Minggu, 13 Januari 2013

ASUHAN KEPERAWATAN POST KRANIOTOMI

BAB I 
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Sistem  persarafan terdiri atas otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan menggordinasikan aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls tersebut berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras. Secara langsung dan terus menerus. Perubahan potensial elektrik menghasilkan respons yang akan mentransmisikan sinyal-sinyal ( Batticaca, F., 2008 ).
Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti kontraksi otot, peristiwa viseral yang berubah dengan cepat, menerima ribuan informasi dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikannya untuk menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh. Membran sel bekerja sebagai suatu sekat pemisah yang amat efektif dan selektif antara cairan ektraselular dan cairan intraselular  antara cairan ektraselular dan cairan intraselular . Didalam ruangan ekstra selular ektraselular, disekitar neuron terdapat cairan dengan kadar ion natrium dan klorida, sedangkan dalam cairan intraselular terdapat kalium dan protein yang lebih tinggi. Perbedaan komposisi dan kadar ion-ion didalam dan diluar sel mengakibatkan timbulnya suatu potensial membran ( Syaifuddin, 2006).
Tugas pokok sistem  saraf meliputi: 1) Kontraksi otot rangka seluruh tubuh. 2) Kontraksi otot polos dalam organ internal. 3) Sekresi kelenjar eksokrin dan endokrin dalam tubuh ( Syaifuddin, 2006 ).
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian kranium(adakalanya disebut kalvaria) terdiri atas delapan tulang, dan kerangka wajah terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah ( Pearce, E., 2002 ).
Fungsi tengkorak adalah 1) Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengaran. 2) Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala. 3) Sebagai tempat penyangga gigi ( Gibson, J., 2002 ).
Otak adalah merupakan organ yang paling mengangumkan dari seluruh organ. Kita mengetahui bahwa seluruh angan-angan, keinginan dan nafsu, perencanaan dan ingatan merupakan hasil akhir dari aktifitas otak ( Muttaqin, A., 2008 ).
Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa(sekitar 3 pon). Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah bersifat konstan ( Price, S. A., 2005 ).
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu serebrum, batang otak, dan serebelum. Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang frontal, parietal, temporal dan oksipital ( Batticaca, F., 2008 ).
Dasar otak tengkorak terdiri atas tiga bagian fossa yaitu bagian fossa anterior (berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer), bagian fossa tengah (berisi lobus  parietal, temporal dan oksipital) dan bagian fossa posterior (berisi batang otak dan medula) ( Batticaca, F., 2008 ).
Cedera kepala adalah merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak ( Pierce & Borley, 2006 ).
Cedera kepala adalah satu diantara kebanyakan bahaya yang menimbulkan kematian pada manusia . Dari semua kasus cedera kepala di Amerika Serikat sekitar tahun 1985, 49% disebabkan oleh kecelakaan motor , dan jatuh  merupakan penyebab umum yang kedua. Cedera kepala paling sering ditemukan pada usia 15-24 tahun. Dan dua kali lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita ( Hudak, C. M., 2010 ).
Penyebab dari cidera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industri , kecelakaan olahraga dan luka pada persalinan. Adapun mekanisme dari cedera kepala adalah dapat diakibatkan oleh tiga tipe kekuatan yaitu: a) Perubahan bentuk tengkorak kepala. b) Percepatan dan perlambatan, dimana tengkorak kepala bergerak lebih cepat dari pada masa otak dan mengakibatkan perubahan tekanan. c) Pergerakan kepala yang menyebabkan rotasi dan distorsi dari jaringan otak. Kekuatan ini dapat menyebabkan kompresi, ketegangan dan kerusakan pada jaringan otak ( Widagdo, W., 2008 ).
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi luasnya cidera pada kepala yaitu: a) Lokasi dari tempat benturan langsung. b) Kecepatan dan energi yang dipindahkan. c) Daerah permukaan energi yang dipindahkan. d) Keadaan kepala saat benturan.  Bentuk cedera sangat bervariasi dari luka pada kulit kepala yang kecil hingga kontusio dan fraktur terbuka dengan kerusakan berat pada otak ( Widagdo, W., 2008 ).
Komplikasi yang ditakutkan pada cedera kepala adalah terjadinya hematoma subdural atau epidural, yang dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan batang otak yang berakibat fatal (Weiner, H. L., 2001).
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan keparahan, yaitu: 1) Berdasarkan mekanisme: adanya penetrasi durameter. a) trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan mobil) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) b) trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya) 2) Berdasarkan keparahan cedera: a. Ringan: gcs 14-15  b.sedang: gcs 9-13  c.berat: gcs 3-8 ( Mansjoer, A., 2000 ).
Menilai tingkat keparahan yaitu: 1) Cedera kepala ringan ( kelompok risiko rendah) adalah skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, orientatif), tidak ada kehilangan kesadaran misalnya konkusi, tidak ada intoksikasi, alkohol, atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala, tidak adanya kriteria cedera sedang-berat. 2) Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang) adalah skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor), konkusi, amnesia pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium, kejang. 3) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat) adalah skor skala koma Glasgow 3-8 (koma),penurunan derajat kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium (  Mansjoer, A., 2000 ).
Penatalaksanaan fraktur tulang tengkorak adalah 1) fraktur tulang tengkorak yang tidak terdepresi umumnya tidak membutuhkan tindakan pembedahan; tetapi membutuhkan pemantauan pasien yang ketat. 2) fraktur tulang tengkorak yang terdepresi membutuhkan tindakan pembedahan ( Baughman, D. L., 2000 ).
Penatalaksanaan non pembedahan pada pasien dengan cidera kepala meliputi: Glukokortikoid (dexamethasone ) untuk mengurangi edema, diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis, diuretik loop (misalnya Furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial, obat paralitik (Pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko peningkatan tekanan intrakranial, selanjutnya penatalaksanaan pembedahan pada pasien dengan cedera kepala yaitu kraniotomi diindikasikan untuk mengatasi subdural atau epidural hematoma, mengatasi peningkatan tekanan intrakranial yang tidak terkontrol, mengobati hidrosefalus ( Widagdo, W., 2008).
       Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan tumor, mengurangi tekanan intakranial, mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol hemoeragi ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Pada pasien kraniotomi akan terlihat tanda dan gejala berupa pada penurunan kesadaran, nyeri kepala sebentar kemudian membaik beberapa waktu kemudian timbul gejala yang berat dan sifatnya progresif seperti: nyeri kepala hebat, pusing, penurunan kesadaran, pada kepala terdapat hematoma subkutan, pupil dan isokor, kelemahan respon motorik konta lateral, reflek hiperaktif  atau sangat cepat, bila hematoma semakin meluas maka timbul gejala deserebrasi dan gangguan tanda vital serta fungsi respirasi ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Setiap dilakukan tindakan kraniotomi, biasanya pasien selalu lebih sensitif terhadap suara yang keras. Pada pasien bisa juga terjadi afasia, kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah paralisis, buta, dan kejang. Pasien yang tidak mengalami komplikasi, kemungkinan dapat segera keluar dari rumah sakit. Gangguan kognitif dan bicara setelah operasi memerlukan evaluasi psikologis, terapi bicara, dan rehabilitasi ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Komplikasi bedah kraniotomi meliputi peningkatan tekanan intraokuler (TIK), infeksi dan defisit neurologik. Selanjutnya peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik, Disamping itu pasien juga memerlukan intubasi dan penggunaan agens paralisis. Infeksi mungkin karena insisi terbuka, pasien harus mendapat terapi antibiotik dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan drainase,bau menyengat,drainase purulen dan kemerahan serta bengkak sepanjang garis insisi, defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pasca operasi status neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan, apabila tindakan ini tidak segera dilakukan akan menyebabkan kematian ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien post kraniotomi yaitu, nyeri, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas ( Doengoes, 2000 )
Menurut data yang penulis dapat dari register Ruang rawat bedah pria Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh mulai tanggal 20 juni-2010 sampai 20 juni 2011 dari 950 pasien yang dirawat diruang rawat bedah pria 84(8,8%) pasien yang mengalami post kraniotomi, 74(88%) pasien yang pulang/sembuh akibat post kraniotomi, 3(3,35%) pasien yang pulang paksa dan 7(8.3%) pasien yang meninggal akibat post kraniotomi.
Masalah keperawatan yang mungkin timbul pasca operasi pada kraniotomi adalah perubahan perfusi jaringan serebral, nyeri, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri, risiko tidak efektifnya jalan nafas, gangguan persepsi sensori, defisit volume cairan, resiko injuri, gangguan mobilitas fisik ( Doengoes, 2000 ).
Penatalaksanaan pada pasien dengan post kraniotomi berdasarkan prioritas masalah adalah menurunkan nyeri, mempercepat proses penyembuhan dan mencegah infeksi dan untuk mengurangi rasa nyeri dengan terapi obat-obatan, ganti verban setiap hari dan buka benang heating bila luka sudah kering. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat analgetik yang dapat menghilangkan nyeri, awasi tanda-tanda vital, memberikan makanan yang tinggi kalori, protein, vitamin, mengatur posisi tidur pasien ( Doengoes, 2000 )


          
BAB  II
PEMBAHASAN
Dalam bab II ini, penulis membahas dan menguraikan tentang Asuhan Keperawatan pada Tn.M dengan kasus Post Kraniotomi diruang Rawat Bedah Pria Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh yang dilaksanakan 3 hari mulai tanggal 20 Juni 2011 sampai 22 Juni 2011,untuk lebih jelas penulis memaparkannya melalui langkah-langkah proses keperawatan pada pasien sebagai berikut:
2.1.Pengkajian
 Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistemetis dalam pengumpulan data dan berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Nursalam,2001).
Berdasarkan hasil pengkajian tanggal 20 Juni 2011 diperoleh data sebagai berikut:pasien bernama Tn.M berumur 23 tahun,jenis kelamin laki-laki,agama islam,suku Aceh,kebangsaan Indonesia,bahasa Aceh,pendidikan SD,pekerjaan swasta/kerja bangunan,status belum kawin,alamat kecamatan Simpang Tiga kabupaten Pidie,tanggal masuk Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 11 Juni 2011 dengan diagnose medic Post Kraniotomi.
Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial.Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan tumor,mengurangi tekanan intakranial,mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol hemoeragi (Brunner&Suddarth, 2002).
Pada keluhan utama pasien mengatakan sakit kepala dengan skala nyeri 6 (nyeri sedang).Menurut Carpenito,Lj,(2001), nyeri merupakan keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam berespons terhadap suatu rangsangan yang berbahaya.Menurut Hidayat,A.A., (2006), nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.
Carpenito, Lj,(2001),mengatakan nyeri yang dirasakan baik pre operasi ataupun post operasi merupakan jenis nyeri akut, yaitu: keadaan dimana individu mengalami dan merasa tidak nyaman yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama 6 bulan atau lebih.
 Menurut Doengoes (2000),nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis,nyeri tersebut dapat diukur dengan skala nyeri yaitu 0 = tidak nyeri,1-3=nyeri ringan, 4-7=nyeri sedang dan 8-10=nyeri berat.
 Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara kasus dan teoritis dimana pada teori menyatakan nyeri biasa terjadi pada saat pre dan post operasi sedangkan pada kasus ini pasien mengalami nyeri  dikepala dengan skala nyeri 6(sedang).
Dari riwayat penyakit sekarang pasien mengatakan awal kejadian kecelakaan terjadi ketika pasien mau berkunjung ketempat saudaranya, pada saat bepergian pasien tidak memakai helm.Pada jam 18.00 wib tanggal 10 Juni 2011 sepeda motor yang dikendarainya menabrak orang yang sedang menyeberang jalan, akibatnya motor yang di kendarai pasien jatuh dan kepala pasien terbentur aspal kemudian pasien langsung di bawa ke Rumah Sakit Umum Sigli oleh warga yang melihat kejadian tersebut.Tiba di Rumah Sakit Umum Sigli pasien di pasang  Intravena Fluied Drainase ( IVFD )  RL 30 tetes / menit dan di lakukan heating dan pada ke esokan harinya pada tanggal 11 Juni 2011 jam 08.00 wib pasien di rujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin ( RSUZA ) Banda Aceh. Pasien tiba di Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) RSUZA pada jam 10.15 wib pasien langsung di tangani oleh dokter. Pada tanggal 12 Juni 2011 pasien di lakukan operasi pembedahan kepala dan setelah di lakukan operasi pasien di rawat di Intensive Care Unit ( ICU ) dewasa selama 2 hari dan pasien di berikan terapi: Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) RL / NaCl 0,9 % 20 tetes / menit,injeksi cefriaxone 2 gr / 24 jam,novalgin 1 ampul / 8 jam,ranitidine 1 ampul / 8 jam,fenitoin 1 ampul / 8 jam ( di encerkan dengan NaCl ),injeksi chlorpromazine 1 ampul / 12 jam, atas intruksi dokter, pasien di pindahkan keruang rawat bedah pria. Pasien mengatakan nyeri di kepala yang di rasakannya saat ini,nyeri seperti di ketok – ketok dengan skala nyeri 6, nyeri yang berat sering terjadi di malam hari dan berkurang pada saat siang hari, dirasakannya tiba – tiba dan lama di rasakan ± 30 menit.Diruang rawat bedah pria pasien di berikan terapi : Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) Rl / NaCl 0,9 % 20 tetes / menit, Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) tutofusin 5 % /hari,injeksi fenitoin  1 ampul / 8 jam,injeksi chlorpromazine l ampul / 12 jam, asam mefenamat 3 x 500 mg, sahobion 1x1.
Menurut asumsi penulis ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana teori menyatakan tindakan kraniotomi dilakukan pada pasien karena kecelakaan lalu lintas sementara pada kasus ini pasien dilakukan tindakan kraniotomi karena kecelakaan lalu lintas.
Pada riwayat penyakit yang lalu pasien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya serta tidak pernah mengalami penyakit infeksi,seperti tipes,malaria dan penyakit infeksi lainnya. Pasien hanya pernah mengalami penyakit biasa seperti:flu,batuk dan demam dan sembuh dengan berobat ke Puskesmas.
Dari riwayat penyakit keluarga Pasien mengatakan didalam keluarga pasien tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit alergi,penyakit menular dan penyakit keturunan lainnya seperti hemofilia,hipertensi,diabetes mellitus dan penyakit keturunan lainnya.
Menurut asumsi penulis tidak ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana teori menyatakan, kraniotomi bukan suatu penyakit keturunan, melainkan tindakan operasi dan dikeluarga pasien juga tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami post kraniotomi.
Pada pengkajian pola kebiasaan sehari hari pasien mengatakan sebelum sakit pasien makan 3x sehari disertai ikan, sayur – sayuran dan buah – buahan, selama sakit pasien diberikan dengan diet makanan biasa (MB),tetapi pasien tidak mau makan dengan keluhan tidak selera makan, pasien hanya menghabiskan roti unibis sebanyak 2 (dua) potong di tambah 1 (satu) buah jeruk.
Tarwoto&Wartonah, (2006) mengatakan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah keadaan dimana intake nutrisi kurang dari kebutuhan metabolisme tubuh.
 Pada pasien pasca operasi perlu diberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) agar mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya komplikasi, (Brunnert&Suddarth,2002).
 Menurut asumsi penulis tidak ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana teori menyatakan pada pasien pasca operasi perlu diberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) agar mempercepat proses penyembuhan dan mencegah terjadinya komplikasi,sedangkan pada kasus pasien tidak mampu mengabiskan 1 porsi makanan yang di sediakan oleh rumah sakit, pasien hanya mampu menghabiskan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk,sehingga pada pasien terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada pola minum,pasien mengatakan sebelum sakit pasien minum ± 10 – 11 gelas perhari (2500 – 3000 cc / hari) 1 (satu) gelas 250 cc. Selama di rawat pasien minum ± 7 - 8 gelas aqua (1750 – 2000 cc / hari) 1 (satu) gelas aqua 250 cc di tambah dengan terpasangnya IVFD RL / NaCl 0,9 % 20 tetes / menit ( 2 kolf / hari 1000 cc ) di tambah IVFD tutofusin 5 % / hari (500 cc ). Jumlah keseluruhan cairan selama dirawat perhari adalah ± 3000 – 3500 cc / hari. Secara teoritis kebutuhan cairan setiap hari antara 1800-2500 ml/hari (Tarwoto&Wartonah, 2006).
 Menurut asumsi penulis ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana pada kasus pasien minum ± 7 - 8 gelas aqua perhari(1750 - 2000 cc/hari) dan ditambah IVFD 1500 cc/hari, sehingga kebutuhan cairan pasien terpenuhi.
Pada pengkajian pola eliminasi pasien mengatakan sebelum sakit buang air besar (BAB) lancar 1 (satu) hari sekali pada pagi hari dengan konsistensi lunak dan dengan warna kuning kecoklatan selama sakit pasien baru 1(satu) kali BAB dengan konsistensi padat dan dengan warna kehitaman. Pola buang air kecil (BAK) pasien sebelum sakit 4 – 5 kali sehari selama sakit pola BAK pasien dengan mengunakan kateter total produksi urine ± 2500 – 3500 cc dalam sehari, berbau amoniak dan dengan warna kuning jernih.
 Secara teoritis warna normal feses adalah warna coklat,berbau khas karena pengaruh mikroorganisme,konsistensi lembek namun berbentuk,sedangkan warna normal urine kuning dan jernih,keluaran urine  pada orang dewasa 1200-1500 ml/hari, berbau khas amoniak (Tarwoto&Wartonah, 2006).
Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara teori dan kasus dimana pada kasus pasien minum± 10-11 gelas aqua/hari (2500-3000 ml/hari) dan pada kasus pasien memproduksi urine ± 2500-3500 ml/hari, sedangkan BAB baru 1x.
Pada pengkajian pola aktivitas pasien mengatakan mobilitas rutin pasien sebelum sakit adalah bekerja sebangai tukang bangunan, waktu senggang yang di lakukan nonton TV dan duduk di warung kopi. Aktivitas seperti mandi, berpakaian, toiletting, makan dan minum dilakukan secara  mandiri. Selama sakit pasien mengatakan semua aktivitas di bantu oleh keluarga ( tingkat ketergantungan 2 ), pasien bedrest dan mobilitas di tempat tidur, seperti makan – minum, berpakaian dan BAK dan BAB.
Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
 Tarwoto&Wartonah (2006), mengatakan intoleransi aktivitas adalah kondisi dimana seseorang mengalami penurunan energi fisiologis dan psikologis untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Menurut Doengoes (2000), untuk mengukur tingkat aktivitas digunakan skala tingkat ketergantungan 0 – 4, dengan kategori 0=pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri, 1=memerlukan bantuan atau perawatan minimal, 2=memerlukan bantuan dengan pengawasan atau diajarkan, 3=memerlukan bantuan dengan pengawasan terus-menerus dan alat khusus, 4=tergantung secara total pada pemberian layanan.
Menurut asumsi penulis terdapat persamaan antara kasus dan tinjauan teoritis, dimana pasien mengalami intoleransi aktifitas yang disebabkan oleh perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh atau penurunan energi fisiologis dan psikologis,sehingga aktivitas pasien masih dibantu oleh keluarga dan perawat dengan skala ketergantungan 2.
Pada pola istirahat pasien mengatakan sebelum sakit jumlah jam tidur 6 – 7 jam dari jam 24:00 – 06:00 wib dan pasien jarang tidur siang, tidak ada gangguan tidur perasaan waktu bangun nyaman. Selama di rawat pasien tidur malam dari jam 22:00 – 06:00 wib. Jumlah jam tidur 8–9 jamdan pasien tidur siang dari jam 15:00 – 17:00 wib, jumlah jam tidur siang 2 – 3 jam dalam sehari,sehingga pola kebutuhan tidur pasien selama dirawat bertambah dibandingkan dengan pola tidur pasien sebelum dirawat.
Menurut Tarwoto&Wartonah (2006), istirahat merupakan suatu keadaan dimana kegiatan jasmaniah menurun yang berakibat badan menjadi lebih segar,sedangkan tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda.
 Kebutuhan tidur pada orang dewasa muda normalnya 7 – 9 jam/hari, (Tarwoto& Wartonah, 2006).
Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara teori dan kasus, dimana pada kasus pasien tidur±8-9 jam/hari,sehingga kebutuhan tidur pasien terpenuhi.
Pada pengkajian pola personal hygiene pasien mengatakan sebelum sakit pasien mandi 3x sehari dengan menggunakan sabun, selalu menggosok giginya dan selalu keramas dengan menggunakan shampo. Selama sakit pasien mandi dengan diseka badannya oleh keluarga.
Menurut Tarwoto & Wartonah, (2006), kebersihan individu adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
 Menurut Carpenito, Lj, (2000), kebersihan diri pada pasien post operasi perlu dijaga untuk mengurangi sumber infeksi dan meningkatkan perasaan nyaman.
 Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara teori dan kasus dimana, kebersihan diri pasien selalu dijaga oleh keluarganya dengan cara badan pasien selalu diseka oleh keluarga, badan pasien tampak bersih.
             Pada pengkajian aspek psikologis, pasien mengatakan penyakit yang di rasakannya saat ini adalah cobaan dari tuhan, dan pasien berharap agar penyakit yang di rasakan saat ini cepat sembuh agar pasien dapat pulang kerumahnya, pasien tampak cemas dan takut.
            Pada pengkajian aspek sosial, pasien mengatakan sebelum sakit hubungannya dengan keluarga saudara danteman-temannya sangat baik dan akrab. Selama di rawat pasien juga ramah dengan perawat dan pasien–pasien lain yang satu kamar dengan pasien. Pasien juga mengatakan warga pernah berkunjung ketika pasien di bawa ke RSUZA.
       Pada pengkajian aspek spiritual, pasien mengatakan sebelum sakit pasien jarang menjalankan ibadah shalat dan selama sakit pasien juga mengatakan tidak pernah shalat. Pasien hanya berdo’a di tempat tidur.
       Menurut Carpenito (2000), suatu kondisi yang bagus dalam aspek psikologis, sosial, spiritual yang dirasakan oleh individu dapat langsung mempengaruhi kecepatan dan kualitas penyembuhan seseorang. Terdapat kesamaan antara teori dan kasus, dimana pada kasus terlihat aspek psikologis dan sosial pasien dalam kondisi  bagus, tetapi pada aspek spiritual pasien dalam kondisi yang tidak bagus sehingga mempengaruhi kesembuhan pasien.
       Pengkajian umum pada Tn.M dapat dilakukan melalui empat metode yakni inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Dapat diperoleh data sebagai berikut : keadaan umum lemas, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital (tekanan darah:100/60 mmhg, denyut nadi 62 x/menit, suhu 36,40C, dan pernapasan 20 x/menit ), berat badan : 62 kg  dan tinggi badan 170 cm.
       Pemeriksaan tanda vital merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya perubahan sistem tubuh. Adanya perubahan tanda vital misalnya suhu tubuh dapat menunjukkan keadaan metabolisme tubuh, denyut nadi dapat menunjukkan perubahan pada sistem kardiovaskular, frekuensi pernapasan dapat menunjukkan fungsi pernapasan dan tekanan darah dapat menilai kemampuan sistem kardiovaskular, yang dapat dikaitkan dengan denyut  nadi ( Hidayat, A.A., 2004).
       Biasanya pada pasien post operasi tanda-tanda vital normal yaitu tekanan darah 120/80 – 140/90 mmHg, pernapasan 15-20 x/menit, denyut nadi 70-75 x/menit dan suhu 36,00C – 37,00C (Hidayat, A.A., 2004)
       Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui kemungkinan Hb menurun karena terjadinya pendarahan atau karena adanya anemia, sedangkan pada kasus tekanan darah pasien berada pada ( tekanan darah 100/60 mmHg) dan berdasarkan hasil laboratorium Hb pasien berada pada batas dibawah normal/menurun ( Hemoglobin 10,4 gr/dl).
      Dalam hal ini tidak terdapat kesamaan antara kasus dan teoritis, dimana tanda-tanda vital pasien tidak berada pada batas normal ( tekanan darah 100/60 mmHg) dan Hb pasien berada pada batas dibawah normal (Hb 10,4 gr/dl).
       Pada pengkajian fisik dapat diperoleh data sebagai berikut: Kepala, inspeksi: bentuk simetris, rambut hitam, tidak ada ketombe, rambut bersih, terdapat luka operasi, keadaan luka kering, tidak ada tanda-tandainfeksi (tumor,kalor,rubor ,dolor dan fungsiolessa). Palpasi : adanya nyeri tekan.Wajah, inspeksi : bentuk wajah simetris, adanya kumis dan jenggot, tidak ada benjolan,adanya bekas jahitan, ekspresi wajah meringis.Palpasi: tidak ada nyeri tekan. Mata, inspeksi : bentuk mata simetris, mata sebelah kiri tidak bisa digerakkan tetapi bisa melihat, penglihatan kedua mata normal, sklera ikterik, konjungtiva pucat.Palpasi : tidak nyeri tekan.Hidung, inspeksi :bentuk hidung simetris, tidak ada sekret dan penciuman baik. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, teraba patah tulang hidung.Telinga, inspeksi : bentuk kedua telinga simetris, terdapat bekas luka di telinga sebelah kiri, tidak ada serumen. Palpasi : tidak nyeri tekan.     Mulut, Inspeksi : bentuk simetris, mukosa bibir basah, gigi masih utuh, adanya bau mulut, adanya karies gigi. Palpasi : tidak ada nyeri tekan. Leher,inspeksi :bentuk simetris, leher dapat bergerak dengan bebas, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Thorak,inspeksi : bentuk simetris, tidak ada pembekakan dan tidak ada lesi.Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Perkusi :bunyi resonan. Auskultasi : bunyi jantung I > bunyi jantung II dan irama jantung reguler. Abdomen, inspeksi : bentuk simetris, tidak ada lesi dan tidak ada pembekakan. Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Perkusi : tidak ada distensi. Auskultasi : peristaltik usus 10 x / menit (normal). Genetalia dan anus : tidak dilakukan pemeriksaan. Kulit, inspeksi : kulit berwarna hitam, berbulu dan adanya bekas jahitan di wajah dan dikepala. Palpasi : turgor kulit baik. Ekstremitas atas,inspeksi :dikedua tangan tidak ada lesi, tangan sebelah kiri terpasang IVFD, tangan kiri dan kanan dapat bergerak dengan bebas, tidak ada udem. Palpasi : tidak ada nyeri tekan. Ekstremitas bawah, inspeksi : di kedua kaki tidak ada lesi, kaki kiri dan kaki kanan berbentuk sama dan dapat bergerak dengan bebas. Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
            Brunner dan Suddarth (2002), mengatakan pada pengkajian segera pada klien bedah adalah kepatenan, kedalaman dan frekuensi nafas, tanda – tanda vital, tingkat resonan, keadaan luka, kondisi balutan, tipe nyeri dan lokasi.
            Pemeriksaan penunjang yang dilakukan padaTn.M adalah pemeriksaan laboratorium ( pemeriksaan darah) dan radiologi (ST-Scan). Dari hasil pemeriksaan darah tanggal 11 Juni 2011 diperoleh data sebagai berikut : Hemoglobin 10,4 gr/dl dengan batas normal 13 – 17 gr/dl, leokosit 18,5 1000/ul dengan batas normal 4,1 – 10,5 1000/ul, trombosit 218 1000/ul dengan batas normal 150 – 400 1000/ul. Hasil pemeriksaan radiologi (ST-Scan) pada tanggal 16 Juni 2011 di dapat hasil : Frakture Maxillo Facialis dengan Frakture OsFrontalis serta Hematosinos Maxilaris, Frontalis, Ethomoidalis Bilateral.
            Menurut Brunner dan Suddarth (2002) pemeriksaan diagnostik pada pasien kraniotomi meliputi pemeriksaan darah dan ST- Scan kepala. Tujuan pemeriksaan darah meliputi Hemoglobin dan leukosit dapat menurun karena pasien mengalami frakture maxillo facialis dengan frakture Os frontalis. Trombosit penting pada proses pembekuan darah.
            Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui kemungkinan hemoglobin menurun yang menunjukkan adanya pendarahan atau penurunan yang menunjukkan adanya anemia, leukosit menurun adanya infeksi (Hidayat, 2005).
            Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara kasus dengan tinjauan teoritis dimana pada Tn.M dilakukan pemeriksaan  darah dan radiologi (ST-Scan). Pemeriksaan diagnostik ini dilakukan sesuai dengan instruksi dokter bedah berdasarkan kondisi pasien.
            Adapun terapi medis yang diberikan pada Tn. M pada tanggal 20 Juni 2011 adalah obat oral  yaitu : asam mefenamat 3x500 sebagai pengurang rasa nyeri, sahobion 1x1 sebagai penambah darah. Obat parenteral yaitu : fenitoin 1 ampul/8 jam sebagai mengatasi kejang, chlorpromazine 1 ampul/12 jam sebagai penenang atau rileks (ISO, 2009)
            Menurut Doengoes (2000), pemberian terapi analgetik sesuai indikasi dapat menghilangkan nyeri, memberikan kenyamanan pada pasca operasi.
            Dari pengkajian yang telah penulis dapatkan pada tanggal 20 Juni 2011, maka di dapat beberapa data subjektif dan objektif yang semua itu akan dikumpulkan menurut masalah keperawatan yang timbul dengan prioritas keperawatan berdasarkan keluhan pasien.
            Pada analisa data pertama data subjektif pasien mengatakan sakit kepala. Dan data objektifnya adalah skala nyeri 6  ( nyeri sedang ), adanya bekas jahitan operasi dikepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, ekspresi wajah meringis. Etiologinya adalah post op kranial dan masalah keperawatannya adalah nyeri.
            Adapun yang termasuk data subjektif pada analisa data kedua adalah pasien mengatakan tidak selera makan dan data objektifnya adalah makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat, tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmhg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°C). Etiologinya adalah Anorexia dan masalah keperawatannya adalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
            Pada analisa data ketiga, data subjektifnya  adalah pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga dan data objektifnya adalah keadaan umum : lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur, tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan pengawasan). Etiologinya adalah kelemahan fisik, dan masalah keperawatannya adalah intoleransi aktifitas.
2.2. Diagnosa Keperawatan
            Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status kesehatan atau masalah aktual atau risiko dalam rangka mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya (Tarwoto & Wartonah, 2006).
            Berdasarkan analisa data diatas, maka diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada Tn.M sesuai dengan prioritas masalah adalah sebagai berikut : dengan diagnosa keperawatan pertama yaitu nyeri berhubungan dengan post op kranial, ditandai dengan pasien mengatakan sakit kepala, skala nyeri 6  ( nyeri sedang ), adanya bekas jahitan operasi kepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, ekspresi wajah meringis,tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan pengawasan.
            Diagnosa keperawatan kedua yaitu : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, ditandai dengan pasien mengatakan tidak selera makan, makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat, Tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmHg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°C).
            Diagnosa keperawatan ketiga yaitu : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai dengan pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga, keadaan umum : lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur.
            Menurut Brunner dan Suddarth (2002), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post kraniotomi adalah nyeri berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
            Dalam hal ini terdapat kesamaan antara kasus dan teoritis, dimana diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada Tn.M adalah nyeri berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
2.3. Intervensi
            Perencanaan adalah meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah – masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan, tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 2001).
            Dalam mencapai tujuan yang diharapkan maka rencana keperawatan harus sesuai dengan masalah yang terjadi. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditegakkan maka perencanaan yang dapat diberikan sesuai dengan teoritis adalah sebagai berikut, pada diagnosa keperawatan : nyeri berhubungan dengan post op kranial, ditandai dengan pasien mengatakan sakit kepala, skala nyeri 6  ( nyeri sedang ), adanya bekas jahitan operasi kepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, ekspresi wajah meringis,tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan pengawasan). Adapun tujuan nyeri berkurang (terkontrol), dengan kriteria hasil pasien mengatakan nyeri hilang, skala nyeri 0. Adapun intervensi yang dilakukan yaitu, kaji keluhan nyeri dan intensitas nyeri dengan skala numerik (0 – 10), rasionalnya nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien, untuk memudahkan intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan lebih, posisikan kepala tinggi,  rasionalnya meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema, ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi, rasionalnya mengalihkan pikiran dan memberikan rasa nyaman, kolaborasi dengan tim medis untuk obat anti nyeri, rasionalnya memberikan obat anti nyeri yang berguna untuk mengurangi rasa nyeri, berikan perawatan luka (ganti balutan) dengan tehnik steril, rasionalnya mencegah terjadinya infeksi (Doengoes, 2000).
            Pada diagnosa keperawatan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, ditandai dengan pasien mengatakan tidak selera makan, makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat, tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmHg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°C). Adapun tujuannya yaitu peningkatan status nutrisi dengan kriteria hasil, menunjukkan pemahaman pentingnya nutrisi untuk proses penyembuhan. Adapun intervensinya yang dilakukan yaitu  berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur, rasionalnya meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerja sama pasien saat makan, jaga kebersihan mulut pasien, rasionalnya mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan, berikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, sesuai dengan tindakan keperawatan berhubungan nutrisi, rasionalnya meningkatkan pengetahuan agar pasien lebih kooperatif, selingi makan dengan minum, rasionalnya memudahkan makanan masuk, kolaborasi dengan tim medis, rasionalnya dapat membantu meningkatkan nafsu makan, kaji tanda-tanda vital, rasionalnya membantu mengkaji keadaan pasien (Doengoes, 2000).
            Pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai dengan pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga, Keadaan umum : lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur. Adapun tujuannya adalah kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi mandiri, dengan kriteria hasil melaporkan peningkatan toleransi aktivitas, tingkat ketergantungan 0 ( nol ), adapun intervensinya kaji tingkat ketergantungan aktivitas, kelemahan saat aktivitas, rasionalnya merencanakan intervensi dengan tepat, anjurkan keluarga untuk membantu pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari, rasionalnya keluarga merupakan orang kedua yang berperan dalam perawatan pasien setelah perawat, dekatkan segala kebutuhan pasien dengan tempat tidur, rasionalnya kebutuhan didekatkan dengan pasien akan memudahkan pasien untuk menjangkaunya, lakukan istirahat yang adekuat setelah latihan dan aktivitas, rasionalnya membantu mengembalikan energi (Doengoes, 2000).
2.4. Implementasi
            Implementasi adalah merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2006).
            Implementasi dalam mencapai tujuan seperti yang direncanakan lebih awal, maka harus benar-benar sesuai dengan yang dapat dilakukan.
            Pada diagnosa nyeri berhubungan dengan post op kranial, implementasi yang dilakukan adalah mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik ( 0-10) dimana 0= tidak ada nyeri 1-3= nyeri ringan 4-7= nyeri sedang 8-10= nyeri berat dan di dapatkan skala pasien 6 ( nyeri sedang ), mengatur posisi senyaman mungkin, head up 300, melakukan distraksi dengan cara mengalihkan perhatian dan konsentrasi pasien seputar kegiatan sehari – hari sebelum di rawatkan dan untuk relaksasi ajarkan pasien nafas dalam kemudian keluarkan secara perlahan – lahan melalui mulut, melaksanakan pemberian obat sesuai dengan ajuran dokter, yaitu analgetik asam mefenamat 1x500 mg, melakukan pembersihan luka diarea heating dengan teknik steril dengan cara perawatmencuci tangan dan memakai handskun steril lalu membersihkan luka dengan NaCl dan betadine secara searah.
            Pada diagnosa perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, implementasi yang dilakukan adalah menganjurkan pasien mengkonsumsi makananyang sedikit tapi sering, menganjurkan pasien untuk sering menyikat gigi untuk meningkat selera makan, memberikan pengetahuan pentingnya nutrisi dalam proses penyembuhan, memberikan minuman pada saat pasien makan, mengkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian vitamin nafsu makan, mengkaji tanda-tanda vital,Jam : 09:00 wib(Tekanan darah: 100/60 mmHg, denyut nadi: 62 x/menit, suhu: 36,4°C, pernafasan: 20 x/menit), Jam : 16:00 wib (Tekanan darah     :100/60mmHg, denyut nadi: 62 x/ menit, suhu: 36,2°C, pernafasan: 20 x/ menit).
            Pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, implementasi yang dilakukan adalah mengkaji tingkat ketergantungan ( 0 – 4 ): (0) pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri, (1) memerlukan bantuan atau perawatan minimal, (2) memerlukan bantuan dengan pengawasan, (3) memerlukan bantuan dengan perawatan terus – menerus dan alat khusus, (4) bergantung secara total pada pemberian pelayanan, di dapat tingkat ketergantungan pasien 2 dan menganjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien seperti makan, BAB dan BAK, menganjurkan keluarga untuk mendekatkan semua kebutuhan pasien didekat tempat tidur seperti makanan dan minuman agar pasien mudah mengambilnya, menganjurkan pasien untuk beristirahat setelah melakukan aktivitas seperti makan, melakukan AFF kateter.
            Walaupun tindakan pada Tn.M dengan post kraniotomi telah dilakukan sesuai perencanaan tetapi belum maksimal, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dalam melaksanakan asuhan keperawatan yaitu selama 3 hari.
2.5.Evaluasi
            Evaluasi adalah perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Tarwoto & Wartonah, 2006).
            Evaluasi atau hasil yang diharapkan secara langsung dari pasien terhadap tinjauan kasus adalah sebagai berikut : diagnose keperawatan, nyeri berhubungan dengan post op kranial dengan hasil yang diharapkan yaitupasien mengatakan kepalanya masih sakit tapi sudahberkurang. Data objektifnya skala nyeri 3 (ringan), ekspresi wajah  tenang, masalah nyeri teratasi sebgian sehingga intervensi yang dilanjutkan yaitu : mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik (0-10) dimana 0 = tidak  ada nyeri 1-3 = nyeri ringan 4-7 = nyeri sedang 8-10 =  nyeri berat dan  didapatkan skala nyeri  3 (ringan), melaksanakan pemberian obat sesuai dengan anjuran dokter yaitu analgetik asam mefenamat 1x 500 mg, melakukan pembersihan luka diarea heating dengan tehnik steril dengan cara perawat  mencuci tangan dan memakai handscun steril lalu membersihkan luka dengan NaCl dan Betadine secara searah.
            Pada diagnosa kedua perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, dengan hasil yang diharapkan yaitu : Pasien mengatakan masih tidak selera makan, data objektifnya, tanda-tanda vital. Jam : 09:00 wib (Tekanan darah: 110/70 mmHg, denyut nadi: 64x/menit, suhu: 36.20C, pernafasan: 20 x/menit ). Jam 15:00 wib (Tekanan darah: 110/70 mmHg, denyut nadi: 64 x/menit, suhu: 36,20C, pernafasan: 20 x/menit), sehingga masalah perubahan nutrisi belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu : menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang sedikit tapi sering, memberikan minuman pada saat pasien makan, mengkaji tanda-tanda vital : Jam 09:00 wib (Tekanan darah : 110/70 mmHg, denyut nadi: 64 x/menit, Suhu :36,20C, pernafasan: 20 x/menit).Jam 15:00 wib (Tekanan darah:110/70 mmHg, denyut nadi:64x/menit, suhu:36,2 0C, pernafasan: 20 x/menit).
            Pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai denganpasien mengatakan aktivitas sudah bisa dilakukan sendiri, dan data objektifnya tingkat ketergantungan 0, keadaan umum baik, ini menunjukkan bahwa masalah sudah teratasi dan intervensi dihentikan. Pasien sudah bisa melakukan aktivitas dengan mandiri.
            Melihat dari kasus, satu masalah teratasi sebagian, dimana masalah nyeri teratasi sebagian karena skala nyeri 3 (ringan), masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi karena pasien hanya makan dua suapan nasi dan satu buah jeruk, tetapi masalah intoleransi aktivitas sudah teratasi karena tingkat ketergantungan 0 dan seiring dengan pasien sudah menjalani perawatan selama 10 hari.





BAB III
PENUTUP

Setelah menguraikan tentang post kraniotomi dan permasalahannya, penulis mengambil suatu kesimpulan dan memberikan saran-saran yang dapat memanfaatkan bagi pembaca terutama dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan post kraniotomi.
3.1. Kesimpulan
3.1.1.   Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Pada pasien kraniotomi akan terlihat tanda dan gejala berupa pada penurunan kesadaran, nyeri kepala sebentar kemudian membaik beberapa waktu kemudian timbul gejala yang berat dan sifatnya progresif seperti: nyeri kepala hebat, pusing, penurunan kesadaran, pada kepala terdapat hematoma subkutan, pupil dan isokor, kelemahan respon motorik konta lateral, reflek hiperaktif  atau sangat cepat, bila hematoma semakin meluas maka timbul gejala deserebrasi dan gangguan tanda vital serta fungsi respirasi . Setiap dilakukan tindakan kraniotomi, biasanya pasien selalu lebih sensitif terhadap suara yang keras. Pada pasien bisa juga terjadi afasia, kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah paralisis, buta, dan kejang. Penatalaksanaannya adalah meningkatkan aliran darah balik vena dan mengurangi rasa nyeri dengan terapi obat-obatan, atur posisi pasien meninggikan kepala head up 300, ganti verban setiap hari dan buka benang heating bila luka sudah kering, dan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat analgetik yang dapat menghilangkan nyeri.
3.1.2.   Pada saat pengkajian didapat data pada Tn.M sebagai berikut : data subjektif , pasien mengatakan sakit dikepala, pasien mengatakan tidak selera makan, pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga. Data objektifnya adalah skala nyeri 6 (sedang), adanya bekas jahitan operasi dikepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, exspresi wajah meringis, adalah makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat, Tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmhg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°c), keadaan umum : lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur, tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan pengawasan).     
3.1.3.   Diagnosa keperawatan yang didapat pada Tn.M dengan post kraniotomi adalah nyeri berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.1.4.   Intervensi direncanakan : kaji keluhan nyeri dan intensitas nyeri dengan skala numerik (0 – 10), posisikan kepala tinggi,  ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi, kolaborasi dengan tim medis untuk obat anti nyeri, berikan perawatan luka (ganti balutan) dengan tehnik steril, berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur, jaga kebersihan mulut pasien, berikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, sesuai dengan tindakan keperawatan berhubungan nutrisi, selingi makan dengan minum, kolaborasi dengan tim medis, Kaji tanda-tanda vital, intervensinya kaji tingkat ketergantungan aktivitas, kelemahan saat aktivitas, anjurkan keluarga untuk membantu pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari, dekatkan segala kebutuhan pasien dengan tempat tidur, lakukan istirahat yang adekuat setelah latihan dan aktivitas.
3.1.5.   Implementasi keperawatan : mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik ( 0-10) dimana 0= tidak ada nyeri 1-3= nyeri ringan 4-7= nyeri sedang 8-10= nyeri berat dan di dapatkan skala pasien 6 ( nyeri sedang ), mengatur posisi senyaman mungkin, head up 300, melakukan distraksi dengan cara mengalihkan perhatian dan konsentrasi pasien seputar kegiatan sehari – hari sebelum di rawatkan dan untuk relaksasi ajarkan pasien nafas dalam kemudian keluarkan secara perlahan – lahan melalui mulut, melaksanakan pemberian obat sesuai dengan ajuran dokter, yaitu analgetik asam mefenamat 1x500 mg, melakukan pembersihan luka diarea heating dengan teknik steril dengan cara perawat mencuci tangan dan memakai handscun steril lalu membersihkan luka dengan Nacl dan betadine secara searah, menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang sedikit tapi sering, menganjurkan pasien untuk sering menyikat gigi untuk meningkat selera makan, memberikan pengetahuan pentingnya nutrisi dalam proses penyembuhan, memberikan minuman pada saat pasien makan, mengkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian vitamin nafsu makan, mengkaji tanda-tanda vital, Jam : 09:00 wib(Tekanan darah: 100/60 mmhg, denyut nadi: 62 x/menit, suhu: 36,4°c, pernafasan: 20 x/menit), Jam : 16:00 wib (Tekanan darah      :100/60mmhg, denyut nadi: 62 x/ menit, suhu: 36,2°c, pernafasan: 20 x/ menit), mengkaji tingkat ketergantungan ( 0 – 4 ): (0) pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri, (1) Memerlukan bantuan atau perawatan minimal, (2) Memerlukan bantuan dengan pengawasan, (3)Memerlukan bantuan dengan perawatan terus – menerus dan alat khusus, (4) Bergantung secara total pada pemberian pelayanan, di dapat tingkat ketergantungan pasien 2. Dan menganjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien seperti makan, BAB dan BAK, menganjurkan keluarga untuk mendekatkan semua kebutuhan pasien didekat tempat tidur seperti makanan dan minuman agar pasien mudah mengambilnya, menganjurkan pasien untuk beristirahat setelah melakukan aktivitas seperti makan, melakukan AFF kateter.
3.1.6.   Evaluasi  keperawatan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari adalah satu masalah teratasi sebagian, dimana masalah nyeri teratasi sebagian, satu masalah belum teratasi yaitu masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, tetapi masalah intoleransi aktivitas sudah teratasi. Hal ini disebabkan karena membutuhkan waktu yang lama dan maksimal untuk memberi asuhan keperawatan dan masalah akan teratasi seiring dengan penyembuhan luka bekas operasi.
3.2. Saran
3.2.1. Diharapkan kepada seluruh tim kesehatan khususnya profesi perawat dan terutama mahasiswa keperawatan agar dapat mengembangkan diri, memperluas wawasan melalui buku-buku, media massa dan elektronik agar dapat meningkatkan pengetahuan, khususnya dalam merawat.
3.2.2  Diharapkan kepada pembaca khususnya teman-teman saya agar dapat membaca KTI ini untuk menambah ilmu pengetahuan tentang cara merawat pasien dengan post kraniotomi.



                                           DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Baughman, Diane L. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Dari Brunner Dan Suddarth. Jakarta : EGC.
Brunner dan  Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi  8. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lj. 2001. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Doengoes, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Gibson, John. 2002. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6, Volume 2. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta : FKUI.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nursalam. 2001. Proses Dan Dokumentasi Keperawatan, Konsep Dan Praktis. Jakarta : Salemba Medika.
Pearce, Evelyn. 2002. Anatomi Dan Fisiologi Untuk ParaMedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Pierce dan Borley. 2006. Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta : EGC.
RSUDZA. 2010. Register Medikal Recard Ruang Rawat Bedah Pria 2010/2011 Edisi Revisi. Banda Aceh.
Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Weiner, Howard L. 2001. Buku Saku Neurolologi. Jakarta : EGC.
Widagdo, Wahyu. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan GangguanSistem Persarafan. Jakarta : Trans Info Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar