Sabtu, 02 Maret 2013

BIOLOGI MOLEKULAR DALAM BIDANG ONKOLOGI MEDIK


Pendahuluan
Sekitar beberapa puluh tahun yang lalu dunia kedokteran belum dapat menjelaskan apa sebabnya sel kanker dapat berproliferasi secara ganas dan tidak terkendali. Saat ini orang telah dapat menjelaskan secara tepat dan rinci. Dunia kedokteran tidak saja dapat mengidentifikasi bagian dari kromosom yang berperan dalam proses terjadinya proliferasi tanpa kendali tadi, bahkan dapat menunjukkan adanya perubahan dan lokasi urutan nukleotid dari gen yang berperan dalam proses terjadinya kanker. Saat ini dunia kedokteran telah dapat mempelajari beberapa protein yang diproduksi gen baik dalam keadaan normal, sebelum terjadinya mutasi gen maupun setelah terjadi mutasi gen. Selanjutnya telah dipelajari fungsi dan lokasi berbagai protein yang diproduksi gen, bahkan sampai pada tahap apakah protein tadi dikeluarkan sel ke dalam cairan intraselular atau ditempatkan pada dinding sel, bahkan apakah berada dalam sitoplasma atau dalam inti sel. Walaupun demikian besar kemampuan yang dicapai selama kurun waktu yang singkat ini, namun masih teramat banyak hal yang belum selesai dipelajari. Merupakan tantangan bagi dunia kedokteran kita untuk turut terjun dan bahu-membahu dengan para peneliti di berbagai belahan dunia ini meneruskan penelitian dan mencari jawaban untuk beratus bahkan beribu pertanyaan perihal proses terjadinya kanker yang macamnya berjumlah puluhan bahkan ratusan jenis kanker pada manusia.

Peran Gen Dalam Terjadinya Keganasan
Gen merupakan unit fungsional terkecil dalam tubuh manusia. Tiap-tiap gen mengatur pembentukan sejenis protein tertentu. Protein-protein yang dikode (ditetapkan susunan asam aminonya) oleh gen ini mengatur seluruh pertumbuhan manusia. Gen diturunkan dari kedua orang tua kepada turunannya ke dalam ovum (telur) yang telah dibuahi (yang merupakan asal dari seorang manusia). Telur yang telah dibuahi ini mengandung gen-gen yang tersusun rapi dalam 2 (dua) rantai yang terdiri dari DNA. Telur yang dibuahi ini harus mengalami pembelahan berkali-kali (tak terbilang jumlahnya) untuk akhirnya dapat membentuk makhluk yang dinamakan manusia yang terdiri dari berbagai kelompok sel yang berbeda bentuk, perangai maupun fungsinya dan jumlahnya sekitar 1013 sel.
Hubungan antara virus dan kanker telah diketahui sejak cukup lama. Beberapa jenis virus dapat hidup cukup lama dalam sel manusia tanpa menghancurkan sel tersebut. Hal ini dapat terlihat dari adanya partikel dari virus tersebut dalam inti sel. Karena terdiri dari hanya beberapa gen saja (berkisar dari 5 gen sampai dengan 100 gen) sebagian dari gen virus ini acapkali dijumpai bergabung dengan gen manusia. Beberapa gen ini berkat keberadaannya diantara gen-gen normal maupun membuat sel normal tadi menjadi sel yang bersifat kanker. Beberapa dengan kanker yang terjadi bukan akibat virus, dimana perubahan beberapa di antara 50.000 sampai dengan 100.000 gen sampai dengan terjadinya kanker memerlukan waktu bertahun-tahun. Tetapi pada binatang percobaan virus dapat membuat sel normal menjadi sel kanker hanya beberapa hari saja.
Virus kanker dapat ditemukan pada semua jenis binatang golongan vertebrata. Dengan hanya memiliki beberapa gen saja yang berkisar dari 5 sampai dengan 100 virus-virus ini ternyata dapat merubah sel normal menjadi sel kanker dalam beberapa hari saja. Virus penyebab kanker yang terpenting adalah golongan virus yang gennya terdiri dari RNA. Di samping virus retro terdapat 4 kelompok virus DNA yang dapat merubah sel normal menjadi sel kanker yaitu: 1. Virus Polioma; 2. Virus Papiloma; 3. Virus Adenoma; dan 4. Virus Herpes. Di antara berbagai virus penyebab kanker yang paling banyak diteliti adalah virus retro dan virus polioma. Hal ini selain karena virus-virus tersebut termasuk virus yang memiliki jumlah gen yang terkecil juga karena beberapa gen yang dimilikinya mempunyai kemampuan untuk merubah sel normal menjadi sel kanker pada binatang percobaan. Gen semacam ini disebut oncogene yaitu sebuah gen yang memiliki kemampuan untuk berperan penting dalam kehidupan sebuah sel dan membantu proses perubahan sel normal menjadi sel kanker.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sel normal memiliki sekurangnya satu gen yang dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi oncogen. Gen semacam ini sebenarnya termasuk gen normal namun karena memiliki sifat gen onko yang laten disebut sebagai proto-oncogene. Proto-oncogene adalah gen yang apabila mengalami mutasi memiliki peran fungsional dalam proses terjadinya kanker. Salah satu faktor yang dapat merubah proto-oncogene sehingga sel yang terkait berubah menjadi sel kanker adalah translokasi kromosom. Sebagai contoh kita lihat penyakit leukemia granulositik menahun. Pada masa lalu penelitian dapat membuktikan adanya translokasi kromosom 9 ke kromosom 22 pada pasien leukemia granulositik menahun. Translokasi ini sangat spesifik pada penyakit ini. Bentuk baru kromosom 22 yang terjadi akibat translokasi ini dinamakan kromosom Philadephia.
Setelah manusia mampu melakukan mapping gen pada kromosom normal, para peneliti dapat membuktikan kromosom Philadephia terjadi karena adanya fusi antara gen abl kromosom 9 bcr dengan gen berkromosom 22. Penelitian mengenai urutan DNA pada kromosom Philadephia menunjukkan pula bahwa gen abl yang berfusi ke kromosom 22 tidak memiliki segmen pertama dari urutan DNA gen abl yang normal. Leukemia granulositik menahun baru terjadi apabila translokasi kromosom 9 dan 22 terjadi tepat pada lokasi yang sama dan dalam keadaan gen abl yang sama pula yaitu tanpa segmen pertamanya.
Penelitian menunjukkan bahwa protein yang dibentuk gen bcr pada pasien leukemia granulositik menahun, berbeda dengan protein yang dibentuk gen bcr pada orang normal. Hal ini menunjukkan adanya fusi antara gen bcr dengan “sebagian” dari gen abl. Fusi ini menghasilkan gen hybrid yang baru (bcr-abl) yang selanjutnya mengkode sejenis protein hybrid yang baru pula yang memiliki kekuatan proliferasi sel yang tinggi yang berperan penting dalam proses terjadinya penyakit leukemia granulositik menahun.
Selain masuknya oncogene virus dan translokasi kromosom, proses terjadinya kanker dapat pula diakibatkan oleh hal lain. Salah satu kelainan kromosom yang dapat menyebabkan terjadinya kanker adalah gangguan dalam proses duplikasi kromosom. Dalam hal ini suatu gen yang dalam keadaan normal terdapat sepasang dalam satu sel (2 kopi) karena sesuatu sebab jumlahnya berlipat menjadi sepuluh, bahkan kadang-kadang menjadi 100 kali lebih. Keadaan ini mudah dilihat dengan mikroskop biasa pada saat pemeriksaan kromosom. Pertama bagian kromosom yang berlipat ganda tersebut melekat semua pada kromosomnya. Disini kromosom yang terkait akan tampak mewarnai sehingga dapat terlihat seolah-olah sebagai suatu gumpalan. Kemungkinan yang kedua adalah bahwa gen yang berlipat ganda tadi melepaskan diri dari kromosom yang terkait. Disini gen berlipat ganda akan terlihat sebagai partikel-partikel DNA yang jumlahnya beratus-ratus dalam satu sel.

Protein Oncogenes
Data di atas telah menunjukkan bahwa perubahan pada oncogenes mengakibatkan perubahan pada protein oncogenes. Perubahan ini dapat berupa perubahan bentuk protein yang ditentukan susunannya oleh oncogenes atau perubahan dalam jumlahnya saja. Dengan demikian perlu diingat bahwa protein oncogene-lah yang melakukan tugas sel normal menjadi sel kanker. Karena itu untuk mengetahui proses terjadinya kanker perlu diketahui bentuk dan aktivitas biokimiawi dari protein proto-oncogenes dalam keadaan normal dan dalam keadaan penyakit kanker. Salah satu penelitian yaitu penelitian mengenai protein yang diproduksi (dengan kode dari) oncogene rsc pada binatang percobaan yang menderita kanker akibat virus RSV. Penelitian mengekstrasi protein gen rsc dengan antibodi anti-rsc yang dilakukan dengan zat radioaktif, dapat menunjukkan bahwa protein oncogene-rsc mempunyai aktivitas sebagai suatu enzim protein. Enzim ini dapat mengambil gugus fosfat dari ATP protein target. Yang menarik dan penting diketahui adalah beberapa jenis protein yang dapat menjadi protein target dari enzim ini dan kemudian lagi beberapa besar dampak perubahan pada berbagai protein target tadi terhadap kesehatan si sakit, gejala-gejala apa saja yang dapat terjadi akibat perubahan satu jenis oncogene. Perlu diketahui bahwa pada kanker dapat terjadi perubahan pada beberapa gen sehingga dapat dibayangkan berapa jenis zat biokimia yang berada abnormal dalam tubuh pasien kanker.
Protein oncogenes ini dapat berada di dalam cairan intraselular sehingga dapat menyampaikan informasi ke sel yang lain, dapat pula berada dalam inti sel, dalam sitoplasma maupun pada dinding sel.
Keberadaan protein oncogene pada dinding sel biasanya berfungsi sebagai reseptor untuk penerima informasi-informasi dari luar sel. Pada sel kanker reseptor-reseptor ini dapat berfungsi sebagai reseptor faktor pertumbuhan (growth factor). Meningkatnya jumlah reseptor growth factor pada dinding sel berperan penting terhadap terjadinya sifat sel kanker yang pertama yaitu tingkat proliferasinya yang amat tinggi. Beberapa oncogenes langsung mengkode pembentukan faktor pertumbuhan (growth factor). Faktor pertumbuhan yang dibentuk sebuah sel dapat berfungsi merangsang proliferasi sel itu sendiri atau berfungsi merangsang proliferasi sel lain, misalnya sel endotel pembuluh darah membuat growth factor yang merangsang proliferasi sel dari sistem granulosit. Sebagai contoh lain kita lihat protein yang dibentuk oleh oncogenes ras. Pada sel kanker acapkali terjadi bahwa oncogenes yang terkait memproduksi faktor pertumbuhan yang merangsang proliferasi sel kanker itu sendiri (sel yang memproduksi faktor pertumbuhan tersebut). Keadaan semacam ini dinamakan otostimulasi atau otokrin.
Di samping protein-protein yang telah dikemukakan di atas sel kanker dapat mengeluarkan berbagai protein lain. Sebagai contoh adalah protein yang dikeluarkan oleh sel kanker yang bermetastasis di tulang yaitu TGF-α, TGF-β, Pro Ca-thepsin D, OAF. Protein-protein ini mempunyai sifat merangsang osteolisis oleh sel osteoklas. Akibatnya terjadi osteoporosis baik pada tempat metastasis maupun pada bagian-bagian tulang dimana tidak ada metastasis. Belum lagi terbentuknya berbagai protein oleh sel sistem imun tubuh manusia sebagai reaksi terhadap adanya sel abnormal (sel kanker). Sitokin yang diproduksi oleh sistem imun tersebut menyebabkan berbagai rantai reaksi yang kemudian mengakibatkan dikeluarkannya sitokin lain oleh sel imun yang lain. Protein yang dibentuk sel-sel dari sistem imun kita sebagai reaksi adanya sel kanker antara lain adalah TNF (Tumor Necrotizing Factor), interferon, interleukin, dan lain-lain. Kehadiran masing-masing protein imunologis ini menimbulkan berbagai gejala, sebagai contoh kadar TNF yang tinggi dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh manusia yaitu: 1. Peningkatan metabolisme tubuh; 2. Peningkatan produksi glukosa; 3. Peningkatan pemecahan protein (proteolisis); 4. Peningkatan pemecahan lemak/lipolisis.

Gen Supresor Tumor
Seperti telah dikemukakan sebelumnya oncogenes mengkode produksi berbagai protein oncogene yang merangsang transformasi sel normal menjadi sel kanker. Hal ini terjadi dengan cara mengaktifkan berbagai reaksi biokimia yang bertujuan menyebabkan sel bermitosis. Berbagai protein oncogene ini ada yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth factor). Ada yang berfungsi sebagai reseptor yang menerima isyarat dari berbagai protein stimulator pertumbuhan sel, ada yang berfungsi meneruskan informasi yang diterima reseptor untuk diteruskan pada gen, ada yang berfungsi memudahkan proses metastasis, dan sebagainya. Di samping sistem yang merangsang proliferasi sel dalam tubuh kita terdapat pula suatu sistem (mulai dari gen sampai dengan berbagai protein yang terkait) yang menghambat proliferasi sel. Dengan cara inilah tubuh kita mengatur pertumbuhan berbagai sel dalam tubuh manusia. Pengaturan ini tentu saja bertujuan agar berbagai organ dalam tubuh manusia ini dapat berfungsi tepat guna dan berhasil guna.
Gen-gen yang berperan dalam proses menghambat proliferasi sel dinamakan gen supresor (suppressor genes atau anti-oncogenes). Peran gen supresor ini dalam proses terjadinya kanker cukup penting karena apabila gen supresor tidak berfungsi maka proliferasi sel menjadi tidak terkendali dan hal ini tentu saja dapat turut menunjang terjadinya kanker. Berbagai penelitian kemudian dapat menunjukkan bahwa kedua sistem ini yaitu sistem oncogene dan sistem gen supresor keduanya bersama-sama berperan dalam seorang pasien kanker. Jadi pada pasien tersebut terjadi hiperaktivitas sistem oncogene bersamaan dengan penurunan atau hilangnya fungsi gen supresor.
Gen supresor yang pertama-tama ditemukan fungsinya adalah gen supresor pada pasien penyakit retinoblastoma. Dalam penelitiannya, para pakar sitogenetik menemukan keadaan dimana satu bagian tertentu (q14) yang seharusnya ditemukan pada lengan panjang kromosom 13 acapkali hilang. Gen ini kemudian dinamakan gen Rb. Isolasi gen Rb dari sel normal dan kemudian memindahkannya pada mikroorganisme menghasilkan mikroorganisme yang memproduksi protein gen Rb ini (gen supresor). Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa protein gen supresor Rb ini memang mempunyai kemajuan menghambat proliferasi sel. Gen Rb adalah gen supresor manusia yang pertama ditemukan orang, setelah itu para peneliti sitogenetik dapat menemukan gen-gen supresor lainnya.
Gen supresor yang sering ditemukan abnormalitasnya pada pasien kanker adalah p53. Protein gen supresor p53 ini berbeda dengan protein gen supresor lain karena bentuk protein ini adalah bentuk tetramer dimana empat atau lebih protein gen p53 ini bersatu membentuk protein yang berfungsi aktif dari protein ini. Karena itu proliferasi yang ganas tidak perlu diikuti oleh hilangnya gen ini karena cukup dengan adanya perubahan susunan gen yang dapat mengakibatkan kelainan pada salah satu dari empat protein yang bergabung jadi protein aktif tadi. Penelitian menunjukkan bahwa abnormalitas protein gen supresor p53 seringkali menyertai berbagai jenis kanker. Disamping itu beberapa penelitian menunjukkan tanda-tanda bahwa pasien kanker dengan protein gen supresor p53 yang abnormal lebih buruk prognosisnya.

Peranan Pemeriksaan Biologi Molekular Dalam Diagnosis Kanker
Diagnosis dini atau diagnosis keadaan pra-kanker amat besar manfaatnya pada pasien atau mereka yang berisiko tinggi untuk menderita kanker. Pada keadaan dini jumlah sel yang abnormal ini masih sedikit dan biasanya sel-sel kanker tersebut belum bermetastasis ke organ lain bahkan bila cukup dini belum menginfiltrasi jaringan dimana ia ditemukan. Pada stadium ini pasien masih dapat disembuhkan dengan cara operasi, radiasi atau operasi yang diikuti dengan radiasi. Keadaan semacam ini dapat dicapai apabila pada mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk menderita sejenis kanker (misalnya retinoblastoma familial), dilakukan pemantauan dan pemeriksaan secara teratur, atau apabila pemeriksaan keadaan pra kanker dapat dilakukan (misalnya tes PAP pada wanita). Sayang sekali pada sejumlah besar kanker diagnosis dini tidak dapat dilaksanakan karena belum ada pemeriksaan yang sesuai (misalnya kanker otak). Akibatnya pasien datang saat sudah ada gejala klinis dimana jumlah sel kanker yang ada sudah mencapai sekitar 1010 (sepuluh ribu juta).
Teknik reaksi rantai polymerase (polymerase chain reaction = PCR) dapat mendeteksi adanya mutasi dalam gen (DNA) sebuah sel. Saat ini manusia telah dapat mendeteksi beberapa jenis mutasi proto-oncogene dan gen supresor tumor. Walaupun demikian penerapan teknik ini tidak selalu mampu laksana di dalam klinik. Masalahnya adalah adanya kesulitan mengambil sampel jaringan dari berbagai organ dalam tubuh manusia. Salah satu cara yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan ini dikemudian hari adalah apabila kita dapat mendeteksi sel-sel abnormal tadi dalam materi yang diekskresikan organ-organ tersebut, sebagai contoh adalah tinja (kolon), dahak (paru), air seni (ginjal, kandung kemih, prostat). Beberapa peneliti telah melaporkan menemukan gen ras abnormal dalam tinja pasien kanker kolon.
Berbagai kemajuan di bidang bioteknologi telah menghasilkan alat diagnostik lain pada leukemia akut. Walaupun dasar diagnosis saat ini adalah morfologi dan sitokimia, diagnosis molekular penting untuk klasifikasi dan pemantauan leukemia akut (misalnya Minimal Residual Disease). Kemajuan di dalam immunofenotyping telah memungkinkan kita mengetahui karakteristik dari komponen permukaan sel leukemia.
Ada 3 teknik analisis molekular yang saat ini digunakan untuk mendiagnosis dan pemantauan leukemia akut, yakni:
-          Southern blot analisis
-          PCR (Polymerase Chain Reaction)
-          FISH (Fouroscent In Situ Hybridization)
Southern Blot Analisis merupakan metode yang pertama kali dan banyak dipergunakan di antara ke 3 cara di atas, walaupun kurang sensitif. Metode PCR lebih sensitif daripada Southern Blot Analisis yang dilakukan dengan cara mengamplifikasi segment kecil DNA dengan denaturasi, primer anrealing dan memperpanjang rantai berulang-ulang dengan menggunakan enzim DNA polymerase yang tahan panas. Sementara itu metode FISH cukup sensitif untuk mendeteksi asam nukleat spesifik pada metafase dan interfase kromosom. Ada 3 langkah dalam metode FISH ini yaitu: denaturasi DNA, hibridiasi, dan inkubasi dengan avidin fluorescent untuk deteksi flouresensinya.
Pada limfoma folikular hampir sebagian besar (± 85%) dijumpai adanya translokasi resiprokal t (14;18) (q32;q21), karena sebelumnya tidak diketahui pemetaan c-oncogene pada titik-belah ini, dan juga karena merupakan tempat/locus immunoglobulin heavy-chain seperti pada (8;14) dari limfoma Burkitt, ini memberikan tempat baru untuk cloning c-oncogene yang baru. Kenyataannya, cloning dari pecahan titik-belah kromosom 14 telah dikenal sebagai suatu elemen transkripsi yang baru yang dipetakan pada 18q21 dan telah ditetapkan sebagai bcl-2. bcl-2 telah diketahui amat terekspresi pada limfoma yang memiliki t (14;18). Translokasi t (11;14) acapkali dijumpai pada limfoma sentrositik, tetapi juga ditemui pada tipe limfoma sel-B yang lain dan leukemia. Lokus tersebut dinamakan sebagai bcl-1. Ternyata lokus bcl-1 juga didapatkan pada kebanyakan adenokarsinoma payudara, dan kanker sel skuamosa dari daerah kepala dan leher.
Pada limfoma sel T, sebagaimana pada limfoma sel-B gen-gen immunoglobulin seringkali terlibat dalam translokasi resiprokal kromosom, maka translokasi kromosom pada limfoma sel-T seringkali melibatkan 14q11, dari lokasi reseptor sel-T lokus alfa dan delta (TCR-α/δ). Sedangkan yang agak jarang ialah translokasi pada 7q35 dan 7q15, suatu lokasi dari TCR-β dan TCR-γ. Analogi antara keterlibatan gen immunoglobulin pada limfoma sel-B dan implikasi dari gen TCR pada limfoma sel-T hampir nyata terlihat. Terbentuknya gen-gen TCR secara bersamaan, dimulai ketika diferensiasi sel, dan diekspresikan pada jaringan yang spesifik. Seperti juga pada limfoma sel-B, dianggap deregulasi atau aktivasi proto-oncogene oleh translokasi kromosom pada limfoma sel-T disebabkan oleh juxta position dari elemen aktif TCR cis. Sifat herediter dari retinoblastoma juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan biologi molekular.
Bukti molekular yang menyokong hipotesis dua pukulan, dilakukan berdasarkan atas analisis hilangnya heterozigositas.
Hilangnya heterozigositas berdasarkan hipotesis: Jika individu mempunyai alat resesif gen supresor tumor yang diturunkan (Rb1) (terkena pukulan pertama), untuk berkembang menjadi tumor harus kehilangan gen (kehilangan fungsi gen) supresor, berarti terkena pukulan kedua.
Dengan teknik Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) penyelidikan dilakukan terhadap keluarga yang ada anggota yang terkena retinoblastoma. Enzim restriksi dapat mengenal urutan DNA secara spesifik dan memotong pada tempat tertentu tersebut. Mutasi dari gen akan menghasilkan urutan dan panjang DNA yang berbeda dari urutan DNA normal. Dari hasil cernaan enzim tersebut akan menghasilkan potongan DNA yang berbeda dan bila dilakukan elektroforesa DNA akan menghasilkan dua pita untuk heterozigot dan satu pita untuk homozigot.
Hasil produksi Gen Rb1 adalah fosfoprotein nucleus, yang terekspresikan secara luas di dalam jaringan tubuh manusia. Protein ini ternyata memang mempunyai fungsi menghambat proliferasi pada fase tertentu dari siklus sel. Pasien retinoblastoma dengan mutasi konstitusional pada lokus Rb1, mempunyai kecenderungan mendapat kanker primer kedua, dengan insiden sekitar 15%. Hal ini mengarah ke studi lebih lanjut bahwa kehilangan fungsi Rb1 merupakan faktor penting untuk terjadinya kanker sekunder seperti osteosarkoma, sarcoma jaringan lunak, karsinoma paru jenis sel kecil, kanker ovarium serta kanker payudara. Dengan demikian studi mengenai retinoblastoma menjadi perhatian banyak peneliti bukan hanya studi mengenai kanker yang jarang saja, dan membutuhkan pengetahuan genetika, sitogenetik, biologi molekular serta bioteknologi.
Pada kanker payudara, beberapa onkogen yang telah dikenal antara lain: ERBB2, HRAS, MYC, WNT2. ERBB2 adalah protein anggota dari keluarga tirosin kinase yang merupakan reseptor faktor pertumbuhan. Amplifikasi ERBB2 ditemukan 21% pada specimen kanker payudara. Tumor payudara mempunyai kemampuan untuk membuat faktor pertumbuhan yang merangsang pertumbuhannya sendiri dalam bentuk autocrine  seperti alpha transforming growth factor dan insulin growth factor atau berefek kepada jaringan atau invasif tumor. Sintesis dan sekresi beberapa faktor pertumbuhan ini diatur oleh estrogen.
Penemuan yang terbaru dalam bidang biologi molekular adalah gen BRCA1 dan BRCA2. Mutasi pada gen BRCA1 sering ditemukan pada wanita dengan riwayat keluarga yang menderita kanker payudara dan ovarium. Pada wanita dengan mutasi BRCA2, risiko untuk mendapat kanker payudara bisa mencapai 90%. Delesi 2 base pair (bp) adenine dan guanine pada posisi 185 dalam codon 23 dari exon 2 (185 del AG) merupakan mutasi yang tersering pada BRCA1. Mutasi 185 del AG ditemukan pada 19-21% pasien kanker payudara. Pemeriksaan BRCA1 dapat mendeteksi risiko orang yang cenderung mendapat kanker payudara di kemudian hari, pada wanita dengan riwayat keluarga yang mempunyai kanker payudara. Mengenai gen BRCA2 sampai saat ini, masih dalam penelitian, fungsinya belum diketahui dengan pasti, dan diduga sebagai kandidat gen supresor tumor.

Aplikasi Kemajuan di Bidang Molekular Dalam Pengobatan Kanker
Kemajuan biologi molekular telah mulai dimanfaatkan pula dalam pengobatan kanker. Di antara cara yang baru ini tiga yang paling banyak diteliti sampai kini yaitu:
1.      Menggunakan antibodi terhadap protein oncogene yang ada pada permukaan sel (reseptor) sebagai zat yang mengangkut zat-zat toksik (toksin, sitostatika, dll) ke tempat sel kanker tanpa merusak sel normal.
2.      Menghambat fungsi berbagai protein oncogene dengan harapan dapat menghambat jalur komunikasi yang bertujuan merangsang sel berproliferasi ganas.
3.      Mengaktifkan kembali gen supresor tumor yang menjadi non aktif selama proses terjadinya perubahan sifat sel normal menjadi sel kanker.
Perlu kiranya diketahui bahwa berbagai cara pengobatan yang baru dikemukakan tadi, pada dasarnya masih berada dalam tahap penelitian dan belum digunakan di klinik.
Saat ini para pakar telah mencoba mengikat toksin bakteri atau sitostatika pada antibodi terhadap reseptor yang berada pada permukaan sel. Dengan cara ini zat-zat yang amat toksik tadi akan diangkut hanya ke permukaan sel kanker saja dan tidak mengganggu sel-sel normal. Walaupun percobaan binatang telah menunjukkan harapan namun sitostatika yang dikaitkan pada antibodi kekuatannya menjadi berkurang, kadang-kadang demikian menurunnya sehingga hasilnya tidak memadai. Cara pengobatan seperti ini telah mulai diterapkan dalam pengobatan beberapa jenis kanker pada manusia.
Protein yang produknya dikode oleh oncogene dapat bermacam-macam fungsinya:
1.      Ada yang bersifat sebagai enzim protein (tirosinkinase).
2.      Ada yang berupa faktor pertumbuhan (growth factor).
3.      Ada yang menjadi reseptor (penerima isyarat) pada permukaan sel, dsb.
Untuk dapat menghambat fungsi protein oncogene diperlukan obat yang dapat menetralisasi fungsi protein oncogene atau proto-oncogene yang telah bermutasi, namun tidak merusak protein yang normal atau belum bermutasi.
Salah satu cara untuk mengembalikan fungsi gen supresor tumor adalah dengan mengintegrasikan gen normal yang sesuai ke dalam sel kanker dengan menggunakan virus RNA. Beberapa peneliti melaporkan hasil yang memuaskan pada percobaan binatang. Beberapa peneliti telah berhasil memasukkan gen TNF (Tumor Necrotizing Factor) ke dalam sel limfosit yang menginfiltrasi kanker (Tumor Infiltrating Limphocyte), dengan perantaraan virus retro. Sel limfosit yang telah memiliki gen baru ini kemudian disuntikkan kembali ke dalam tubuh pasien. Kemungkinan terjadinya kanker sekunder dan gangguan imunologis sebagai akibat memasukkan virus ke dalam manusia merupakan hal yang perlu mendapat perhatian sebelum menetapkan cara pengobatan ini sebagai prosedur standar.

Kesimpulan
Telah disampaikan biologi molekular dalam bidang onkologi medik ditinjau dari aspek peranan gen dalam terjadinya keganasan, peran protein oncogene dan gen supresor tumor, manfaat pemeriksaan biologi molekular dalam diagnosis, serta aplikasinya dalam pengobatan kanker. Diharapkan hal ini dapat meningkatkan minat kita untuk melakukan penelitian bidang kanker aspek biologi molekular untuk menjawab berbagai pertanyaan yang masih belum diketahui jawabannya sampai kini.




DAFTAR PUSTAKA

Reksodiputro AH. Aspek Biologi Molekular Kanker Serta Peranannya dalam Diagnosis dan Pengobatan Penderita. Orasi Ilmiah Dies Natalis UI 1995 Tingkat FKUI, 5 April 1995.
Ginsberg CH, Kagan J, Hiang JC, Stass SA. Recent Advances in The Diagnosis of Acute Leukemia. Cancer Bulletin, 1993; 45:1.
Larson RA, Sandler DP, LeBeau MM. Acute Leukemia: Biology and Treatment. In: Education Program American Society of Hematology Nashville, Tennessee, December 2-6, 1994.
Donnell TJ: Significance of The t (14;18) Translocation and bcl-2 Gene Deregulation in Non Hodgkin’s Lymphoma. Diagn. Oncol. 1994;4: 18-21.
Symmans WF, Katz RL. P53 and Non Hodgkin’s Lymphoma. Diagn. Oncol. 1994:4: 22-5.
Manual of Clinical Oncology, UICC. Fifth Edition, Introduction. 3-6.
Tannoch IA, Hill Rp. The Basis Science of Oncology, Pergamon, New York. 1987.
Harris JR, Morrow M and Bonadonna G. Cancer of The Breast. In: Cancer Principle and Practice of Oncology. De Vita V (ed). 4th Edition. Philadelphia. JB Lippincott, 1993; 1 (2): 1264-5.
Offit K, Gilewski T, Mc Guire P. et al, Germline BRCA1 185del AG Mutations in Jewish Women with Breast Cancer. Lancet, 1996; 347: 1643-5.
Wooster R, et al. Identification of The Breast Cancer Susceptibility Gene BRCA1. Cancer Update Pharmacia Asia Ltd, 1996; 2(2):1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar