; Happel et al., 1987; Marsh dan Wilson, 1981) ditentukan pula oleh tekanan predator (Jolly, 1972; Tilson, 1977; Bennett, 1983), parasit (Rijksen, 1978, Freeland, 1976), dan geografi sebaran (Happel et al., 1987; Chivers, 1974), sistem sosial (Happel et al., 1987) serta pola dan perilaku makan, seperti primata pemakan daun lebih tinggi populasinya daripada primata pemakan buah (Chivers dan Raemaker, 1980; Clutton-Brock dan Harvey, 1977), dan perbedaan fisiologi pencernaan (Bennett, 1983).
Perkembangan populasi yang baik pada habitat terdegradasi terlihat di Pulau Kaget. Habitat yang didominasi pohon Sonneratia caseolaris yang tersebar antara 20-55 m dari tepi sungai dengan kerapatan 150 pohon per ha, kelompok bekantan masih bertahan dalam jumlah hampir 300 individu dalam areal 267 ha. Hanya 25% populasi yang terlihat kurang teradaptasi dengan kondisi ini (Bismark, 1997). Populasi ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan populasi bekantan di TN Kutai dengan luas 200.000 ha, sejumlah 400 individu (Bismark dan Iskandar, 1996). Populasi di Pulau Kaget terlihat dapat beradaptasi dengan sumber pakan tumbuhan air Limnocharis flava, Agapanthus africanus, Hymenachne amplicaulis, dan vittis trifolia. Tumbuhan air yang dimakan primata mempunyai kadar mineral lebih tinggi dari tumbuhan pakan primata di dataran kering (Oates, 1978). Untuk mempertahan kan populasi, bekantan butuh mineral yang cukup banyak (Bennett dan Sebastian, 1988), seperti K, dibutuhkan sejum lah 179,9 mg/kg berat badan/hari (Bismark, 1995), sedangkan Vittis trifolia diketahui mengandung konsentrasi K tinggi, yaitu 1,06%.
Perburuan primata bagi masyarakat eksosistem sesuatu yang umum untuk kebutuhan protein hewani. Perburuan primata di Pulau Siberut misalnya sudah merupakan bagian kebudayaan dan adat masyarakat.Hal ini sebagai kontrol populasi karena di pulau tersebut tidakterdapat mamalia predator. Perburuan dan perladangan adalah masalah utama dalam penurunan populasi bekantan, terutama sejak 35 tahun lalu di mana kepemilikan senjata buru dan speed boatmulai berkembang di masyarakat (Meijaard dan Nijman, 2000), di mana tepi sungai habitat bekantan adalah areal yang pertama dibuka. Berkembangnya perladangan dengan menanam buah-buahan menyebabkan bekantan mendatangi ladang untuk mendapatkan pakan. Hal ini menimbulkan anggapan bekantan sebagai hama dan diburu (Soendjoto, personal komunikasi), selain itu bekantan juga diburu sebagai umpan untuk menangkap biawak (V. salvator) guna mendapatkan kulit biawak sebagai sumber mata pencaharian tambahan.
Kebakaran hutan sangat berpengaruh pada lingkungan habitat bekantan. Akibat kebakaran hutan di Tanjung Puting (1997) telah merusak 75% hutan lahan basah dan di TN Kutai menyisakan 5% habitat bekantan akibat kebakaran hutan (Meijaard dan Nijman, 2000). Kebakaran hutan dapat meningkatkan mortalitas akibat berkurangnya sumber pakan,kehilangan habitat, dan timbulnya penyakit yang mewabah (PHVA Proboscis Monkey, 2004).
Berdasarkan permasalahan di atas, dalam PHVA Bekantan (2004) diidentifikasi 12 lokasi populasi bekantan beserta jumlah individu Perkiraan total individu bekantan di Kalimantan adalah 25.000 individu, di dalam kawasan konservsi sekitar 5.000 individu. Dalam pelestarian bekantan ini diperlukan upaya pencegahan kerusakan dan penurunan luas habitat oleh illegal loggingyang dapat memicu kebakaran hutan dan perburuan, pengamanan hutan sempadan sungai sebagai habitat serta upaya konservasi spesies di luar kawasan mangrove dan rawa gambut, seperti di areal perkebunan.



BAB 5
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Aktivitas harian bekantan meliputi aktivitas berjalan, mencari makan, bermain, istirahat, dan saling berkutu atau menyelisik. Aktivitas harian dimulai dari tepi sungai di mana tempat kelompok dan sub kelompok bermalam. Bekantan bangun sekitar pukul 05.30 untuk memulai aktivitas dengan bergerak dari cabang tempat posisi tidur dan pada pukul 06.15 memu lai aktivitas makan, aktivitas hariannya berakhir pada pukul18.30 sore.
Di hutan mangrove, aktivitas bekantan di tepi sungai dapat berlangsung dari subuh pagi hari hingga pukul 07.45, seperti makan daunAvicennia officinalis atau Rhizophora apiculata di sekitar pohon tidurnya. Bila bergerak lebih awal, bekantan dapat mencapai radius 400 m dari tepi sungai. Pada umumnya pukul 07.00, bekantan sudah ada pada posisi 100 m dari tepi sungai. Selama aktivitas harian berlang sung, kelompok bekantan dapat terbagi menjadi 2-3 sub kelompok. Pola pergerakan, bentuk, dan luas ruang pengembaraan primata pada umumnya berhubungan erat dengan penyebaran dan jumlah sumber pakan (Jolly, 1972; Whitten, 1982), sebaran pohon tempat tidur, dan cuaca (Chivers, 1974).
Parameter aktivitas pergerakan harian bekantan meliputi panjang jalur yang dilaIui bekantan dalam satu hari (DR,daily range), radius maksimum yang ditempuh bekantan yaitu diukur dari lokasi tempattidur (MR,maximum radius) dan jarak antara perpindahan lokasi tidur semula dengan malam berikutnya (NPS,night posisition shift) (Chivers, 1974; Gumarya, 1986, Megantara, 1989) dalam kurun waktu pergerakan bekantan. Jarak terjauh dari tepi sungai (TS) juga diukur sebagai parameter pergerakan.
5.1. Pergerakan Harian
Pergerakan harian bekantan dipimpin oleh betina dewasa. Pergerakan dimulai dari pohon tempat tidur di mana arah pergerakan ditentukan. Keadaan ini juga dilaporkan oleh Rajanathan dan Bennett (1990) karena betina lebih membutuhkan sumber pakan yang baik untuk anaknya (Bennett, 1983).
Hutan karet dengan sedikit variasi vegetasi di tepi sumber air (dalam pengertian ini termasuk wilayah bervegetasi atau wilayah daratan dalam jarak 100 m dari tepi sumber air) merupakan bagian habitat penting bagi bekantan. Berdasarkan perjumpaan dengan bekantan di 18 lokasi dalam wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Soendjoto et al. (2005) mengungkapkan bahwa secara statistik, terdapat korelasi positif dan nyata antara sumber air di hutan karet dengan kehadiran bekantan. Sumber air tidak hanya merupakan titik awal bekantan untuk memulai aktivitas pada siang hari atau titik akhir untuk menghentikan aktivitas pada siang hari, tetapi juga untuk melakukan aktivitas sosial, termasuk istirahat.
Perpindahan kelompok bekantan terjadi dua kali dalam satu hari. Perpindahan pertama terjadi dari sumber air tertentu yang dipergunakan sebagai lokasi tidur ke sumber air lain, tempat bekantan melakukan sebagian besar aktivitas pada siang hari. Perpindahan kedua terjadi dari sumber air untuk aktivitas siang ini ke sumber air berikutnya yang dipergunakan sebagai lokasi tidur pada malam harinya. Penjelasan ini memperkuat pendapat Bismark (1986) bahwa pola pergerakan bekantan berorientasi pada lokasi tempat tidur, tempat makan, dan istirahat.
Perpindahan antar sumber air sebanyak dua kali sehari dilakukanoleh 70% dari kelompok bekantan, dan 30%-nya melakukan perpindahan satu kali sehari. Perpindahan antar sumber air dilakukan oleh bekantan pada pagi, tengah, dan petang hari. Perpindahan lebih sering dilakukan pada jam 06.00-08.00 dan jam 15.00-17.00 serta jarang dilakukan pada jam 11.00-14.00.
Pergerakan harian bekantan di hutan mangrove rata-rata adalah 497 m seperti yang dilaporkan Bennett dan Sebastian (1988) yaitu 300-590 m (rata-rata 483 m). Menurut Bennett dan Sebastian (1988) ada kelompok bekantan yang berjalan sejauh 1.400 m sampai pukul 12.30 dan diperkirakan perjalanannya satu hari mencapai 2.000 m. Jarak pergerakan harian bekantan dari tepi sungai mencapai 750 m (Salter et al.,1985). Pada umumnya pergerakan harian tersebut hanya mencapai 600 m (Bennett dan Sebastian, 1985). Per gerakan harian bekantan sangat bergantung pada pola pemilihan lokasi pohon tempat tidur di tepi sungai sehingga terbentuk pola setengah lingkaran atau elips. Perpindahan lokasi tidur pada sisi sungai yang berseberangan dilakukan melalui berenang.Jarak pergerakan primata berkorelasi positif dengan berat badan dan jumlah individu sub kelompok dalam men cari makan (Clutton-Brock dan Harvey, 1977).
Pada umumnya lokasi tempat tidur primata posisinya terletak di tengah ruang pengem baraan, seperti Hylobates klossii yang menempati pohon tidur di tengah daerah jelajah dua kali lebih banyak daripada di bagian tepi ruang pengembaraan (Whitten, 1980). Lokasi tidur Presbytis aygula posisinya ada ditepi ruang pengembaraan (Ruhiyat, 1986), sehingga pola pergerakan hariannya dipengaruhi oleh perpindahan lokasi tempattidur.
Presbytis aygula berjalan (DR) antara 300-600 m (rata-rata 500 m) per hari, MR 250- 900 m dengan NPS 0-400 (rata-rata 221 m) (Ruhiyat, 1986). Presbytis femoralis berjalan, DR rata-rata 929 m per hari, MR 237 m, dan NPS 130 m (Megantara, 1989). Presbytis thomasi berjalan, DR 150-1300 m (rata-rata 640 m), MR 140-590 m, dan NPS 110- 590 m (Kunkun, 1986).
Pola aktivitas bekantan menunjukkan korelasi sebagaimana telah didiskusikan (MR = 101,86 + 0,669 NPS dan DR = 41,30 + 1,825 MR). Dalam ruang pengembaraan bekantan di hutan mangrove tidak terdapat kendala dari segi sumber pakan, namun vegetasi di tepi sungai sebagai lokasi tempat tidur dan sumber pakan sangat mempengaruhi pola pergerakan bekantan. Pemilihan lokasi tempat tidur bagi primata berfungsi untuk menghindari predator dan parasit (Freeland, 1976). Jarak pengembaraan primata dari tepi sungai juga dipengaruhi oleh komposisi pakan,dalam hal ini perbandingan antara daun dan buah. Primata “frugivorous” akan lebih jauh dari tepi sungai (Rodman, 1978).
Perbedaan DR di antara jenis Colobinae dipengaruhi oleh kualitas habitat dan keragaman jenis sumber pakan, seperti P. melalophos (DR = 754 m) dengan keragaman jenis pakan lebih tinggi dari P. thomasi (DR = 640 m) (Kunkun, 1986). Pergerakan juga dipengaruhi oleh kebutuhan energi sesuai dengan berat badan. Semakin berat badan maka makin banyak butuh energi untuk pergerakan, terutama pergerakan vertikal. Dengan demikian orangutan dengan berat 55 kg berjalan sepanjang453 m per hari lebih pendek dibandingkan dengan M. fascicularis dengan berat badan 5 kg yang berjalan sejauh 1.869 m per hari (Wheatley, 1982). Berat badan bekantan yang lebih besar dari jenis Ceropithecidae lainnya memungkinkan untuk melakukan pergerakan harian lebih pendek dari jenis lainnya. Pembentukan dan penyebaran sub kelompok dalam mencari makan dan sebaran pohon yang merata di hutan mangrove merupakansalah satu faktor yang menyebabkan pendeknya perjalanan harian bekantan.
Secara statistik, jarak perpindahan harian bekantan berkorelasinegatif dan nyata dengan curah hujan. Jarak itu menurun pada bulan-bulan dengan curah hujan cukup tinggi dan meningkat pada bulan-bulan curah hujan rendah (musim kemarau).
Seperti satwaliar pada umumnya, bekantan berpindah terutama untuk menghadapi keterbatasan pakan dan air di lingkungan sekitarnya. Keterbatasan ini berkaitan dengan keragaman jenis pakan, tempat perolehannya, dan jauh dekatnya dengan sumber air. Peningkatan suhu harian saat hari cerah memungkinkan bekantan berjalan jauh mencari tempat untuk berlindung, mencari makan dan istirahat serta memungkinkan pula bagi bekantan untuk kembali dengan cepat ke tepi sungai pada sore hari. Saat cuaca cerah, bekantandi hutan mangrove dapat berjalan mencapai jarak maksimum dari tepi sungai (TS) sejauh 400 m pada pukul 08.15 atau dalam waktu 2 jam, untuk kemudian makan dan istirahat sampai pukul 14.30. Perbedaan suhu udara ditepi sungai dengan lokasi yang berada 100 m ke dalam hutan berkisar antara 0,5-1,5°C, sedangkan perbedaan suhu di tajuk dengan lantai hutan pada ketinggian pohon 15 m pada lokasi 100 m dari tepi sungai berkisar 0,5-1,5°C.
Jauhnya perjalanan bekantan ke dalam hutan saat suhu udara meningkat adalah salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan pengaturan suhu (termoregulasi) tubuh karena di dalam hutan suhu udara lebih rendah. Pada saat peningkatan suhu udara maka pelepasan panas tubuh melalui penguapan juga meningkat (Montheith dan Unsworth, 1990). Bila suhu udara meningkat maka satwa akan mengalami penurunan aktivitas makan dan konsumsi air minum meningkat, demikian pula dengan peningkatan kelembaban udara (Church et al., 1971).
5.2. Penggunaan Strata Hutan
Kondisi fisik habitat primata dibangun oleh struktur vegetasi, pohon pencahayaan, suhu dan kelembaban, yang berpengaruh pada pola pergerakan primata, terutama pola pergerakan vertikal yaitu pergerakan primata menurut strata (ketinggian) tajuk pohon. Pada beberapa jenis primata simpatrik perbedaan penggunaan strata menunjukkan perbedaan relung ekologi masing-masing jenis yang sesuai dengan anatomis organ pergerakannya (MacKinnon dan MacKinnon, 1980).
Pergerakan bekantan meliputi pergerakan arboreal dan terestrial. Pergerakan arboreal pada pohon terdiri dari pergerakan quadrupedal, memanjat, meloncat, dan bergelantung (pergerakan dengan tangan). Pola pergerakan bekantan menurut strata tajuk menunjukkan bahwa aktivitas pergerakan vertikal bekantan di hutan mangrove lebih banyak terjadi pada strata 0-5 m (33,19%),pada strata 5-10 m (24,28%), dan pada strata 10-15 m (27,53%) dengantipe pergerakan quadrupedalyang menjadi dominan (berjalan dengan 4 anggota gerak) (Gambar 19); sedangkan aktivitas harian seperti makan, istirahat, bermain, dan aktivitas sosial pada habitat hutan karet.
Umumnya aktivitas harian bekantan ada pada level ketinggian kurang dari 15 m dengan tajuk yang rimbun oleh dedaunan. Kondisi ini tidak hanya menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi bekantan untuk duduk istirahat atau bermain, tetapi juga menyediakan tempat yang aman untuk menghindari perilaku agonistik,pertengkaran antar individu, bersembunyi atau melarikan diri dari predator. Di hutan karet dan tepi danau, pohon yang biasa dipergunakan untuk aktivitas tersebut antara lain Macaranga pruinosa, Vitex pubescens, Dillenia exelsa, dan Elaeocarpus stipularis (Soendjoto et al., 2005).
Frekuensi penggunaan lantai hutan (0-5 m) lebih banyak dibanding dengan strata lain dalam aktivitas pergerakan.Hal ini berhubungan dengan faktor berat badan bekantan (betina dewasa 12,5 kg dan jantan dewasa 25 kg) yang memerlukan keseimbangan sewaktu berjalan, di samping membutuhkan pohon dengan percabangan yang agak besar sebagai prasarana pergerakannya. Fleagle (1980) menyatakan bahwa penggunaan strata vegetasi oleh primata berkorelasi dengan strategi mencari makan. Di hutan mangrove dengan kondisi habitat yang cukup homogen, ketersediaan sumber pakan (daun) pada setiap strata, bekantan akan memilih strata untuk makan dan tempat isitirahat, terutama pada strata 10-15 m. Pemilihan ini berkaitan dengan peran strata di atasnya yaitu sebagai pelindung. Dalam hal ini perbedaan suhu udara pada tajuk di atas 20 m dengan di bawah 15 m mencapai 1,5°C (Bismark, 1994). Perbedaan suhu di atas tajuk (> 20 m) dengan lantai hutan pada pukul 08.40 sebesar 1°C dan meningkat menjadi 2,5°C pada pukul 12.00.
Keadaan ini juga menyebabkan bekantan turun ke lantai hutan untuk istirahat maupun berjalan, baik di dalam hutan maupun di tepi sungai.
5.3. Ruang Pengembaraan
Ruang pengembaraan adalah areal yang digunakan oleh individu atau kelompok dengan aktivitas normal untuk mencari makan, kawin, dan memelihara anak; dan ada pula yang mengartikan sebagai total areal yang digunakan (Mah dan Aldrich-Blake, 1980). Rijksen (1978) mengartikan sebagai total areal yang digunakan oleh individu atau kelompok sebagai rumah. Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai ruang pengem-baraan adalah luas areal total yang digunakan kelompok bekantan selama penelitian berlangsung. Jolly (1972) mendefinisikan home range(ruang pengembaraan) sebagai daerah yang biasa dihuni satwa sepanjang hidup dewasanya.
Yeager (1989) melaporkan bahwa ruang pengembaraan bekantan berkisar antara 125-137,5 ha (rata-rata 130,3 ha) dengan areal tumpang tindih 95,9%, sedangkan areal yang menjadi bagian per kelompok (adjusted home range) adalah 19,3 ha. Luas ruang pengembaraan bekantan di TN Kutai adalah 19,4 ha, tidak berbeda dengan adjusted home rangeyang dikemukakan Yeager (1989). Sempitnya ruang pengembaraan bekantan selain akibat kerusakan habitat juga keterbatasan jarak tempuh harian dari tepi sungai. Keterikatan bekantan pada sungai dan vegetasi tepi sungai sebagai lokasi tempat tidur, sumber pakan, dan sumber air minum juga mengakibatkan terbatasnya ruang pengembaraan. Daerah jelajah yang sempit dipertahankan melalui pergerakan harian dan pembentukan sub-kelompok, bersuara, dan perilaku agonistik yang menyebabkanadanya tumpang tindih ruang pengembaraan sebesar 20,7-62,8%.
Sedangkan areal tumpang tindih di tepi sungai sebagai lokasi tidur yang kurang dipertahankan berkisar antara 23,8-100%. Kurangnya upayamempertahankan lokasi tempat tidur terlihat dari jarak antar kelompok yang mencapai 50 m antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Kondisi ini merupakan bentuk penggabungan antar kelompok sebagai perilaku anti predator (Yeager, 1991), kerena pemilihan lokasi tempat tidur oleh primata menjadi kriteria utama dari segi keamanan dari ancaman predator (Roosmalen, 1980; Whitten, 1982).
Ruang pengembaraan jenis Colobinae saling tumpang tindih. Ruangpengem baraan P. aygula seluas 38 ha mengalami tumpang tindih sebesar 10% (Ruhiyat, 1983), P. melalophosdengan ruang pengembaraan antara 14-31,3 ha tumpang tindih arealnya mencapai 15-79% (Bennett, 1988), P. femoralis,dengan ruang pengembaraan sebesar 23,8 ha memiliki tumpang tindih antara 15,8-36,7% (Megantara, 1989). Tumpang tindih ruang pengembaraan dapat disebabkan oleh luasnya areal untuk dipertahankan sehingga membutuhkan energi lebih banyak. Di samping itu jumlahdan sebaran sumber pakan yang merata menyebabkan tidak terjadinya kompetisi yang intensif (Bennett, 1988).
Aktivitas harian bekantan di tepi sungai hutan mangrove pada siang hari adalah untuk mencari makan, istirahat, dan bermain. Lokasi dan frekuensi kunjungannya berhubungan dengan basal area pohon Avicennia officinalis. Ketersediaan pakan, daun, dan buah A. officina lis dipengaruhi basal area dan luas tajuk pohon yang menyediakan daun. Selain itu kehadiran bekantan akan lebih sering pada saat A. officinalis berbuah sehingga keberadaan buahnya di tepi sungai sangat penting bagi populasi bekantan. Pada habitat P. melalophos, basal area Leguminoceae berkorelasi positif dengan kepadatan populasinya (Marsh dan Wilson, 1981). Asosiasi individu dalam kelompok dan antar kelompok umumnya terjadi di lokasi bermalam di tepi sungai. Perilaku ini berperan dalam pengamananlokasi tidur dari satwa lain maupun predator (Yeager, 1991). Asosiasi kelompok bekantan dapat terlihat dari tumpang tindih pemakaian areal di tepi sungai sebagai lokasi tidur.
Bekantan tidur di atas pohon A. officinalis dan Rizophora apiculata yang posisinya terletak antara 0-50 m dari tepi sungai. Pohon yang dipilih sebagai tempat tidur, selain dekat tepi sungai, juga mempunyai tajuk yang lebar dengan sejumlah percabangan yang mendatar. Kondisi ini diperlukan agar posisi tubuh sewaktu istirahat atau tidur ada dalam keseimbangan. Pohon yang lebih dekat ke tepi sungai yang digunakan untuk bermalam umumnya tidak terlalu tinggi, yaitu 10-15 m. Sedangkan pohon yang digunakan yang berada 20 m dari tepi sungai adalah R. apiculata dengan ketinggian antara 20-30 m dan lokasi tajuk pohon yang terpisah dengan pohon di sekitamya. Pohon tempat tidur yang dipilih dapat ditempati oleh 3-15 individu, sehingga sewaktu tidur kelompok bekantan terlihat membentuk sub kelompok yang tersebar antara 50-150 m.
Yeager (1989) melaporkan, alur tepi sungai yang panjang di rawa gambut yang ditempati kelompok bekantan berkisar antara 1.575-1.750 m dengan tumpang tindih antara 92-97,7%. Peneli tian Bennett dan Sebastian (1988) menunjukkan bahwa 19 kelompok bekantan yang ada di sungai sepanjang 13,5 km masing-masing menempati antara 1.650-7.500 m tepi sungai. Sempitnya penggunaan tepi sungai oleh kelompok bekantandi TN Kutai disebabkan oleh terbatasnya panjang sungai dan lebar hutan bakau yang menjadi habitatnya, di samping tidak ada kasus perburuan bekantan. Faktor perburuan memungkinkan terjadinya perpindahan lokasi tidur bekantan yang relatif lebih jauh. Walaupun di areal penelitian tidak ada kasus perburuan namun perusakan habitat lebih berdampak terhadap penyempitan ruang pengembaraan dan daerah jelajah di tepi sungai.
Pada umumnya (90%) lokasi tidur bekantan akan berpindah setiap hari. Satu lokasi dapat dipergunakan untuk dua, tiga, dan empatmalam berturut-turut. Areal tepi sungai sepanjang 50 m dapat ditempati oleh 1-3 sub kelom pok yang terdiri dari 2-15 individu. Pemilihan lokasi dan perpindahan lokasi pohon tempat tidur, posisi istirahat atau tidur di ujung cabang dan di puncak tajuk pohon yang tidak berhubungan dengan pohon di sekitarnya adalah cara bekantan untuk mengurangi kemungkinan serangan predator pada malam hari. Pemilihan lokasi tidur dan asosiasi bekantan di tepi sungai adalah perilaku sosial bekantan dalam strategi anti predator (Yeager, 1991).
Tidur pada pohon dengan tajuk yang luas dengan posisi istirahat berpencar di bagian tepi dan puncak tajuk merupakan strategi anti predator yaitu untuk memudahkan dalam mendeteksi kehadiran predator dan kemudahan untuk meloncat. Predator yang mungkin menyerang bekantan di pohon tidurnya adalah jenis ular dan biawak. Biawak (V. salvador) dan buaya (Tomistoma sclegeli) adalah predator bekantan yang potensial (Yeager, 1991), namun dalam hal ini bekantan tidak mengembangkan strategi anti predator terhadap buaya (Galdikas, 1984).


BAB 6
PERILAKU MAKAN

Primata mempunyai komposisi pakan tertentu, sesuai dengan habitat dan musim (Curtin dan Chivers, 1979; Iwamoto, 1982; Harrison, 1984) sehingga keadaan ini dapat menunjukkan perbedaan pola perilaku makan. Perilaku makan primata berkaitan erat dengan kualitas sumber pakan seperti tingginya kadar selulosa yang tidak dapat dicerna serta adanya senyawa sekunder seperti tanin dalam pakan sehingga kedua komponen ini merupakan faktor utama dalam ekologi makan (feeding ecology) primata (Harison, 1984).
Richard (1977) menelaah teknik makan, tempat dan ketinggian, pola aktivitas, komposisi pakan, bagian yang dimakan, variasi pakan dan jumlahnya serta pola pergerakan sebagai parameter perilaku makan. Menurut jumlah dan jenis makanannya, primata digolongkan pada dua tipe, yaitu frugivorousyang lebih dominan memakan buah dan folivorousyang lebih dominan memakan daun. Suku Hylobatidae termasuk tipefrugivorous, sedangkan anak suku Colobinae (Presbytis spp. dan Nasalis larvatus) tergolong dalam tipe folivorous.
Primata dari anak suku Colobinae mempunyai sistem pencernaan mirip ruminansia. Sistem pencernaan tersebut dikenal dengan polygastric, di antaranya terdapat organ forestomach, tempat terjadinya proses fermentasi makanan oleh bekteri. Dari hasil proses fermentasi tersebut diperoleh (Bennet, 1983):
1. Bakteri yang menghasilkan vitamin. Dengan demikian satwa tidak terlalu bergantung pada vitamin yang dikandung makanan, kecualivitamin A dan D.
2. Bakteri yang dapat menggunakan nitrogen non protein untuk tumbuh. Urea yang terjadi akibat katabolisme protein dapat diubah oleh bakteri menjadi protein. Bakteri dapat lolos dari lambung ke usus halussehingga satwa mendapat tambahan protein yang berkualitas tinggi.
3. Penggunaan urea dalam sintesa protein oleh mikro flora menyebabkan penurunan jumlah urea sehingga menghemat pengeluaran air dalam bentuk urin.
4. Bakteri yang dapat menetralisir pengaruh tanin yang berasal dari tumbuhan yang dimakan satwa.
5. Besarnya jumlah bakteri dan perkembangbiakan yang cepat menyebabkan laju fermentasi juga cepat sehingga proses pembuatan tanin pada makanan baru tidak aktif. Di samping itu terjadi pula degradasi karbohidrat menjadi asam lemak yang mudah menguap.
Primata monogastricseperti Hylobates spp. umumnya memakan pakan yang mudah dicerna, banyak mengandung gula serta tidak mengandung alkoloid. Perbedaan lain antara primata monogastricdengan jenis Colobinae adalah dalam menenuhi kebutuhan nutrisi tertentu di mana primata monogastricmemakan pakan dengan nutrisi rendah dalam jumlah besar karena proses pencernaan lebih cepat, sedangkan Colobinaeakan mengkonsumsi tumbuhan yang bergizi tinggi (Bennett, 1983).
Menurut Milton (1981) perilaku memilih pakan pada primata berkaitan dengan ukuran tubuh dan anatomi pencernaan. Hubungan dengan anatomi pencernaan yaitu volume saluran pencernaan bekantan lebih besar di antara jenis Colobinae lain.
6.1. Waktu Aktivitas
Bekantan aktif mulai pukul 05.30 sampai 18.30 atau 13 jam sehari. Selama waktu tersebut berlangsung aktivitas berjalan, bermain, mencari makan, atau tidur siang. Alokasi kegiatan atau aktivitas harianbekantan sepanjang hari bervariasi menurut waktu (Gambar 22). Dalam satuhari terdapat tiga puncak aktivitas yaitu sekitar pukul 8.30, 12.30, dan pukul 15.30. Aktivitas mulai meningkat pukul 7.00 yaitu berjalan dari tepi sungai ke dalam hutan hingga mencapai radius maksimum (MR).
Puncak aktivitas makan tertinggi terjadi pada sore hari, sedangkan puncak aktivitas pergerakan terlihat tidak berbeda namun mengikuti fluktuasi aktivitas makan. Hal ini memperlihatkan bahwa bekantan mencari makan dengan cara berpindah pindah pohon. Sekitar pukul 12.00 aktivitas makan meningkat hingga pukul 12.30 kemudian menurun, dan aktivitas berikutnya diikuti dengan istirahat dan tidur hingga pukul 14.00.
Aktivitas makan terlihat berlangsung terus-menerus dalam satu hari. Hal ini menggambarkan bahwa selain waktu makan yang intensif, sebagian dari anggota kelompok tetap ada yang makan di selang waktu istirahatnya meskipun tidak dalam frekuensi tinggi. Keadaan serupa juga dilaporkan Ruhiyat (1983) pada P. aygula di Jawa Barat, P. femolaris, dengan aktivitas makan terus-menerus tetapi puncak aktivitasnya terjadi pada pagi dan sore hari (Megantara, 1989). Gurmaya (1986) melaporkan bahwa aktivitas makan P. thomasi mempunyai tiga puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00, 12.00, dan 17.00 dengan puncak tertinggi pada sore hari. Salter et al. (1985) meneliti bahwa puncak aktivitas makan dan berjalan bekantan di Sarawak terjadi pukul 09.00 pagi dan pukul 13.00.
Frekuensi makan anggota kelompok serta aktivitas pergerakan yang mengikuti fluktuasi makan, menunjukkan bahwa aktivitas makan bekantan tidak tetap pada satu pohon saja, dan selalu diikuti aktivitas berjalan di antara cabang atau dari pohon ke pohon lain. Dalam hal ini perpindahan lokasi makan bekantan terjadi antara 10-15 menit. Selain itu jumlah dan sebaran pohon pakan yang merata memungkinkan untuk menunjang aktivitas makan bekantan di setiap saat.
Bermain dan berkutuan (saling mencari kutu) terjadi saat istirahat di pagi dan sore hari. Aktivitas bermain dilakukan oleh remaja dansetengah dewasa dan antara induk dengan bayinya, sedangkan jantan dewasa lebih banyak istirahat dan tidur. Betina dewasa dan remaja membutuhkan gizi pakan yang lebih baik untuk pemeliharaan dan pertum buhan bayi, sedangkan jantan dengan berat badan yang dua kali berat badan betina lebih banyak istirahat.
Aktivitas bekantan pada beberapa tempat menunjukkan pola yang berbeda, seperti aktivitas bekantan di hutan bakau TN Bako dan Suaka Margasatwa Samunsam di Sarawak (Salter et al.,1985). Pola aktivitas ini disajikan pada Tabel 29. Hasil pengamatan yang dilakukan di TN Kutai berada dalam selang pengamatan Salter et al.(1985). Perbedaan aktivitas ini dapat disebabkan oleh perbedaan zonasi dan jenis tumbuhan mangrove yang dominan dari masing-masing habitat, sehingga ada kaitannya dengan kuantitas dan kualitas gizi sumber pakan.
Aktivitas bekantan berlangsung secara arboreal dari lantai hutan hingga tajuk pohon dengan tinggi 30 m. Sedangkan tinggi pohon di habitat bekantan dapat mencapai 43 m (R. apiculata dan B. gymnorrhiza). Fluktuasi aktivitas harian utama yaitu makan, berjalan, dan istirahat dalam strata hutan disajikan dalam Gambar 23. Dari keenam tingkat strata vegetasi di habitat bekantan, strata yang dominan untuk ketiga kegiatan utama bekantan adalah strata 10-15 m, terutama untuk aktivitas makan (42%) dan istirahat (37%), sedangkan aktivitas ber jalan lebih banyakpada strata 0-5 m (34%) dan sedikit sekali pada strata 25-30 m (8%).
Tingginya frekuensi pemanfaatan strata 10-15 m ini disebabkan oleh rapatnya pohon mangrove berdiameter antara 10-35 cm (188 pohon/ha) dan ketinggian 10-15 m ini merupakan bagian dasar dan tengah tajuk. Bagian tengah tajuk dengan percabangan yang datar dan besar dapat mendukung pergerakan quadrupedal. Di samping itu bagian tengah tajuk cukup memberikan kenyamanan karena ternaungi oleh tajuk bagian atas sehingga terdapat perbedaan suhu lebih rendah 1,5°C serta percabangan yang sesuai dengan berat badan bekantan.
Perbedaan penggunaan strata dalam habitat primata simpatrik menunjukkan adanya perbedaan relung ekologi dari masing-masing jenis primata. Selain itu juga tergantung pada tipe pergerakan, produktivitas daun atau buah, suhu maupun kelembaban dari masing-masing strata (MacKinnon dan MacKinnon, 1980). Penggunaan strata oleh primate juga berhubungan dengan efisiensi pergerakan primata arboreal dalam mencari pakan, dan bahkan apabila sumber pakan terpencar maka perjalanan lebih efisien melalui lantai hutan, seperti perilaku M. nemestrina (Rodman, 1978). Strategi ini juga terlihat pada aktivitas bekantan saat berjalan jauh ke dalam hutan dengan waktu yang relatif singkat. Di hutan mangrove perjalanan bekantan mencapai jarak 400 m dari tepi sungai dalamwaktu 1,25 jam atau 320 m per jam. Pergerakan yang cepat tanpa berhenti jarang terjadi, namun kecepatan perger akan bekantan dapat mencapai 450 m per jam (Salter et al., 1985).
6.2. Teknik Makan
Bekantan tergolong primata folivorous(pemakan daun) (Rodman, 1978; Yeager, 1989; Bennett dan Sebastian, 1989). Golongan folivorousmendapat protein esensial dari daun, sedangkan golongan frugivorous menambah kebutuhan proteinnya dari buah dan biji (Hladik, 1978). Bekantan memakan daun, bunga, dan buah yang ada di ujung-ujung cabang, namun posisi bekantan pada cabang besar di tengah tajuk, meraih ranting di sekitarnya atau duduk di atas ranting. Posisi bekantan sewaktu mencari makan serupa dengan teknik P. obscura dan P. melalophos yang dilaporkan Fleagle (1980). Gaya dan teknik bekantan tersebut seperti yang terlihat.
Daun yang dikonsumsi bekantan adalah daun muda dengan urutan 1 sampai 3 dari ujung ranting. Pakan tersebut dapat diambil langsung dengan mulut atau dengan cara memetik. Daun dimakan satu per satu atau dua lembar dengan cara menggigit hingga tiga kali. Setiap gigitan dikunyah antara 10-30 kali, buah A. officinalis dimakan satu per satu dan dikunyah 15-30 kali, sehingga dalam 5 menit bekantan mengkon sumsi 7,5 lembar daun atau 15,6 buah A. officinalis. Mengunyah sebanyak 10-30 kali adalah salah satu strategi bekantan untuk membantu pencernaan secara fisik dan merangsang keluarnya air liur guna mempertahankan pH lambung agar proses fermentasi pakan oleh bakteri lambung dapat berjalan optimum (Bismark, 1994). Pada umumnya Na+yang ada dalam rumen ruminansia berasal dari air liur (Durand dan Kawashima, 1980), yang berperan untuk menjaga kestabilan pH lambung (Bennet, 1983).

6.3. Jenis dan Keragaman Pakan
Habitat bekantan di hutan mangrove dengan komunitas R. apiculata, yang terdiri dari R. apiculata, A. officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, dan beberapa jenis dalam jumlah terbatas misalnya B. sexangula dan Avicennia marina; jenis yang bukan golongan mangrove, seperti Ardisia humilis, Ficus binnendykii, Allophyllus cobbe, dan Aglaia cuculata. Keragaman jenis tumbuhan mangrove di ruang pengembaraan bekantan di TN Kutai adalah 2,08 (Indek Shannon-Wiener). Rendahnya keragaman jenis tumbuhan di habitat tersebut menyebabkan keragaman jenis pakan bekantan rendah dengan kuantitas besar.
Jenis tumbuhan mangrove yang dimakan bekantan adalah R. apiculata, A. officinalis, B. gymnorrhiza, B. parviflora, dan A. cobbe. Bagian yang dimakan meliputi daun, bunga, buah dan kulit batang dengan indeks keragaman 1,748.
Dari hasil pengamatan feces, selain daun, bunga, buah, dan kulit batang ditemukan pula partikel kepiting dan rayap. Bekantan juga dilaporkan memakan cendawan Stereum lobatum (Bismark, 1980), dan bunga Nipa fruticans (Bennett dan sebastian, 1988).
Penelitian Yeager (1988) menyebutkan ada 47 jenis tumbuhan yangdimakan bekantan di hutan rawa gambut tapi tiap bulan hanya dikonsumsi 10-23 jenis (rata rata 14,9 jenis) dengan keragaman jenis 0,86-2,21. Salter et al. (1985) menyebutkan bahwa jenis pakan bekantan di dua lokasi penelitian (TN Bako dan Suaka Margasatwa Samunsam) meliputi habitat mangrove, rawa nipah, hutan tepi sungai, hutan Dipterocarpaceae dan kerangas yang memiliki jenis pakan tidak kurang dari 90 jenis tumbuhan.
Dari beberapa hasil penelitian terdapat korelasi posistif antara berat badan primata dengan komposisi daun dalam pakannya (Clutton-Brock dan Harvey, 1977) dan primata yang mengkonsumsi daun lebih banyak kemungkinan dapat mencapai biomas yang tinggi (Hladik, 1977; Bennett, 1983) (Gambar 26). Bekantan dengan komposisi pakan 51,94% daun mempunyai biomas 499,5 kg/km² (Yeager, 1989), dan yang memakan daun sejumlah 41% dari jumlah pakannya mempunyai biomas 45,8 kg/km² (Bennett dan Sebastian, 1988), sedangkan komposisi pakan bekantan yang terdiri dari 81,14% mempunyai biomas 792,06 kg/ km².
6.4. Komposisi Pakan dan Seleksi Rasio
Dalam kaitan dengan perilaku makan dan pakan bekantan, empat hal yang mendukung kajian perilakunya (Soendjoto et al., 2005). Pertama, bekantan memakan jenis pakan (daun, bunga, buah) dari berbagai spesies tumbuhan. Keragaman pakan merupakan upaya bekantan atau satwa lain pada umumnya untuk menjaga keseimbangan dan kebutuhan nutrisi. Nutrisi yang tidak diperoleh dari spesies tumbuhan atau dari jenis pakan tertentu diperoleh dari jenis pakan atau spesies tumbuhanlainnya.
Kedua, bekantan ditemukan lebih sering memakan pucuk atau daun muda daripada daun tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Bennett dan Sebastian (1988) bahwa bekantan mengutamakan daun muda walaupun daun tua melimpah. Primata akan memakan daun tua apabila daun muda tidaktersedia lagi. Penyebab pemilihan daun muda ini adalah kadar airnya lebih banyak. Diketahui bahwa kadar air pada pucuk mencapai 88% dan pada daun muda 67%. Bismark (1987) melaporkan bahwa di hutan mangrove bekantan memakan daun dengan kandungan air 68%. Faktor lain adalah tingkat kemudahan untuk mencerna yang tinggi pada daun muda yang diindikasikan dari rendahnya serat kasar yang dikandung oleh pucuk atau daun muda (Tabel 32). Pakan yang mengandung kemudahan untuk dicerna tinggi pada umumnya memiliki kandungan serat rendah.
Ketiga, setelah memetik pakan, bekantan tidak selalu memakan seluruh bagian tumbuhan yang dipetik seperti daun karet kadang-kadang hanya dimakan sebagian saja. Tidak diketahui dengan pasti alasan bekantan berperilaku demikian. Di hutan mangrove, bekantan juga memakan sebagian daun dan membuang sisanya. Cara ini merupakan upaya bekantan untuk mengefisiensikan energi dalam pencernaan pakan dan untuk memperoleh gizi lebih baik (Bismark, 1986).
Keempat, bekantan memakan dan menyukai sumber pakan yang justru memiliki kadar tanin tinggi. Hal ini menunjukkan toleransi yang besar terhadap kadar tanin pakan. Leinmuller et al. (1991) melaporkan beberapa publikasi tentang dampak toksik tanin, yaitu pengurangan nafsu makan dan kehilangan berat tubuh pada domba dan kambing serta adanya racun pada ginjal dan hati hewan yang memiliki sistem pencernaan sederhana (monogastrik).
Pakan bekantan terdiri dari 81,14% daun, 8,38% buah, 7,68% bunga, 1,05% kulit kayu, dan 1,75% serangga. Dari analisis feses diketahui komposisi pakan berupa daun 72,90%, buah 17,79%, kulit kayu 7,05%, serangga dan kepiting 1,13%. Komposisi pakan bekantan yang diamati di lapangan tidak berbeda nyata dengan hasil analisis feses. Fragmen tumbuhan dalam feses satwa ruminansia tidak berbeda dengan proporsi tumbuhan yang dimakannya (Todd, 1973).
Dilihat dari kandungan kimia, kulit pohon (R. apiculata) yang dimakan bekantan tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan daun dan buah, kecuali dari jumlah serat kasar (63,78%) dan Ca (0,958%) kulit kayu (lebih tinggi). Konsentrasi Ca pada kulit kayu mencapai 5 kali lebih tinggi dari daun. Kalsium (Ca) dalam pakan ruminansia berguna untuk pencernaan selulosa, untuk pembentukan dinding sel bakteri dan untuk proses fiksasi nitrogen oleh bakteri (Durand dan Kawashima, 1980).Rasio seleksi pakan tertinggi adalah A. officinalis (Tabel 34). Tingginya rasio seleksi terhadap A. officinalis karena kadar protein dan mineral esensial yang tinggi serta posisinya dekat tepi sungai di mana aktivitas makan bekantan lebih sering dilakukan pada jarak 0-100 m dari tepi sungai (73,53 %), terutama pada pagi hari dan sore hari. Salter et al. (1985) juga melaporkan bahwa aktivitas makan bekantan lebih sering ada di sekitar tepi sungai. Jenis pakan bekantan yang dominan adalah R. apiculata dan A. officinalis masing-masing 71,9% dan 22,7%. Di Sarawak, Rhizophora hanya mendapat porsi 0,8% dan Avicennia 7,6% dari waktu makan bekantan (Salter et al.,1985).
Perbandingan protein dengan serat dan tanin dalam pakan bekantan adalah 0,35. Perbandingan ini lebih tinggi dari pakan Presbytis (0,15-0,25) (Bennett, 1983). Hal ini menunjukkan bahwa bekantan toleran terhadap tanin dan serat yang rendah serta butuh pakan berprotein tinggi. Tidak terdapat korelasi rasio seleksi pakan dengan konsentrasi tanin dan serat kasar, karena serat kasar dan tanin dapat difermentasi dan dijadikan tidak aktif oleh mikroflora saluran pencemaan (Hladik, 1977; Bauchop, 1978; Bennett, 1983; dan Lindroth, 1989). Volume saluran pencernaan bekantan lebih luas dari volume saluran pencernaan Colobinae lain sehingga sistem pencernaan akan lebih efisien.
Daun adalah komponen pakan utama bekantan (81,14%). Walaupun buah hanya dikonsumsi 8,38% namun mempunyai seleksi rasio 65,57. Kesukaan bekantan terhadap buah (A. officinalis) berhubungan dengan rendahnya kadar serat dan tanin (11,02%) dibanding dengan daun (rata-rata 23,903%). Selain itu buah A. officinalis mengandung Cu (18,8 ppm) lebih tinggi dari sumber pakan lain (Tabel 41) di mana Cu berperan dalam mengaktifkan sintesa protein (Durand dan Kawashima, 1980). Kekurangan Cu dapat menyebabkan anemia pada ruminansia (Church et al., 1971). Untuk mencukupi kebutuhan asam amino esensial bekantan memakan serangga atau rayap (Coptotermes) dan kepiting.
6.5. Kebutuhan Pakan
Berdasarkan kelas umur, individu bekantan betina dewasa, setengah dewasa, dan remaja dengan berat badan rata-rata adalah 8,84 kg mengkonsumsi pakan dengan komposisi terdiri dari 81,14% daun, 8,38% buah, 7,68% bunga; serta serangga, kepiting, dan kulit kayu sejumlah 2,8% dengan jumlah pakan 900 g berat basah atau 270,25 g dalam beratkering. Waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi adalah 3,01 jam per hari (Tabel 40). Bila dibandingkan dengan produksi daun muda, hanya 1% dari produktivitas hutan mangrove yang dikonsumsi bekantan. Hladik (1978) melaporkan bahwa primata pemakan daun hanya mengkonsumsi daun dalam total produktivitas hutan yang berkisar antara 0,5-4%.
Berdasarkan pengamatan tiga jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan karet (Tabel 38), maka jumlah pakan individu bekantan perhari bervariasi antara 919,96-1.537,59 g berat basah (Soendjoto, 2005). Bismark (1987) melaporkan tumbuhan yang dimakan bekantan di hutan mangrove berberkisar 1.500-1.750 g daun.
Kandungan kalori pakan yang dikonsumi bekantan, rata-rata adalah 3,9475 kcal per gram berat kering. Dengan demikian konsumsi pakan bekantan seberat 270,252 g kering (30,57 g berat kering pakan/kg berat badan) mengandung kalori sebesar 1066,8 kcal atau 120,68 kcal/ kg berat badan.
Menurut penelitian Iwamoto (1982), Macaca fuscata dengan berat 8 kg butuh pakan rata -rata 254 g berat kering (31,75 g/kg berat badan) dengan kalori sebesar 1.050 kcal (131,25 kcal/kg berat badan). Sedangkan menurut penelitian Hasan (1983), P. melalophos yang ditangkarkan dengan berat badan rata-rata 4,6 kg mengkonsumsi pakan sejumlah 28,3 gberat kering per kg berat badan dengan kandungan kalori 110,7 kcal per kg berat badan. Dibanding dengan hasil penelitian di atas, kebutuhan pakan dan kalori per kg berat badan bekantan rata-rata tidak berbeda dengan M. fuscata dan P. melalophos.
Waktu makan berpengaruh terhadap kecukupan kalori, dalam hal ini P. melalophos jantan dan betina tidak berbeda dalam waktu makan karena tidak terjadi sexual dimorphisme(Bennett, 1983) tentunya berbeda dengan N. larvatus di mana berat jantan dua kali berat betina. Untuk kecukupan kalori, bekantan melakukan efisiensi, di mana bekantan jantan berjalan lebih lambat, turun ke lantai hutan, dan tidak melaku kan aktivitas bermain.
6.6. Kebutuhan Mineral
Pakan bekantan yang berasal dari tumbuhan adalah 98,25% yang terdiri dari daun, buah, dan bunga. Hasil ana lisis kosentrasi mineral dan kandungan total mineral P, K, Na, Ca, Mg, CI, Fe, Mn, Cu, dan Zn yang dalam pakan dikonsumsi bekantan rata-rata setiap harinya.
Jenis pakan yang dikonsumsi dalam jumlah kecil menunjukkan kelebihan dalam kandungan mineral tertentu yang dibutuhkan bekantan, seperti Alophyllus cobbe (0,87% porsi pakan) mengandung P dan Zn yang tinggi dari jenis daun pakan dominan. Walaupun sumber pakan utamanya daun, namun bunga dan buah dikonsumsi untuk tambahan kebutuhan mineral, seperti bunga R. apiculata dan buah A. officinalis mengandung Cu lebih tinggi dari daun A. offici nalis. Kandungan P pada daun dan buah A. officinalis lebih tinggi dari Rhizophora dan Bruguiera, sedangkan kulit pohon R. apiculata mengandung Ca lebih tinggi dari sumber pakan lainnya.
Dari jumlah kumulatif (Tabel 41), kandungan mineral yang termasuk elemen utama konsumsi pakan bekantan dalam satu hari adalah P 431,47 mg; Na 2.275,65 mg; K 1.588,56 mg; Ca 1.314,9 mg; dan Mg 1.053,98 mg, sedangkan elemen lain (minor) yang dibutuhkan dalam jumlah kecil yaitu Fe, Mn, Cu, dan Zn mas ing-masing 89,86; 7,965; 2,75; dan 1,79 mg per hari.
Untuk memenuhi kebutuhan mineral, jenis Colobinae memakan tumbuhan rawa dan tanah liat (Oates, 1978), seperti bekantan memakan daun A. cobbe. Berda sarkan kandungan mineral feses bekantan di hutan bakau maka penyerapan atau pemanfaatan mineral pakan elemen utama P, K, Na, Ca, Mg, dan Cl lebih dari 90% sedangkan elemen lainnya (minor), Cl, Fe, Mn, Cu, dan Zn bervariasi dari 60-80%. Tampak bahwa kebutuhan mineral bekantan yang tinggi didukung oleh sistem pencernaan bekantan yang efisien. Efisiensi sistem pencernaan memungkinkan karena volume salur an pencernaan bekantan yang lebih besar (8.371 cm³) dari jenis Colobinae lain.



BAB 7
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT

7.1. Parameter Biomasa
Pergerakan primata arboreal sangat tergantung pada keseimbanganstruktur fisik hutan yang meliputi stratifikasi luas tajuk, tinggi tegakan, kerapatan pohon, dan komposisi jenis dalam habitatnya. Struktur fisik tegakan hutan diperlukan untuk mendukung perilaku pergerakan harian, mencari makan, aktivitas sosial, dan perilaku reproduksi. Selain itu keseimbangan struktur fisik tegakan juga menentukan kondisi iklim mikro yang mempengaruhi fisiologi satwa, komsumsi pakan, daya cerna, dan efisiensi pemakaian energi (Church et al., 1974). Jumlah konsumsi pakan dan energi tergantung pada berat badan atau biomasa satwa (Moen, 1973; Wheatley, 1984).
Besarnya biomasa populasi satwa arboreal dipengaruhi oleh daya dukung habitat terutama kerapatan tegakan dan keragaman jenis pohon pakan dan struktur stratifikasi tajuk yang mempengaruhi pergerakan dan efisiensi pemakaian energi dalam metabolisme satwa. Kerapatan populasi dan biomasa sangat dipengaruhi oleh struktur fisik dan biodiversitas tegakan hutan sebagai parameter kualitas habitatnya.
Pengaruh keseimbangan struktur habitat dan iklim mikro terhadapefisiensi pemakaian energi terlihat dari perbandingan konsumsi energi bekantan di penangkaran sebesar 119,46 kcal per kg berat badan (BB) yang hampir sama dengan kebutuhan energi di hutan bakau sebesar120,68 kcal per kg BB untuk mendukung semua aktivitas hariannyasecara bebas (Bismark, 1994).
Kecukupan energi populasi satwa arboreal dengan sumber pakan daun, bunga, buah, dan biji seperti primata sangat ditentukan oleh produktivitas hutan, berat badan atau biomasa populasi satwa yang menghuninya. Oleh sebab itu penentuan berat badan satwa arboreal dapat digunakan untuk memprediksi tingkat daya dukung, atau untuk menilai kualitas hutan sebagai habitat. Pengukuran berat badan secara langsung di alam dilakukan denganmenimbang besar gaya lenturan cabang pohon berdiameter kurang dari 10 cm dengan ketinggian maksimum 5 m yang digunakan bekantan untuk duduk atau berhenti sesaat sebelum berjalan atau meloncat. Dahan diikat pada bagian titik berat bekantan dengan tali dan dikait pada timbangan pegas yang diikatkan pada akar pohon, tegak lurus di bawah titik berat. Elastisitas dan beban dahan dapat terlihat pada skala timbanganpegas saat tali ditarik dan lenturan dahan sama dengan saat ditempatibekantan.
Untuk mencari parameter geometri yang berhubungan erat dengan berat badan, dilakukan pengukuran tinggi duduk atau panjang badan dan kepala bekantan. Pendugaan berat badan secara tidak langsung dengan parameter tinggi duduk lebih baik dan mudah diamati (Bismark, 1994). Pengukuran tinggi duduk (td) di lapangan dilakukan dengan mengukur jarak kepala ke lantai hutan atau dahan di mana bekantan duduk.Sebelumnya jarak kedua titik yang akan diukur diamati dengan teropong untuk menentukan tanda pada dahan, ranting atau daun yang menyentuh atau sejajar dengan kepala bekantan dan penentuan titik pada posisi duduknya.
7.2. Model Pengukuran Berat Bekantan
Bekantan adalah primata dimorfisme, di mana terdapat perbedaan bentuk tubuh, bentuk hidung, dan ukuran morfologi tubuh yang berpengaruh pada berat badan. Perbandingan bentuk dan ukuran tubuh yang berkorelasi dengan berat badan menurut jenis kelamin dan kelas umur bekantan terhadap tinggi duduk (panjang badan sampai kepala). Bagian geometri tubuh yang dapat menjadi parameter berat badan bekantan yang dominan adalah tinggi duduk dan luas permukaan tubuh.
Tinggi duduk ini lebih mudah diamati dan diukur di lapangan. Parameter lain yang erat kaitan dengan berat badan adalah luas permukaan tubuh (badan, kepala, dan anggota gerak) di mana luas permukaantubuh (L) satwa dengan berat antara 0,02-1.400 kg sebanding dengan berat pangkat ¾ bahkan mendekati (Montheith dan Unsworth, 1991).
Berdasarkan hasil pengukuran luas permukaan tubuh bekantan menurut seks dan kelas umur dengan parameter geometri yang mudah diamati di lapangan, yaitu tinggi duduk (td) dibuat analisis korelasi mengikuti kesamaan model regresi eksponensial (Bismark, 1994). Analisis regresi hubungan td (cm) dan L (m²) jantan dan betina menghasilkan :
L (ˁ) = 0,0514e0,0395td. (r = 0,90)
L (˂) = 0,1048e0,0662td. (r = 0,87)
Sesuai dengan perbandingan tinggi duduk bekantan jantan dan betina, maka persamaan pendugaan L juga berbeda antara jantan dan betina, selanjutnya L digunakan untuk memperkirakan berat badan bekantan melalui pengukuran td secara tidak langsung. Dari Tabel 44 diketahui bahwa luas permukaan tubuh (L dalam m²) berkorelasi dengan berat badan bekantan (BB kg) mengikuti persamaan: L = 0,134 BB0,67. Pendugaan berat badan jantan dan betina berdasarkan parameter tinggi duduk (td)dan luas permukaan tubuh (L) secara sistematik, seperti berikut:
 1. Pengukuran tinggi duduk (td dalam cm) di lapangan
 2. Penghitungan luas permukaan tubuh (L dalam m²)
            (1) ……… Lˁ= 0,514e0,039 td
(2) ……… L˂= 0,1048e0,0662 td
 3. Pendugaan berat badan (BB)
(3)…………L = 0,1324 BB0,67

Berdasarkan analisis data pada Tabel 44, hasil pengukuran td dan BB dengan berbagai macam sumber data primer tanpa membedakan jeniskelamin dan kelas umur maka diperoleh persamaan umum korelasi td dan berat badan sebagai berikut:
(4) ……… td = 33,03 BB0,25 (r = 0,91)
Hasil pendugaan ini sangat ditentukan dengan akurasi pengamatantd di lapangan. Untuk pengamatan td harus dipilih pengamatan posisi bekantan dengan posisi badan relatif tegak pada cabang pohon berdiameter kurang dari 10 cm dengan ketinggian 5 m agar dapat mengenali dan mengukur td pada tanda di mana posisi duduk atau penandaan ranting di sekitarnya yang menyentuh bagian atas kepala bekantan. Untuk mengukur td pengamat harus melakukan pemanjatan pohon hingga pada posisisatwa primata duduk, sesaat bekantan sudah berpindah tempat.
7.3. Estimasi Biomasa
Berdasarkan jumlah dan komposisi kelas umur kelompok bekantan dalam satu km² hutan mangrove dapat ditaksir biomasa kelompok bekantan.
Yeager (1988) menyatakan bahwa biomasa sekelompok bekantan di Tanjung Puting berkisar antara 54,1-148,4 kg, sedangkan biomasa populasinya adalah 499,5 kg per km², di mana kelompok bekantan dengan satu jantan dewasa, dengan berat jantan dewasa 20,3 kg, bayi 2 kg, remaja 5 kg, betina setengah dewasa 9 kg, jantan setengah dewasa 12 kg, dan betina dewasa 9,9 kg. Di Suaka Margasatwa Samunsam, Sarawak, biomasa populasi bekantan sebesar 46 kg per km² (Bennett dan Sebastian, 1988).
Biomasa jenis Colobinae yang tinggi adalah Presbytis senex di Polonnarua, yaitu 1.450 kg per km². Jenis ini memakan daun dalam porsi yang besar, yaitu sejumlah 400 kg per individu per tahun (Hladik, 1978). Jenis Colobinae di Asia Tenggara tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam jumlah dan komposisi kelompok sosial (Bennett, 1983). Namun perbedaan biomasa di antara jenis primata sangat ditentukan oleh sumber pakan (Hladik, 1978). Populasi primata pemakan daun(Colobinae) lebih tinggi dari primata pemakan buah, hal ini dimungkinkan karena produktivitas daun yang tinggi dan tersedia setiap musim.
Biomasa primata juga dipengaruhi oleh kondisi dan perbedaan habitat, seperti P. melalophos dan P. obscura di dataran rendah masing-masing dengan biomasa 300 kg per km² dan 314 kg per km² (Marsh dan Wilson, 1981) berbeda dengan yang di dataran tinggi. Perbedaan produktivitas dan lingkungan habitat di hutan rawa gambut sepanjang sungai dengan hutan riverinemangrove juga menunjukkan perbe daan biomasa bekantan, yaitu 499,5 kg per km² dengan 792,06 kg per km², jumlah biomasa tersebut lebih besar dari biomasa bekantan di habitat lainnya.
7.4. Daya Dukung Habitat dan Adaptasi
Daya dukung habitat diindikasikan dari populasi bekantan yang dapat hidup di habitat dalam kawasan tertentu. Daya dukung ini dipengaruhi oleh tipe, kualitas, produktivitas habitat, sumber pakan serta faktor luar yang mempengaruhi kualitas dan produktivitas habitat, seperti pencemaran.Habitat bekantan di hutan mangrove dengan kerapatan pohon (diameter ≥ 35 cm) sebanyak 59 pohon/ha, 118 tiang/ha, dan 508 pancang/ha menunjukkan produktivitas hutan yang tinggi. Hal ini diprediksi dari produksi serasah di bawah tegakan. Produksi serasah rata-rata 3,32 g berat kering/m²/hari setara dengan 13,18 kcal/m²/hari. Produksi serasah hutan mangrove riparian di Florida yang dilaporkan oleh Mitcsh dan Gosselink (1989) adalah 14 kcal/m²/hari. Dengan hasil serasah sejumlah tersebut produksi primer bersih dari hutan mangrove tersebut adalah 57 kcal/m²/hari. Clough et al. (1983) melaporkan bahwa Rhizophora yang tumbuh baik di Australia menghasilkan daun muda sejumlah 5 ton/ha/tahun. Salah satu indikator hutan mangrove yang berada pada dalam kondisi produktivitas tinggi adalah hasil serasah yang mencapai1,3-2,0 g/m²/hari (Champman, 1983).
Kebutuhan kalori individu bekantan tergantung pada berat badan dan aktivitas berjalan. Dari aktivitas tersebut, 59,92% dilakukan dengan berjalan quadrupedal, 11,34% memanjat, 23,89% meloncat, dan 4,85% bergerak dengan cara bergelantungan. Berdasarkan rumus Moen (1973) dan Wheatley (1982) maka kebutuhan kalori bekantan rata-rata seberat 8,84 kg untuk aktivitas pergerakan arboreal adalah 133,76 kcal,meliputi kebutuhan meloncat 93,55 kcal, pergerakan quadrupedal, memanjat dan bergelantungan 4,92 kcal, dan pergerakan vertikal (gradien 50%), 35,29 kcal. Metabolisme basal 358,89 kcal, makan 14,38 kcal, istirahat 92,89 kcal, dan bermain 47,91 kcal. Aktivitas pergerakan arboreal tidak pada bidang datar sehingga kebutuhan kalori untuk pergerakan arboreal adalah dua kali lipat (Wheatley, 1982). Dengan demikian maka total kebutuhan kalori bekantan dengan berat badan rata-rata 8,84 kg adalah 781,60 kcal. Untuk memenuhi kalori setiap harinya bekantan dengan berat badan 8,84kg mengkonsumsi pakan sejumlah 900 g per hari.
Kandungan kalori pakan yang dikonsumsi bekantan rata-rata adalah 1066,8 kcal atau 120,68 kcal/kg berat badan bekantan. Daya dukung habitat hutan mangrove adalah 84 individu bekantan/km² dengan biomasa 778,68 kg dan kebutuhan kalori 93.971,1 kcal per hari, sedangkan produktivitas habitatnya adalah 570.000 kcal/km², dengan demikian konsumsi energi pakan yang dibutuhkan bekantan dalam populasi optimum adalah 16,5% dari produktivitas primer habitat.
Dalam habitat hutan mangrove dengan kualitas baik dan produktivitas tinggi, bekantan dapat hidup dalam populasi relatif padat. Hal ini terlihat dari penggunaan core areadaerah jelajah yang relatif kecil (18-20 ha) dengan tumpang tindih ruang pengembaraan sebesar 20-62%. Yeager(1989) melaporkan bahwa ruang pengembaraan (home range) bekantan di hutan rawa gambut berkisar antara 125-137,5 ha dengan areal tumpang tindih 95,9%, sedangkan “adjusted home range” yang intensif digunakan adalah 19,3 ha per kelompok. Luas ruang pengembaraan bekantan di mangrove adalah 19,4 ha, tidak berbeda dengan adjusted home rangeyang dikemukakan Yeager (1989). Untuk mengatasi terjadinya kompetisi dalam penempatan pohon sumber pakan dan pohon tidur bekantan melakukan perpindahan lokasi tempat tidur rata-rata 220 m setiap hari dan jarak antar kelompok 50-400 m.
Penggunaan dan perpindahan pohon tempat tidur di tepi sungai merupakan adaptasi bekantan terhadap penyakit dan predator. Pada habitat yang telah rusak strategi pemilihan pohon tempat tidur dan perilaku berpindah-pindah setiap hari adalah cara untuk mempertahankan populasinya.
Efisiensi penggunaan waktu dan perjalanan dalam aktivitas mencari makan, kelom pok bekantan membentuk sub-kelompok yang rata-rataterdiri 8,5 individu yang masing-masing tersebar dalam jarak rata-rata 96 m. Empat puluh tiga persen sub-kelompok terdiri dari 1 jantan dewasa dengan jumlah individu 9,12 dan 22,8% terdiri dari 2 jantan. Pembentukan sub-kelompok ini selain untuk mengatasi kompetisi antar individu juga berperan dalam efisiensi penggunaan sumber pakan, pemantauan ruang pengembaraan, dan efisiensi pengontrolan anggota sub-kelompok yang lebih sedikit jumlahnya oleh jantan dewasa.
Kepadatan populasi bekantan di sungai terpengaruh oleh perubahan tipe vegetasi hutan lahan basah dari muara sungai hingga hutan Dipterocarpaceae campuran di pedalaman hulu sungai. Hutan di pedalaman relatif miskin unsur hara, sedangkan bekantan sebagai primata pemakan daun (sub-famili Colobinae) membutuhkan mineral cukup tinggi.
Degradasi habitat bekantan yang serius pernah terjadi di Pulau Kaget Kalimantan Selatan pada tahun 1996. Kawasan seluas 267 ha tersebut dihuni bekantan sejumlah 228 individu. Habitat didominasi Sonneratia caseolarisdi tepi sungai setebal 20-55 m dengan kerapatan 150 pohon/ha. Kepadatan pohon ini masih mendukung untuk kebutuhan pohon tidur dan pakan bagi sejumlah 200 individu bekantan dengan sebaran sub-kelompok antara 25-75 m. Dari segi pakan, dengan indikasi tingkat kekurusan bekantan, secara kualitatif hanya 25% dari bekantan yang tidak dapat teradaptasi dengan kondisi habitat, terutama individu yang soliter dan individu kelas umur tua.
Adaptasi bekantan terlihat dari cara bekantan memanfaatkan tumbuhan air yang bermineral tinggi, karena lantai hutan tepi sungai didominasi oleh tumbuhan bawah, Eichornia crassipes, Lymnocharis flava, Pistia stratiotesyang mudah terbawa dan hanyut di sungai. Tumbuhan yang dominan adalah Agapanthus africanus, sedangkan di bagian tengah Pulau Kaget didominasi oleh Acrostichum aureum.Tumbuhan bawah tersebut umumnya menutupi akar napas S. caseolaris.Sebanyak 75% populasi bekantan terlihat dapat beradaptasi dengan pakan dari tumbuhan air, yaitu Lymnocharis flava, Agapanthus africanus, Hymnenachne amplexicanlis,dan Vittis trifolia. Tumbuhan air yang dimakan primata mempunyai kadar mineral lebih tinggi dari tumbuhan pakan primata di dataran kering (Oates, 1978).
Untuk mempertahankan populasi, bekantan butuh mineral yang cukup banyak (Bennet dan Sebastian, 1988) seperti K, dibutuhkan sejumlah 197,9 mg/kg berat/hari (Bismark, 1995) sedangkan Vittis trifoliadiketahui mengandung K 1,06%. Tingginya mineral tumbuhan di pulau ini diindikasikan dengan hasil analisis kimia akar napas Soneratia caseolaris.
Namun dalam akar napas S. caseolaris, mineral yang terdeteksi adalah Zn, Cu, dan Al, yang konsentrasinya 2-8 kali dari kandungan mineraltanah, sedangkan kandungan Al-nya 6-17 kali dari konsentrasi Al tanah;Cd dan Pb tidak terdeteksi. Tidak terdeteksinya Cd dalam akar napas S. caseolarisdapat disebabkan tingginya konsentrasi Zn, di mana konsentrasi Zn yang tinggi dapat menekan penyerapan Cd.
Bekantan yang hidup di hutan riparian Samboja Kuala, KalimantanTimur yang dekat dengan pemukiman dapat mengkonsumsi Mangifera caesia, Garcinia mangostana, Durio zibethinus, Sandoricum koetjape,dan Hevea brasiliensis, namun demikian tetap memakan Sonneratia caseolarissebagai sumber mineral (Alikodra et al., 1995). Adaptasi bekantan terhadap tipe habitat dan sumber pakan terlihat dari kerapatan populasi dan jumlah kelompok rata-rata 14,9 individu/kelompok (Alikodra et al., 1995) dan di hulu sungai yang didominasi Dipterocarpaceae rata-rata 12 individu/kelompok, sedangkan di hutan mangrove 17,4 dan 21 individu/kelompok.
Kondisi ini menunjukkan perbedaan daya dukung habitat terutama dalam penyediaan sumber pakan dan mineral. Di hutan karet, bekantan dapat teradaptasi dengan baik yang ditandai dengan jumlah anggota kelompok yang mencapai 19 individu. Tingginya kadar protein dan ketersediaan mineral penting dalam pakan bekantan serta ketersediaan air menjadi pendukung utama keberadaan dan adaptasi bekantan di luar kawasan hutan rawa gambut atau hutan mangrove (Soendjoto et al., 2006).



BAB 8
KONSERVASI

8.1. Degradasi Habitat dan Penurunan Populasi
The South East Asia Zoo Association(SEAZA) dan Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesai (PKBSI) telah mengindentifikasi bahwa bekantan menduduki prioritas tinggi dalam upaya pelestarian secara insitu atau eksitu. Untuk itu telah diadakan workshopkonservasi internasional di Bogor yang diselenggarakan oleh Conservation Breeding Specialist Group of the IUCN- the World Conservation Union (CBSG)dan workshop Indonesia Proboscis Monkey Population and Habitat Viability Assesment (PHVA)pada bulan Desember 2004 (Proboscis monkey PHVA, 2004).
Tingginya tingkat prioritas konservasi bekantan disebabkan oleh kekhawatiran akan penurunan populasi di alam dengan cepat. Populasi bekantan di Kalimantan kurang lebih 25.000 individu, dan dari hasil identifikasi pada 12 lokasi sebaran bekantan, populasi diperkirakan berjumlah 9.200 individu (PHVA Prosboscis monkey, 2004) dan Supriatna (2004) memprediksi populasi tinggal 15.000 individu dengan lajudeforestasi habitat 2,49%. Pada tahun 1994 total populasi bekantan di Indonesia sejumlah 114.000 individu dengan salah satu contoh di TN Kutai berjumlah 400 individu (Bismark dan Iskandar, 2002).
Di kawasan konservasi kelompok bekantan terpencar antara 4-25 km (1986), rata-rata 30 km pada tahun 1994, dan jarak sebaran di luar kawasan konservasi akan bertambah seiring dengan terjadinya fragmentasi hutan di sepanjang sungai habitat bekantan, hutan rawa gambut serta terputusnya koridor yang menghubungkan danau-danau berhutan yang berpotensisebagai habitat bekantan, seperti sebaran sub-populasi bekantandi Delta Mahakam yaitu rata-rata 50 km (Ma’ruf, 2005).
Fragmentasi habitat tepi sungai akan memutus jalur migrasi populasi bekantan sewaktuwaktu bila terjadi penurunan daya dukung habitat. Demikian pula kurangnya pakan pada musim tertentu dan kebutuhanmineral yang tinggi sebagai komponen pakan bekantan secara langsung yang dapat berakibat pada penurunan populasi. Dalam setahun kelompok bekantan menggunakan kawasan hutan seluas 9 km². Fragmentasi habitat dapat meningkatkan ancaman perburuan, parasit, predator, dan tekanan tinggi yang mempengaruhi penurunan populasi bekantan.
Pengaruh fragmentasi habitat terhadap populasi bekantan terutama di hutan riverinemangrove, karena vegetasi mangrove yang potensial sebagai habitat bekantan hanya 7%. Selain itu habitat di hutan rawa gambut telah terdegradasi melalui pemanfaatan hutan produksi, pengembangan areal pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Ancaman penurunan populasi bekantan akibat pengurangan habitat bekantan adalah 3,1% tiap tahun (Bismark dan Iskandar, 1997) sedangkan degradasi habitat 3,49% tiap tahun (Supriatna, 2004). Bila dilihat dari populasi pada tahun 1994 dengan populasi 114.000 individu dan 15.000 individu pada tahun2004, penurunan populasi dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 10% per tahun. Ini menunjukkan bahwa bekantan sensitif terhadap fragmentasi habitat.
Mengingat aktivitas harian bekantan yang menggunakan hutan riparian selebar 500 m dan perpindahan harian bekantan antara 300-800 m di kebun karet, 800-2.000 m di hutan mangrove, maka sebagai upaya pelestarian habitat bekantan perlu dilakukan perlindunganatau ditetapkan hutan sempadan sungai sebagai kawasan lindung yaitu seluas minimal 500 m. Perlindungan sempadan sungai selebar 500 m ini selain menyediakan habitat dengan daya dukung minimal kepada kelompok bekantan, juga memberikan dampak pengurangan laju aliran permukaan yang membawa partikel tanah hasil erosi yang dapat menurunkan kualitas sungai. Percepatan pengurasan hasil mineralisasi serasah sehingga dapat menyebabkan eutropikasisungai, termasuk kelestarian keanekaragaman jenis fauna air. Pada hutan produksi yang berbatasan dengan habitat bekantan perlu diterapkan teknik pemanenan dengan Reduced Impact Logging(RIL) guna mempertahankan kualitas perairan. Hal ini sangat mendukung bagi kelestarian habitat bekantan, karena bekantan sangat membutuhkan kualitas perairan yang baik yang dapat mempengaruhikualitas pakan, pohon tempat tidur, sumber air minum, dan sebagai sarana untuk aktivitas berenang dan mandi.
Pengamatan Yeager (1992) di TN Tanjung Puting pada tahun 1985 menunjukkan kepadatan populasi bekantan sebesar 62,9 individu per km persegi, dan 41 individu per km persegi dalam tahun 1991. Dalamwaktu enam tahun telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% per tahun. Hal ini disebabkan oleh polusi air sungai akibat penambangan emas di hulu sungai, degradasi habitat sungai, dan meningkatnya lalu lintas perahu motor. Mengingat bekantan sangat sensitif terhadap kerusakan habitat (Bennett dan Gombek, 1991), maka populasi bekantan dapat dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan hutan rawa. Populasibekantan dalam kondisi habitat yang mengalami kerusakan berat mencapai rata-rata sembilan individu per km persegi (Yeager dan Blondan, 1992).
Pencemaran air oleh logam berat terindikasi dari akumulasi Cd, Pb, Cr, Ni, dan Mo dalam jaringan akar R. apiculatadalam habitat bekantan di hutan mangrove (Bismark, 1995). Merangasnya Sonneratia caeolarisakibat logam berat di Pulau Kaget Kalimantan Selatan, menyebabkan turunnya potensi pakan bekantan. Hutan lahan basah tepi sungai dan pantai yang berhubungan dengan pasang surut sungai atau laut yang tercemar,maka polutan yang terlarut dapat berdampak pada kualitas sumber pakan, dan dapat berpengaruh terhadap keragaman jenis dan populasi satwa langka.
Kerusakan habitat menyebabkan predator bekantan melakukan pergerakan dengan mudah. Populasi biawak Varanus salvatorsebagai salah satu predator primata (Rodman, 1998; Yeager, 1992) cukup banyak terdapat di areal rawa dan mangrove. Selain biawak, jenis reptil yang memungkinkan sebagai predator bekantan di hutan bakau adalah ular kobra (Ophiophagus hannah). Permasalahan habitat bekantan bukan saja masalah pengurangan luas hutan rawa, tetapi juga masalah kualitas air sungai yang menjadi sumber air minum, mandi, dan berenang bagi bekantan. Berlangsungnya pembangunan pemukiman dan industri di hulu sungai, dapat menurunkan kualitas sungai, seperti pencemaran parasit yang penyebarannya dapat melalui air. Bukti ini telah diketahui dari ditemukannya telur cacing Ascrisdan Trichiurisdalam feses bekantan. Trichiuris umum ditemukan pada feses primata seperti Macaca fascicularis (Matsubayashi, 1981), pada orangutan dan simpanse (Rijksen, 1987).
8.2. Konservasi Eksitu
Pemeliharaan bekantan di kebun binatang maupun oleh masyarakat sudah lama dilakukan di dalam maupun di luar negeri, dan keberhasilan penangkaran bekantan pertama dilaporkan tahun 1993. Dari berbagai laporan masyarakat, bekantan yang ditangkap dari alam sangat sulit dipelihara karena mempunyai tingkat stres yang tinggi dan sulitmakan, akibatnya tidak jarang mati dalam waktu singkat. Percobaan penangkaran bekantan di Kalimantan Timur pernah dilakukan di areal tanam satwa PT Pupuk Kaltim Bontang (1993) dan Taman Safari Indonesia (TSI). Bekantan yang ditangkar di PT Pupuk Kaltim Bontang diberi pakan dengan mie instan, buah pohon simpur (Dillenia sp.), pisang, pepaya, dan air minum.
Rata-rata berat kering pakan bekantan per hari adalah 157,93 g atau 27,85 g/kg berat badan dengan kalori pakan 119,46 kcal/kg berat badan. Di kebun binatang Singapura Zoological Garden (SZG) bekantan diberi makan dengan apel (25 g), pisang (25 g), kacang panjang (3 ikat), telur rebus (½), dan nasi dengan daging (25 g) dalam bentuk bola. Selain itu diberi makan dengan pelet (Zupreem primate dry) dengan minyak ikan dan neotroplek (3-4 pelet) dan daun-daunan (3 ikat atau 4 kg) untuk kebutuhan pakan 5 individu bekantan. Dilaporkan sejak awal tahun 1998 bekantan yang dipelihara di SZG yang berasal dari Kebun Binatang Yogyakarta hidup sehat dengan pola makan di atas dan dapat melahirkan anak.
Di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor bekantan diberi pakan sayuran 37,42%, protein 3,98%, daun-daunan 49,71%, dan buah 8,89% dengan perbandingan Ca/P rasio 1,31. Bekantan dengan berat badan 6 kg makan 1,8 kg atau 30,18% dari berat badan dengan kandungan kalori 925,5 kcal (Trihastuti et al., 2004), kebutuhan kalori pakan bekantan betina dengan berat badan 8,8 kg adalah 745,41 kcal dan jantan dengan berat badan 5 kg membutuhkan kalori 647,8 kcal (Bismark, 1994). Komponen pakan bekantan di TSI, Bogor.
Jenis daun yang diberikan kepada bekantan di TSI adalah daun kayu manis, beringin, angsana, jingjing, ketapang, nangka, dan ara jelateh. Jenis-jenis tersebut memiliki kadar Ca tinggi antara 6-30%, di mana Ca daun ara jelateh 30,5 ppm, kadar P 0,1-2,3%, dan kadar protein dari 11,3–22,8%. Komposisi pakan, kadar gizi, dan teknik pemberian pakan yang tepat akan mendukung percepatan program penangkaran atau konservasi eksitubekantan, yang diindikasikan dengan berkembangnya populasi bekantan melalui kelahiran anak di penangkaran.
Konservasi eksitubekantan melalui pengembangan penangkaran di kebun binatang atau lembaga konservasi lainnya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan konservasi maupun rekreasi yang mendatangkan nilai budaya menyangkut pelestarian bekantan di alam, terutama dalam hal pencegahan perburuan atau upaya rehabilitasi habitat tepi sungai, danau, dan hutan dengan tumbuhan yang dapat menjadi sumber pakan bekantan.
8.3. Program Konservasi
Berdasarkan hasil PHVA bekantan tahun 2004, telah diidentifikasi permasalahan kerusakan habitat dan dampaknya pada kelestarian bekantan seperti terlihat dalam. Pemanfaatan dan konversi lahan hutan habitat bekantan pada hutan rawa gambut, rawa air tawar atau mangrove menjadi areal perkebunan, tambak perikanan atau penambangan di hulu sungai yang berdampakpada kualitas perairan habitat bekantan sebenarnya sudah berjalan lama. Di antaranya adalah perubahan kualitas air sungai habitat bekantan di TN Tanjung Puting akibat penambangan emas di hulu sungai. Penurunan kualitas sungai diperkuat oleh tingginya aktivitas angkutan sungai (speed boat) yang dapat meningkatkan abrasi tepi sungai, mengurangi keragaman jenis tumbuhan bawah tepi sungai yang berpotensi sebagai sumberpakan bekantan.
Polusi sungai oleh logam berat terindikasi dari meningkatnya konsentrasi logam berat di akar tumbuhan mangrove yang menjadi sumber pakan bekantan, seperti kandungan Zn dan Cu di akar Soneratia caseolarisdengan kosentrasi 2-8 kali dari kandungan yang ada di tanah dan 6-17 kali untuk mineral Al. Kandungan Pb 20-120 ppm dan 1,04-1-21 ppm Mo ditemukan pada akar mangrove di TN Kutai (Bismark, 1994), sedangkan di hutan mangrove yang belum tercemar tidak terdeteksi adanya Mo (Bismark, 2007).
Perluasan tambak yang mencapai lebih dari 50% dalam waktu 10 tahun (Sarjono, 1997) dan tersisanya habitat bekantan seluas 10% di muara Mahakam (Ma’ruf et al., 2005) dan terputusnya habitat dan sebaran bekantan rata-rata sepanjang 30 km adalah kenyataan yang dapat digunakan sebagai dasar mengapa pelestarian bekantan menjadi prioritas utama, termasuk kebakaran hutan akibat berbagai dampak intervensi masyarakat ke dalam kawasan hutan gambut dan hutan tepi sungai secara ilegal.
Untuk mengatasi permasalahan habitat dan penurunan populasi bekantan perlu dibuat program-program kegiatan sebagai berikut:
1. Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan.
2. Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial bagi pengembangan populasi bekantan.
3. Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam melakukan konservasi sempadan sungai  
   dan satwa.
4. Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan masuknya limbah ke  
    sungai, dan pengembangan bangunan di sempadan sungai habitat bekantan.
5. Pengembangan konservasi eksitu.
6. Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi  
     masyarakat lokal dan manfaat satwaliar.
7. Peningkatan peran kelembagaan dan budidaya usaha pengelolaan kawasan hutan yang terkait
   dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.
8.3.1. Inventarisasi Sebaran Populasi
Peningkatan pemanfaatan lahan sepanjang sungai habitat bekanta dan peningkatan transportasi sungai telah terbukti menurunkan populasi dan peningkatan fragmentasi habitat bekantan. Oleh karena itu data sebaran populasi sangat diperlukan untuk menentukan status konservasi dan program prioritas penyelamatannya. Hal ini lebih penting bagi pelestarian bekantan di luar kawasan konservasi. Inventariasi ini juga terkait dengan program rehabilitasi, restorasi, dan pemanfaatan kawasan dan populasi sebagai objek wisata dalam kawasan wisata alam.
Saat ini penelitian umumnya terfokus pada penentuan sebaran danpopulasi, sedangkan penelitian perilaku yang mendukung pelestarian habitat masih terbatas karena tipe habitat dan sifat semiterestrial bekantan menyulitkan proses habituasi. Oleh karena itu dalam buku ini disampaikan hasil penelitian perilaku dan pemanfaatan habitat bekantan dalam 10 tahun terakhir. Hasil penelitian terakhir yang dilakukan Soendjoto (2005) adalah penelitian bekantan di hutan karet. Penelaahan ditujukan pada aspek adaptasi bekantan terhadap hutan tanaman karet. Hasil inventarisasi juga menunjukkan bahwa bekantan juga ditemukan di hutan bukit kapur, Kalimantan Selatan.
8.3.2. Rehabilitasi dan Restorasi Habitat
Hutan tepi sungai adalah kawasan yang pertama kali dan lebih mudah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam pengembangan pemukimanatau pertanian, termasuk sebagai lokasi pembangunan untuk pengelolaan hasil hutan non kayu, industri perkayuan, dan industri angkutansungai sehingga habitat bekantan sangat rentan terhadap fragmentasi maupun
terbentuknya lahan kritis.
Sesuai hasil inventarisasi sebaran populasi, perlu dibuat program lanjutan untuk melaksanakan rehabilitasi atau restorasi habitatbekantan yang potensial untuk pembinaan populasi. Program rehabilitasi atau restorasi pada habitat yang telah menurun kualitasnya diarahkanpada pengayaan jenis tumbuhan pakan yang mengandung mineral dan protein tinggi. Pembinaan habitat untuk peningkatan populasi diarahkan agar sub populasi yang berkelompok dalam kawasan tersebut dapat mencapai angka populasi minimum (250 individu).Apabila kawasan tersebut merupakan bagian areal pertanian, rehabilitasi dapat dilakukan dengan menanam jenis buah-buahan yang dapat mendukung tersedianya sumber pakan bekantan seperti dilaporkan Alikodra et al.(1995), atau dengan tanaman karet (Soendjoto et al., 2005). Daun dan buah dari jenis-jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi oleh bekantan seperti di SZG Singapura.
8.3.3. Penangkaran
Upaya konservasi eksitubekantan sudah menunjukkan hasil dengan berkembangnya jumlah individu bekantan dalam bentuk penangkarandi kebun binatang dan TSI. Keberhasilan ini didukung pula oleh upaya pengembangan jenis dan pakan bekantan yang memenuhi kualitas gizi dan kalori yang dibutuhkan. Keberhasilan diindikasikan dengan berhasilnya kelahiran bekantan di penangkaran tersebut.Penangkaran merupakan salah satu upaya konservasi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian satwa.
Bekantan yang ada dalam areal penangkaran kebun binatang atau TSI digunakan sebagai sumber atau model dalam pendidikan konservasi. Hal ini dapat meningkatkan nilai-nilai pelestarian habitat dan satwa bagi kader konservasi sebagai langkah dalam melakukan pelestarian insitumelalui peningkatan kesadaran terhadap perlindungan hutan, sempadan sungai, dan pencegahan perburuan. Di samping itu, dapat pula diterapkan untuk merubah persepsi masyarakat yang selama ini menganggap bekantansebagai hama pertanian menjadi objek wisata.
8.3.4. Pengaturan Pemanfaatan Hutan Tepi Sungai
Hutan tepi sungai (sebagai habitat bekantan), sungai dan kualitas airnya sangat menentukan dalam pelestarian populasi bekantan. Hutan sempadan sungai minimal selebar 500 m dengan keragaman jenis pohon dan tumbuhan yang tinggi untuk pohon tidur dan pakan bekantan penting dilestarikan sebagai habitat. Di areal dengan keragaman jenis rendah seperti adanya tanaman perkebunan dan buah-buahan yang dikelolamasyarakat, pergerakan harian bekantan meningkat menjadi 800-1000 m.
Oleh karena itu pemanfaatan kawasan untuk tujuan lain seperti kebun dan pemukiman sebaiknya minimal berjarak 500 m dari tepi sungai. Hal ini dimaksudkan agar tingkat gangguan bekantan terhadap areal pertanian akan rendah, karena bekantan sangat terikat dengan sumber air. Adaptasi bekantan terhadap tanaman perkebunan terlihat dari berkembangnya populasi di hutan karet. Namun sumber air dan hutan sempadan mata air dan sungai kecil tetap menjadi bagian penting dalam perilaku makan dan perilaku harian bekantan.Mengingat bahwa peningkatan lalulintas di sungai habitat bekantan dapat menurunkan populasi bekantan maka diperlukan aturan atau rambu-rambu di sungai yang dihuni oleh bekantan. Hal ini diperlukan agar pengemudi speed boatmengurangi kecepatannya agar tidak terjadi kebisingan tinggi yang dapat menimbulkan stres pada bekantan, terutama di sungai kecil.
8.3.5. Pengembangan Agrowisata
Program restorasi atau rehabilitasi hutan tepi sungai habitat bekantan sejalan dengan pengembangan wisata sungai dengan objek bekantan. Rehabilitasi sempadan sungai dapat dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan dengan pola agroforestrysehingga dapat menjadi bagian program pengembangan agrowisata.Pakan bekantan yang komposisinya lebih dari 80% daun dapat dikatakan bahwa ancaman bekantan terhadap buah-buahan relatif rendah, sehingga model agroforestrymerupakan kombinasi aspek pelestarian bekantan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasilahan, dan peningkatan kualitas sungai. Diharapkan pengembangan wisataalam di habitat bekantan di luar kawasan konservasi ini segera direalisasikan dan ditingkatkan guna mengurangi fragmentasi habitat dan populasi di luar kawasan konservasi.
Bekantan berperan dalam mempertahankan biodiversitas vegetasi habitat. Dalam hal ini bekantan juga memakan biji tumbuhan yang dominan. Cara ini akan memberikan kesempatan bagi jenis yang tidak dominan untuk berkembang, sehingga dengan demikian populasi bekantan cukup besar peranannya dalam perbaikan biodiversitas vegetasi hutan (Yeager dan Blondal, 1992).
Pelestarian bekantan di luar kawasan konservasi besar peranannya untuk men-jaga penurunan populasi agar jangan sampai berada pada batas kritis. Sebagian besar habitat bekantan adalah di luar kawasan konservasi, oleh karena itu habitat bekantan di kawasan hutan produksi sangat perlu dibina. Walaupun perburuan bekantan jarang terjadi, namun perusakan habitat bekantan akibat pengembangan areal pemukiman maupun pertanian dan tambak (perikanan) lebih berdampak negatif terhadap penurunan populasi. Untuk pelestarian populasi bekantan, perlu dibuat perlindungan pada habitat tepi sungai di mana bekantan ditemukan minimal sejauh 500 m, sesuai dengan jarak yang ditempuh bekantan dari tepi sungai dalam aktivitas hariannya. Tepi sungai yang dihuni bekantan di kawasan hutan produksi perlu dimasukkan sebagai wilayah konservasi yang menjadi indikator pengelolaan hutan produksi lestari yang dapat dikelola sebagai hutan wisata.
Di Brunei, upaya pelestarian populasi bekantan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan ekoturisme, sehingga kerusakan habitat satwa dapat terpantau melalui peningkatan aktivitas rekreasi (Yeager dan Blondal, 1992). Di TN Kutai, sebagian besar dari turis asing yang berkunjung berusaha untuk menemukan kelompok bekantan di samping melihat orangutan di Teluk Kaba. Pengembangan ekoturisme di kawasan konservasi, taman nasional, dan di luar kawasan konservasi, selain memberikan dukungan bagi upaya pelestarian habitat dan populasijuga memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat, terutama di luar kawasan konservasi. Dalam kawasan konservasi sendiri seperti taman nasional dan suaka margasatwa di mana habitat dan populasi bekantan dikonservasikan, diperlukan pengawasan dan pembinaan habitat dan populasi yang intensif mengingat maraknya illegal logging. Kegiatan ini dapat dilakukan mulai dari hutan yang berada di sempadan sungai.
Kegiatan pengelolaan satwa langka di luar dan dalam kawasan konservasi masih menjadi tugas pokok Departemen Kehutanan (Dephut), sementara itu habitat dan keberadaan satwa tidak selamanya ada dalam pengawasan dan tanggung jawab Dephut, seperti daerah penyangga taman nasional yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Departemen Dalam Negeri). Di daerah penyangga masih terdapat habitat potensial bagi satwaliar langka, termasuk bekantan. Dengan tingginya laju fragmentasi, habitat bekantan tidak disadari sudah berada di bagian wilayah pedesaan di mana habitatnya sangat berarti bagi pegembangan pertanian dan kebun rakyat untuk pendukung kebutuhan ekonomi.
Habitat bekantan juga ada di kawasan hutan produksi di mana keamanan habitatnya menjadi tanggung jawab pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Walaupun sudah ada arahan kelola lingkungan dan peraturan untuk menetapkan wilayah konservasi dan areal plasma nutfah dalam kawasan hutan produksi, namun keberadaan bekantan pada habitat yang spesifik menyebabkan penetapan dan pengamanan habitatnya dalam kategori di atas belum sepenuhnya terlaksana.
Koordinasi program pengelolaan daerah aliran sungai, kawasan lindung gambut, hutan mangrove, pedesaan, dan perkebunan yang terpadu dan saling sinergis dalam melestarikan habitat dan populasi bekantan sangat diperlukan terutama di luar kawasan konservasi.Untuk itu diperlukan pembentukan kelembagaan seperti Lembaga PengarahKonservasi yang dikoordinasikan oleh Bappeda dengan anggota dinas-dinas terkait seperti Dinas Kehutanan, Perkebunan, Pemda, Pengairan (PU), dan lain-lain yang kegiatannya akan berdampak pada perbaikan habitat dan pelestarian bekantan.



DAFTAR PUSTAKA

Aldrich-Blake, F. P. G. 1980. Longtailed macaques. p. 147-165. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chivers ed.). Plenum Press, New York.
Alikodra, H. S., A. H. Mustari, N. Santoso, dan Yasuma. 1995. Social interaction of proboscis monkeys (Nasalis larvatus Wurmb) group at Samboja Koala, East Kalimantan. Pusrehut, Anual Report, 10 pp.
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem Sumatra. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Baker, E. W. and G. W. Wharton. 1952. In introduction to arcarology. The Mac Millan Company, New York.
Bauchop, T. 1978. Digestion of leaves in vertebrata arboreal folivores. p. 139-204.In: The Ecology of Arboreal Folivores (G.G. Montgomery ed.).
Smithsonian Institute, Washington D.C.Bennett, E. L. 1983. The Banded Langur: Ecology of a Colobinae in West Malaysian Rain Forest. Ph.D. Dissertation, Cambridge University, Cambridge.
Bennett, E. L. and A. C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. Int. J. of Primatol. 9 (3) : 233-255.
Bhosale, J. L. and L. S. Shinde. 1983. Significance of cryptovivipary in Aegiceras corniculatum (L) Blan-co., p. 123-129. In: Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas eds.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Bismark, M. 1980. Populasi dan tingkahlaku bekantan (Nasalis larvatus) di Suaka Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian Hutan No. 357.
Bismark, M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus)  dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timor. Thesis Magister Sains, Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Bismark, M. 1986. Keragaman burung di hutan bakau Taman Nasional Kutai. Bul. Pen. Hut. 482: 11-22.
Bismark, M. 1993. Sebaran dan populasi primata sebagai indikator kualitas lingkungan habitat di areal tegakan tinggal hutan produksi alam. Simposium dan Seminar Nasional Primata. Oktober 1993. Cisarua.
Bismark, M. 1994. Parasit biawak (Varanus salvator) Aponomma lucasidi Cagar Alam Kepulauan Krakatau. Bul. Pen. Hut. 558: 14-25.
Bismark, M., I. Soerianegara, D. Sastradipradja, F. G. Suratmo,H. S. Alikodra and H. Pawitan. 1994. The potency of mangrove forest habitat tothe proboscis monkey’s food source at Kutai National Park. EastKalimantan. International Primatological Society Congres, Bali.
Bismark, M. 1995. Konsumsi pakan bekantan dalam penangkaran. Bul. Pen. Hut. 589: 27-38.
Bismark, M. 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Diskusi Hasil Penelitian, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bismark, M., H. Gunawan, H. Tikupadang, dan S. Iskandar. 1997. Komposisi dan jenis pakan Macaca ochreata di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Bul. Pen. Kehutanan Ujung Pandang 3 (1): 1-17.
Bismark, M. dan S. Iskandar. 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bul. Pen. Hut. 631:p.17-29.
Bismark, M., R. Sawitri, dan S. Iskandar. 2004. Pengaruh sistempenebangan ramah lingkungan dan TPTI di hutan produksi terhadap keragaman jenis ikan. Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam I(2):147-155.
Bismark, M. 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan Nasalis larvatus.Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam I(3):309-320.
Bismark, M. 2005. Estimasi populasi orangutan dan model perlindungan di komplek hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur. Bul. Plasma Nutfah. 11(2): 74-80.
Bismark, M. 2005. Model pengukuran biomasa populasi primata. Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam II(5):491-496.
Chapman, V. J. 1983. Mangroves in New Zealand. p. 81-85. In: Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Chivers, D.J. 1974. The siamang in Malaya: a field study of a primate in tropical rain forest. Contrib. Primat. (4) : 1-335.
Chivers, D. J. and J. J. Raemakers. 1980. Longterm changes in behaviour, p. 209-258. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chivers, ed.). Plenum Press, New York.
Chivers, D. J. and J. J. Raemakers. 1984. Natural and synthetic diets of Malayan gibbons, p. 39-56. In: Primate Ecology and Conservation (D.J. Chivers, ed.) vol. 2. Cambridge University Press, London.
Christian, K. C., R. Trancy, dan W. P. Pater. 1983. Seasonal shifts in body temperature and use microhabitats by Galapagos Land iguanas (Conolophus pallius). Ecology 64(3): 463-468.
Church, D. C. 1974. Effect of stress on nutritional physiology,p. 663-683. In: Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants (Church, D. C.,
G. E. Smith, J. P. Fontenot and A. T. Ralston eds.). Albany Printing Co., Oregon. Clough, B. F., K. G. Boto, and P. M. Attiwill. 1983. Mangroves and sewage: a revaluation, p. 151-161. In: Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Clutton-Brock, T. H. 1977. Some aspects of intraspecific variation in feeding and ranging behaviour in primates, p. 539-556. In: Primate Ecology (T.H. Clutton-Brock ed.). Academic Press, London.
Clutton-Brock, T. H. and P. H. Harvey. 1977. Species differences in feeding and ranging behaviour in primates, p. 557-584. In: Primate Ecology (T .H. Clutton-Brock ed.). Academic Press, London.
Collette, B. B. 1983. Mangrove fishes of New Guinea, p. 91-102. In: Taskes For Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 8 Dr. W. Junk Publisher, The Hague.
Curtin, S. H. 1976. Niche separation in sympatric Malaysian leaf monkeys (Presbytis obscura and Presbytis melalophos). Yearbook of Physical Anthropology 20: 421-439.
Curtin, S. H. and D. J. Chivers. 1979. Leaf eating primate of Peninsular Malaysia, the siamang and the dusky leaf monkey, p. 441-464. In: The Ecology of Arboreal Folivores (D. J. Chivers ed.). Smithsonian Institution Press, Washington, D.C.
Curtin, S. H. 1980. Dusky and banded leaf monkeys, p. 107-145. In: Malayan Forest Primates (D. J. Chivers ed.). Plenum Press, London.
Curran, L. M., S. N. Trigg, A. K. McDonald, D. Astini, Y. M. Hardiono, P. Siregar, T. Caniago, E. Kasischke. 2004. Lowland Forest Loss in Protected areas of Indonesian Borneo. Science 303: 1000-1003.
Darnaedi, D. dan A. Budiman. 1982. Analisis vegetasi hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah, p. 162-170. Dalam: Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden. MAB-LIPI, Jakarta.
Darsidi, A. 1984. Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia p. 19-28, Dalam: Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden. MAB-LIPI, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2005. Data Strategis Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006.Jakarta.
Diamond, J. M. 1975. The island dilemma: Lessons of modern biogeographic studies for the design of nature reserve. Biol. Conserv. 7: 127-145.
Dingwall, P. R. 1984. Overcoming problems in the management of New Zealand mangrove forest, p. 97-106. In: Physiology and Managemant of Mangroves (H.J. Teas ed.). Dr. W. Junk Publishers, The Hague.
Durand, M. and R. Kawashima. 1980. Infuence of minerals in rumen microbial digestion, p. 375-408. In:Digestive Physiology and Metabolism in Ruminant (Y. Ruckebusch and P. Thivend eds.) MTP Press Limited, Lancaster, England.
Field, C. D., B. G. Hinwood dan I. Sterenson. 1984. Structural features of the salt gland of Aegiceras, p. 37-42. In:Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 9. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Fleagle, J. G. 1980. Locomotion and posture p. 191-207. In:Malayan Forest Primates (D.J. Chivers, ed.) Plenum Press, New York.
Freeland, W. J. 1976. Pathogens and the evolution of primate sociality. Biotropica 8 (I) : 12-24.
Ganzhom, J. U. 1984. The influence of plant chemistry on food selection by Lemur calta and Lemur fulvus, p. 21-29. In: Primate Ecology (J.G. Else and P.C. Lee ed.) vol. 2. Cambridge Univ. Press. London.
Ganzhom, J. U., J. P. Abraham, M. Razanahoera. 1985. Some aspects of the natural history and food selection of Avahi laniger. Primates, 26 (4) : 542-463.
Galdikas, B. M. F. 1985. Crocodile predation on proboscis monkey in Borneo. Primates 26 (4): 495-496.
Gittins, S. P. and J. J. Raemakers . 1980. Siamang, lar and agile gibbons, p. 63-106. In:Malayan Forest Primates (D.J. Chiversed.). Plenum Press, New York.