Kamis, 14 Maret 2013

OSTEODISTROFI GINJAL


Pendahuluan
Osteodistrofi ginjal merupakan komplikasi yang terjadi pada stadium dini pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Gejala klinik osteodistrofi ginjal beragam dan sangat mengganggu pasien seperti nyeri tulang, periarthritis, nyeri sendi, fraktur dan deformitas tulang, kista tulang, osteopenia, miopati, pruritus, kalsifikasi ekstraskeletal, rupture tendon dan gagal tumbuh pada anak. Pada pasien yang sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir umumnya sudah terdapat kelainan histologik jaringan tulang. Hampir semua pasien yang sudah menjalani dialisis mengidap osteodistrofi ginjal, yang secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme kalsium, fosfor, hormon paratiroid, dan vitamin D.
Meskipun terdapat kenyataan bahwa osteodistrofi ginjal menimbulkan masalah pada hampir semua pasien dialisis, masalah ini sering tidak dikelola secara baik. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya masalah mendesak lain pada pasien dialisis yang memerlukan prioritas penanganan, yang mengakibatkan terlupakannya penanganan masalah osteodistrofi ginjal yang berkembang secara perlahan-lahan. Walaupun demikian, penanganan masalah osteodistrofi ginjal seharusnya dilakukan secara dini untuk mencegah masalah pada tulang, nyeri tulang dan komplikasi lain yang dapat terjadi kemudian. Penanganan jangka panjang osteodistrofi ginjal pada pasien gagal ginjal sebenarnya merupakan tantangan bagi ahli penyakit ginjal.

Epidemiologi
Dengan makin meningkatnya jumlah populasi yang berusia lanjut, insidens gagal ginjal kronik dengan berbagai komplikasinya akan makin meningkat. Pada tahun 1988, di Amerika Serikat hampir 40% pasien baru gagal ginjal tahap akhir berusia di atas 64 tahun. Sebagian besar dari 170.000 pasien gagal ginjal tahap akhir di Amerika Serikat mengalami hiperparatiroidisme sekunder. Biopsi tulang pada pasien tersebut sudah menunjukkan kelainan patologi tulang.
Pada biopsi tulang Malluche dkk, mendapatkan selain gangguan pembentukan tulang juga terdapat resorpsi tulang, bahkan pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus masih sekitar 80 ml/menit. Osteoid yang bertambah secara bermakna dengan menurunnya fungsi ginjal menunjukkan terdapatnya proses yang progresif.

Patofisiologi
Patofisiologi osteodistrofi ginjal sebenarnya berkaitan dengan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, seperti terlihat pada gambar 1.

Kerusakan ginjal progresif


Laju filtrasi glomerulus menurun                                Massa sel korteks ginjal menurun


Retensi fosfat ginjal


Hiperfosfatemia


Kalsium Plasma menurun                                            1,25-dihidroksi vitamin D menurun


Hiperparatiroidisme Sekunder


Osteodistrofi ginjal


Gambar 1. Patofisiologi Osteodistrofi Ginjal

Akibat penurunan fungsi ginjal akan terjadi reternsi fosfat sehingga kadar fosfat serum meningkat. Kadar kalsium serum menurun karena terdapat keseimbangan antara kadar kalsium dan fosfat dalam serum, dan presipitasi kalsium fosfat.
Kadar kalsitriol menurun karena peningkatan kadar fosfat serum (menekan sintesis kalsitriol ginjal) dan pengurangan massa ginjal. Penurunan kalsitriol serum akan memperberat hipokalsemia karena absorpsi kalsium oleh usus distimulasi oleh kalsitriol. Kadar kalsium dan kalsitriol yang rendah akan menstimulasi produksi hormon paratiroid dan proliferasi sel kelenjar paratiroid. Pada individu normal peninggian kadar hormon paratiroid akan memobilisasi kalsium tulang untuk memelihara kadar normal kalsium serum. Mekanisme ini terjadi juga pada pasien gagal ginjal, tetapi keadaan uremia menyebabkan tulang menjadi kurang sensitif terhadap hormon paratiroid. Resistensi tulang terhadap hormon paratiroid pada keadaan uremia ini akan memperberat hiperparatiroidisme.

Klasifikasi
Klasifikasi osteodistrofi ginjal dilakukan berdasarkan pengukuran parameter statis dan dinamis, seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Lesi Tulang pada Osteodistrofi Ginjal
      A.    Lesi high turnover
1.      Hiperparatiroidisme ringan
2.      Hiperparatiroidisme berat
      B.     Lesi low turnover
1.      Adinamik
a.       Disebabkan oleh aluminium
b.      Disebabkan oleh hipoparatiroidisme
2.      Osteomalasia
      C.     Osteodistrofi uremik campuran
      D.    Osteoartropati dialisis

A.    Lesi Tulang High Turnover
Osteitis fibrosa sistika didapatkan pada pasien dengan hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Peninggian hormon paratiroid meningkatkan jumlah osteoklas dan osteoblas serta aktivitas remodeling jaringan tulang yang mengakibatkan deposisi jaringan fibrosa di dalam ruang sumsum tulang (fibrosis peritrabekular) dan resorpsi. Massa tulang berkurang karena kecepatan resorpsi melebihi kecepatan pembentukan tulang.
Pada hiperparatiroidisme ringan turnover tulang meningkat tetapi fibrosis peritrabekular masih minimal.
B.     Lesi Tulang Low Turnover
1.      Lesi Tulang Adinamik
Selain disebabkan oleh akumulasi aluminium dalam tulang juga dapat disebabkan oleh hipoparatiroidisme yang ditandai dengan aktivitas remodeling jaringan tulang yang menurun, defek mineralisasi, dan penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas.
2.      Osteomalasia
Defek mineralisasi tulang mengakibatkan peningkatan relatif jumlah osteoid (matriks tulang tanpa mineral) yang disertai peningkatan jumlah osteoblas. Sejak dipergunakan sistem water treatment untuk hemodialisis yang efektif dan ditinggalkannya pemakaian obat pengikat fosfat yang mengandung aluminium, osteomalasia tidak banyak lagi dijumpai pada pasien hemodialisis. Osteomalasia ini masih didapatkan pada pasien uremia dengan gangguan sintesis kalsitriol ginjal atau defisiensi vitamin D yang berat dan berlangsung lama.
C.     Osteodistrofi Uremik Campuran
Pada sebagian pasien gagal ginjal kronik dapat dijumpai lesi campuran yaitu terdapat gambaran osteitis fibrosa dan osteomalasia. Pada biopsi tulang lesi campuran ini dijumpai pada kurang dari 20% pasien hemodialisis dan kurang dari 25% pasien dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan. Lesi campuran ini kemungkinan disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar paratiroid dan defisiensi vitamin D.
D.    Osteoartropati Dialisis
Amiloidosis yang dijumpai pada pasien dialisis, yang terdiri dari serat amiloid β2-mikroglobulin, merupakan komplikasi lain yang belum lama ini dilaporkan terjadi pada jaringan sendi dan tulang. Meskipun serat amiloid β2-mikroglobulin mungkin sudah terdapat pada fase pradialisis gagal ginjal terminal, faktor yang terkait dengan prosedur dialisis seperti membran dialisis, lama dialisis, dan umur pada saat mulai dialisis berpengaruh terhadap patogenesis dan progresi lesi tulang ini.

Diagnosis
Diagnosis umumnya berdasarkan hasil pengkajian data klinik, biokimia darah, radiologi, skintigrafi, tomodensitometri, dan/atau MRI. Tes desferoksamin dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami intoksikasi aluminium. Pada sebagian besar pasien diagnosis pasti jenis osteopati ditegakkan dengan pemeriksaan patologi jaringan biopsi tulang.

Penatalaksanaan Sebelum Menjalani Dialisis
Penatalaksanaan osteodistrofi ginjal yang optimal adalah dengan melakukan pencegahan, yang sebaiknya dilaksanakan jauh sebelum dimulai dialisis, yaitu dengan cara menghambat terjadinya hiperparatiroidisme.
Penghambatan hiperparatiroidisme dilakukan dengan cara mengatasi penyebab peningkatan hormon paratiroid seperti hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan kadar kalsitriol darah yang rendah. Bila sudah mulai terjadi azotemia restriksi fosfat sangat penting karena dapat meningkatkan produksi kalsitriol oleh jaringan ginjal dan memperlambat progresi gagal ginjal dengan cara menurunkan hasil kali kalsium dan fosfat darah. Bila dengan diet rendah fosfat masih terjadi hiperfosfatemia, perlu diberikan obat pengikat fosfat. Kalsium asetat dan kalsium karbonat adalah obat yang sering dipakai, meskipun garam aluminium masih dapat diberikan karena aluminium akan dikeluarkan oleh ginjal.
Bila dengan cara pengobatan tersebut diatas masih terdapat hipokalsemia dapat ditambahkan kalsitriol. Pertama kali diberikan dosis minimal dan bila perlu dosis dapat dinaikkan secara perlahan, yaitu tidak lebih dari setiap dua bulan. Kalsitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat sehingga memerlukan pengawasan kadar kalsium dan fosfat secara ketat, dan bila terjadi kenaikan dilakukan penyesuaian dosis kalsitriol. Deposisi kalsium dalam jaringan ginjal dapat terjadi bila hasil kali kadar kalsium dan fosfat dalam darah berlebihan, dan keadaan ini akan mempercepat progresi gagal ginjal. Dengan obat pengikat fosfat dan kalsitriol tersebut di atas kadar fosfat dipertahankan normal (3,5-5,5 mg/dl) dan demikian juga halnya dengan kadar kalsium total (9,0-10,5 mg/dl).
Kedua obat ini diperlukan untuk menurunkan kadar parathormon sehingga untuk menilai keberhasilan pengobatan diperlukan pemeriksaan kadar parathormon. Oleh karena pada uremia terjadi resistensi terhadap parathormon, kadar parathormon intact dua sampai tiga kali batas atas nilai normal sudah cukup untuk memberikan hasil pengobatan yang baik terhadap tulang.

Penatalaksanaan Sesudah Menjalani Dialisis
Penatalaksanaan osteodistrofi ginjal sesudah menjalani dialisis pada dasarnya tidak berbeda dengan pada waktu sebelum dialisis, hanya pada pasien dialisis perhatian terhadap nilai hasil kali kadar kalsium dan fosfat dalam darah tidak seketat seperti sebelum dialisis. Pengendalian kadar fosfat dalam darah tetap merupakan dasar pengobatan. Sebagian kecil pasien dialisis dapat mengatasi hiperfosfatemia dengan cara hanya diet rendah fosfat. Sebagian besar pasien memerlukan obat pengikat fosfat yaitu kalsium asetat atau karbonat untuk bisa mempertahankan kadar fosfat dalam darah kurang dari 6,0 mg/dl.
Sebagian besar pasien juga membutuhkan kalsitriol untuk dapat menghambat hiperparatiroidisme. Terdapat tiga regimen yang berbeda untuk terapi kalsitriol. Terapi kalsitriol konvensional adalah dengan memberikan kalsitriol setiap hari untuk mempertahankan kadar kalsium darah antara 10,0 dan 11,5 mg/dl. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa dengan cara pulse dosing, secara intravena atau oral (tiga kali 1-3 mcg setiap minggu), dapat lebih mudah menghambat hiperparatiroidisme dan dapat mengurangi risiko terjadinya hiperkalsemia. Tujuan pemberian kalsitriol adalah untuk menekan kadar parathormon intact sampai dengan sekitar 2,5 kali batas atas nilai normal.
Pengobatan spesifik terhadap amiloidosis β2-mikroglobulin belum diketahui. Pencegahan dapat dilakukan dengan mempergunakan membran dialisis yang biocompatible dan highly permeable.

Kesimpulan
Pasien gagal ginjal kronik dapat mengalami kelainan tulang berupa osteitis fibrosa, osteomalasia, lesi campuran, atau lesi tulang adinamik. Belum lama ini dilaporkan osteoartropati dialisis yang disebabkan oleh amiloidosis β2-mikroglobulin, yaitu kelainan tulang pada pasien yang sudah lama menjalani dialisis.
Pengendalian hiperfosfatemia sangat penting dalam penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik untuk mengatasi hiperparatiroidisme sekunder. Langkah pertama adalah dengan pembatasan fosfat dalam makanan dan bila perlu ditambahkan garam kalsium pengikat fosfat. Pemberian kalsitriol dapat menghambat terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.




DAFTAR PUSTAKA

Coburn JW, Slatopolsky E. Vitamin D, Parathyroid Hormone, and The Renal Osteodystrophies. Dalam: Brenner BM, Rector FC eds. The Kidney. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991: 2036-120.
Malluche HH, Faugere MC. Effects of 1,25(OH)2D3 Administration on Bone in Patients with Renal Failure. Kidney Int 1990; 29 (Suppl): S48-S53.
Malluche HH, Ritz E, Lange HP, et al. Bone Histology in Incipient and Advanced Renal Failure. Kidney Int 1976; 9: 355-62.
Susalit E. Pengendalian Fosfat pada Gagal Ginjal Kronik. Dalam Makalah Kongres Nasional Pernefri. Medan, 1995.
Delmez JA, Slatopolsky E. Secondary Hiperparathyroidism is Best Treated By “Pulse” Calcitriol. Semin Dial 1993; 6: 208-14.
Sherrard DJ, Hercz G, Maloney NA, et al. The Spectrum of Bone Disease in End-Stage Renal Failure-an Evolving Disorder. Kidney Int 1993; 43: 436-42.
Drueke TB. Beta-2-Microglobulin Amyloidosis and Renal Bone Disease. Miner Electrolyte Metab 1991; 17: 261-72.
Malluche HH, Faugere MC. Renal Bone Disease 1990: an Unmet Challenge for The Nephrologist. Kidney Int 1990; 38: 193-211.
Ibels LS, Alfrey AC, Haut L, Huffer WE. Preservation of Function in Experimental Renal Disease by Dietary Restriction of Phosphate. N Engl J Med 1978; 298: 122-6.
Quarles RD, Lobaugh B, Murphy G. Intact Parathyroid Hormone Overestimates The Presence and Severity of Parathyroid-Mediated Osseous Abnormalities in Uremia. J Clin Endo Metab 1992; 75: 145- 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar