A. Pendahuluan
Para
Psikolog telah memberikan berbagai definisi kecerdasan yang berbeda-beda dan
bahkan tidak sepaham dengan apakah kecerdasan merupakan sesuatu yang utuh atau
merupakan kumpulan dari elemen-elemen yang berbeda. Sebagai contoh, apakah kamu
orang yang sudah cerdas dengan sendirinya atau apakah kecerdasan terbentuk dan
aspek-aspek yang berbeda seperti kemampuan verbal dan kemampuan logika, dan
sebagainya.
Bagaimanapun,
secara umum kecerdasan ditinjau dari berbagai macam kemampuan dalam memperoleh
informasi, berpikir dan beralasan secara baik & efektif serta sesuai dengan
lingkungannya.
Beberapa
aspek kecerdasan dapat di ukur dan dapat di uji melalui tes kecerdasan,
sangatlah penting untuk mencatat bahwa tes-tes tersebut hanya dapat mengukur
aspek-aspek tertentu dan kecerdasan, dapat dikatakan bahwa mereka merupakan
alamat dari tingkat kemampuan yang bukan kecerdasan.
Terdapat
bermacam test kecerdasan, yakni standarisasi test, yang biasa pertanyaannya
terfokus kepada opini logika, verbal dan kemampuan matematika. Test tersebut
memiliki instruksi yang jelas untuk administrasi dan penilaian setiap orang
akan mendapatkan hasil berupa nilai yang diberikan setelah test berlangsung.
Test
tersebut menyebabkan terjadinya perbandingan kemampuan terhadap satu group
dengan group yang lain, atau seorang individual dengan individu yang lainnya.
Terdapat beberapa batasan dalam test tersebut, hal ini akan didiskusikan
kemudian.
B. Permasalahan
Kecerdasan
merupakan hal yang amat sulit untuk didefinisikan apakah kecerdasan itu? Apakah
maksud dari sesuatu yang disebut cerdas?
C. Pembahasan
I.
Faktor
– Faktor Yang Mempengaruhi
Pengukuran Kecerdasan.
Kerap
terjadi perdebatan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sama
halnya dengan pertentangan terhadap apa sebenarnya kecerdasan itu sendiri,
sejarah penelitian kecerdasan sangatlah luas, minat merupakan pusat penyebab
ada variasi dari tingkatan kecerdasan seseorang. Hal yang paling mendasar
terbagi atas dua hal yakni faktor genetika (alami) dan faktor lingkungan (pengasuhan), dengan kata lain, dapatkah
perbedaan antara tingkat kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetika
atau variasi lingkungan ?
Non
genetik atau faktor lingkungan berupa segala hal yang tidak diwariskan / tidak
berdasarkan keturunan, faktor-faktor tersebut bukan hanya stimulasi lingkungan
dan orang tua semata, namun juga nutrisi, kekebalan tubuh, status sosial ekonomi
dan sebagainya.
Hasil
perdebatan antara para nativists, yang menyatakan bahwa pengetahuan dan opini
merupakan pre-struktur genetika dan empiris yang menyatakan bahwa pengetahuan
dan opini dan mengatur untuk merefleksikan dan membuat sensasi dari pengalaman-pengalaman
tersebut.
Pertanyaan
menjadi semakin rumit, karena hal ini belum jelas, seberapa banyak perbedaan
dalam kecerdasan yang dapat ditentukan
dengan pengaruh alamiah (genetik) dan seberapa banyak pengaruh pengasuhan
(lingkungan), sebagaimana perdebatan mengenai kecerdasan telah berkelanjutan
pendekatan Psikometrik terhadap kecerdasan telah berkelanjutan, pendekatan
Psilometrik terhadap kecerdasan telah
dicoba untuk mendefinisikan sebuah
faktor umum yang erat kaitannya dengan kecerdasan.
Baru-baru
ini, penelitian telah mulai untuk memfokuskan pada pentingnya aspek genetik dan
hubungannya terhadap perbedaan aspek-aspek kecerdasan dan penelitian saat ini
telah bergerak untuk mencoba mengidenfitikasikan hubungan gen dengan
kecerdasan.
Usaha
dan investigasi, mengenai pengaruh dari aspek-aspek yang berbeda di dalam
perkembangan kecerdasan telah banyak mendapatkan perlakuan dalam berbagai
pembelajaran/penelitian.
II. Faktor Genetik Dalam Pengaruh
Tingkatan Kecerdasan
2.1
Pengujian
Anak Kembar
Berbagai
penelitian dirancang untuk mengivestigasikan perkembangan pengukuran terhadap
anak kembar. Penyebab dari penelitian ini yakni untuk mencoba membandingkan
setiap individu yang saling berbagai genetik yang sama satu sama lain,
memberlakukan hal ini diharapkan para
peneliti mampu untuk menggambarkan kesimpulan mengenai faktor-faktor
apakah yang lebih berpengaruh terhadap kecerdasan, faktor genetik ataukah
lingkungan. Suatu cara untuk
membandingkan orang-orang yakni dengan menggunakan skor IQ. Dalam proses
pengukuran skor IQ seseorang, akan diberikan sebuah test untuk orang tersebut,
test tersebut akan mengukur beberapa faktor seperti logika matematika,
kemampuan verbal, dan sebagainya. Ketika test selesai dilaksanakan maka IQ dari
seseorang akan dapat dihitung, secara umum semakin tinggi skor IQ maka semakin
tinggi pula kecerdasan yang dimiliki. Bagaimanapun, sangatlah penting
untuk menyadari bahwa terdapat beberapa permasalahan pada test IQ.
Pendapat yang merujuk kepada genetika
dan alam di investigasikan menggunakan test IQ. Jika orang-orang yang memiliki
genetik yang sama namun memiliki skor IQ yang berbeda maka hal ini dapat
dinyatakan bahwa lingkungan berpengaruh membentuk kecerdasan.
Kembaran
monozigot (Mz) berbagai material genetik yang sama dikarenakan mereka
berasal dari satu telur sehingga disebut “Kembar Identik”. Kembaran
dizigot (Dz) berasal dari telur yang
berbeda satu sama lain sehingga genetik mereka mirip dengan saudara kandung,
yang membedakan hanyalah mereka saling berbagi pengalaman di masa-masa sebelum
kelahiran, tidak seperti saudara kandung lainnya yang dikandung secara
terpisah.
Biasanya
dalam penelitian skor IQ dari dua orang yang kembar akan dibandingkan dan
menghasilkan sejumlah korelasi. Sebuah korelasi yang berangkakan 1 merupakan
korelasi yang sempurna dan artinya skor
kedua orang tersebut sama persis. Semakin menjauh dari angka korelasi 1, maka
semakin berkurang korelasi/hubungan yang dimiliki.
Shield
(1962) melakukan salah satu perlakuan yang paling awal dan sangat terkenal dalam
penelitian anak kembar. Shield mencetuskan mengenai hal disertakannya anak
kembar dalam suatu percobaan dengan menyediakan sampel 44 kembaran, sebagian
anak kembar akan tinggal bersama dan sebagian lainnya akan dipisahkan dari
kembarannya. Tingkatan IQ dari kembaran-kembaran tersebut di tes dan
dibandingkan, korelasi kembaran Mz adalah 0,77 untuk kembaran yang dipisahkan
dan 0,76 untuk kembaran yang tumbuh bersama. Hal ini menunjukkan bahwa
lingkungan tempat mereka tumbuh sedikit
berperan dalam kecerdasan dikarenakan kolerasinya yang hampir identik. Jika
lingkungan berpengaruh kepada faktor perkembangan kecerdasan maka kita harapkan
perbedaan antara kolelasi tersebut menjadi lebih besar.
Evaluasi
Penelitian
ini tampaknya menyediakan bukti yang jelas bahwasanya kecerdasan dipengaruhi
oleh faktor genetik namun hal ini dikritisi habis-habisan oleh prinsip kamin
(1977). Dia menyatakan bahwa sampel yang disediakan shield sangatlah kecil.
Juga menjadi pernyataan bahwa sebagian anak kembar tumbuh bersama dan sebagian
lagi dipisahkan justru patut dipertanyakan. Tidak terdapat pengklasifikasian
yang jelas ketika kamin (1977) meninjau ulang penelitian itu, ditemukan bahwa
kerap kali kembaran yang dikatakan diasuh secara terpisah tentunya telah
menghabiskan sejumlah waktu secara bersama-sama.
Kembaran-kembaran
Mz hanya diasuh terpisah setelah berumur 1 tahun, dan kerap diadopsi oleh sanak
saudaranya, dan tentunya akan saling menjenguk satu sama lain. Hal ini juga
diketahui bahwa agen adopsi mencoba untuk mencocokkan keluarga adopsi dengan si
anak, dalam hal mencocokkan tempat
merupakan suatu usaha dimana anak
ditempatkan pada lingkungan yang sama untuk membuat adaptasi menjadi mudah. Oleh
karena itu hal tersebut tidak mungkin
dikatakan bahwa lingkungan tempat pengasuhan anak kembar tersebut sangatlah
berbeda hanya karena mereka diasuh secara terpisah. Isu ketiga yakni sama
halnya dengan digaet yang dituduh melakukan percobaan yang bias, juga korelasi
sempurna yakni satu (1), jadi catatan faktor apakah yang menjadi perbedaan
antara hasil penelitian shieds dan 100? Bisa saja percobaan yang disebabkan
oleh faktor lingkungan sehingga faktor
lingkungan dapat ditinjau sebagai hal yang berpengaruh. Asumsi bahwa kembarna Mz adalah identik juga
menimbulkan pertanyaan, mereka mungkin saja memiliki perbedaan pengalaman lahir
oleh juga diasuh dan memiliki hubungan berbeda dengan orang tua yang berbeda.
Keseluruhan dari pengalaman mereka itu tidak dapat dikatakan identik secara
menyeluruh dan oleh karena itu mereka tidaklah identik secara menyeluruh
(Flanagan, 1977).
Penelitian
lainnya yang menggunakan anak-anak kembar sebagai perlakuan. Kaufman (1999) dan Bounchard dan
McGue (1988) meninjau ulang perlakuan dari beberapa penelitian. Pederson etal
(1992) meninjau ulang adopsi orang-orang swedia / pembelajaran pertumbuhan anak
kembar, dan New man et al (1928) juga menginvestasikan perbedaan IQ pada
kembaran Mz dan Dz. Hasil dari penelitian – penelitian ditunjukkan pada tabel
4.1. tabel mengindikasikan apa tipe sampel kembaran yang disediakan, apa
kondisi tempat mereka tumbuh, misalnya bersama
atau terpisah dan kolerasi antar skor IQ yang mereka miliki setelah
tahap pengetesan.
Hasil
dari penelitian ini menyatakan bahwa faktor genetik lebih mempengaruhi tingkat
kecerdasan dari pada faktor lingkungan, layaknya kembaran dengan genetik
material yang sama (Mz) memiliki korelasi yang
lebih tinggi dan pada kembaran (Dz) sebagiamanapun pertumbuhan yang
mereka tempuh ini menyatakan bahwa faktor-faktor genetik lebih penting menentukan tingkatan
kecerdasan. Pederson et al (1952) menyatakan bahwa sekitar 80% IQ itu diwarisi.
Dalam
penelitian lebih lanjut oleh Bounchart et.al (1990) meninjau ulang terhadap 100
kembaran di Memisota yakni penelitian terhadap kembaran yang diasuh secara
terpisah. Mereka menemukan bahwa sekitar 70% skor IQ ditentukan oleh faktor genetik. kaufman (1999) menyatakan
bahwa persentasi heritablitas bagi IQ sekitar 50% lagi-lagi hal ini mendorong
pembuktian terhadap pengaruh genetik bagi kecerdasan.
Bagaimanapun
jika kita meninjau ulang kesalahan yang diperbuat dalam penelitian shields,
bisa dikatakan bahwa hal tersebut mungkin sama dengan pengaplikasian yang telah
dilakukan dalam beberapa penelitian. Hal tersebut disebabkan juga oleh
penggunaan sampel yang kecil, asumsi / pernyataan tentang kembaran yang tumbuh
terpisah padahal masih terdapat beberapa
kontak / komunikasi yang berlangsung gagal dalam mengakui proses pencocokan
adopsi/percobaan yang bias, gagal untuk mengakui bahwa kembaran identik tidak
memiliki pengalaman yang identik dan gagal untuk mengomentari kekurangan dari
korelasi yang sempurna.
Di
dalam banyak penelitian kembaran baru-baru ini di Australia didapati bahwa
minimal 50% dan mungkin saja 65% dari beragam pendidikan/edukasi yang didapati
mampu berdistribusi terhadap genetik. Penelitian ini menyatakan bahwa hanya 25%
dari variasi edukasi / pendidikan yang mungkin dapat menjadi faktor lingkungan
(Miller, Muluey, & Maltin, 2001). Penelitian ini menyediakan dukungan bagi
pengaruh genetik terhadap kecerdasan dan pencapaian pendidikan.
Didalam
penelitian lainnya tentang anak kembar yang cakupannya lebih luas, yang
baru-baru ini dilakukan, telah memberikan dukungan lebih lanjut terhadap
pengaruh genetik dalam perkembangan pengukuran pengukuran kecerdasan. Dalam
penelitian in 209 pasang kembaran telah dites dengan umur 5,7,10 & 12
tahun. Hasil dari beberapa tes IQ menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
heritabilitas bagi semua umur dan genetik menjadi pengaruh utama yang
menyebabkan stabilitas kemampuan kognitif, kembali dukungan ide terhadap
penetapan kecerdasan yang secara umum semakin meluas (Bartels, Rietveld, Van
Boal & Boomsma, D.2002).
Penelitian
oleh Al-Arcon, Knopik, & Defries (2000) terhadap kemampuan matematika anak
dan kemampuan – kemampuan kognitif secara umum mereka menemukan bahwa terdapat
90% faktor-faktor dalam matematika dan 80% faktor-faktor kognitif secara umum
yang dipengaruhi oleh genetik.
De
Gues, Wright, Martin & Boomsma (2001) menyediakan kesimpulan mengenai
penelitian tentang efek genetik yang berpengaruh terhadap ragam individu dan
kemampuan kognitifnya dan didapati bukti meliputi eksistensi yang cukup besar
terhadap pengaruh dari pada genetik.
2.2 Penelitian Familia
Penelitian
tambahan mengenai anak kembar, familia atau konship telah dilaksanakan, hal
tersebut menghadirkan partisipan yang memilikihubungan darah kembali alasan
disebabkan oleh adanya hubungan informasi genetik. Bouchard & McGue (1981)
meninjau ulang jumlah yang banyak dari kembaran dan penelitian familia yang mencoba
untuk menetukan faktor apakah yang paling berpengaruh di dalam perkembangan
kecerdasan. Penemuan mereka ditunjukkan pada tabel 4.2. peninjauan ulang
terhadap penelitian ini memberikan dukungan bagi faktor genetik, semakin dekat
hubungan genetik maka semakin tinggi korelasi skor IQ yang didapatkan.
Evaluasi
Jika
pertimbangan hasil yang diperoleh maka dapat ditinjau bahwa masih terdapat
sebuah korelasi yang belum sempurna, sehingga tidak semua skor IQ dapat
ditentukan oleh genetik. Juga sulit untuk memberikan batasan yang jelas antara pengaruh genetik dan lingkaran.
Saudara kandung dan kembaran yang diasuh bersama tidak hanya memiliki kesamaan
informasi genetik namun juga lingkungan yang sama, didalam perkembangan yang
lebih luas, sehingga sangatlah sulit untuk menetapkan jika pengaruh lingkungan
yang sama akan memberikan korelasi yang tinggi terhadap skor IQ. Tentunya
sangatlah egois jika diasumsikan bahwa informasi genetik yang samalah yang mempengaruhi skor IQ.
Akhirnya
terdapat sebuah keuntungan bagi kelompok yang sama dalam sejumlah penelitian
dan meninjau ulang hal tersebut, namun dalam melakukan sejumlah penelitian,
kamu akan digunakan secara bersama ke dalam test yang berbeda, oleh karena itu
sangatlah sulit untuk menjamin semua penelitian yang digunakan adalah sama dan
hal ini justru membuat hasil yang didapatkan menjadi pertentangkan.
2.3
Penelitian Adopsi
Metode
lainnya yakni penelitian terhadap anak yang diadopsi dan membandingkan skor IQ
mereka dengan anak lahir secara alami dari orang tua mereka ( anak kandung )
ataupun dari orang tua adopsi mereka. Kasusunya yakni anak- anak akan berbagi
informasi genetik dari orang tua asli mereka dan memperoleh informasi
lingkungan atau pengalaman mereka dari orang tua adopsi. Penelitian –
penelitian tersebut akan dijelaskan dan di evaluasi saat ini / sekarang.
Horn
(1983 ) melakukan sebuah penelitian di Texas dimana terdapat agen adopsi yang
sangat besar yang menyediakan data yang memungkinkan terjadinya penelitian ini.
Ibu – ibu tanpa nama yang anak – anak mereka (469 anak ) diadopsi sejak lahir
dan di IQ nya. Anak – anak tersebut di tempatkan pada 300 keluarga adopsi. IQ
para ibu yang mengadopsi juga di ukur. Korelasi IQ yang di dapatkan adalah 0,15
bagi ibu adopsi dan 0,28 untuk ibu kandung. Ini menunjukkan beberapa pengaruh
genetic terhadap kecerdasan.
Plomin
( 1988 ) menelusuri perkembangan anak – anak yang di ikut sertakan dalam
penelitian sebelumnya, dan meninjau ulang skor IQ mereka pada umur 10 tahun.
Mereka memiliki korelasi hanya 0,02 terhadap saudara adopsi mereka. Kembali hal
ini membuktikan bahwa lingkungan yang sama tidaklah terlalu berpengaruh di
bandingkan informasi genetik yang telah ada.
Stoolmiller
( 1998 ) memunculkan pertanyaan – pertanyaan terhadap rancangan projek
adopsi Texas dan menyatakan bahwa telah
terdapat sebuah peremehan yang keterlauan terhadap pengaruh dari faktor
lingkungan keluarga. Bagaimanapun pernyataan ini di perselisihkan oleh Loehlin
and Horn ( 2000 )
Evaluasi
Pembuktian
ini menyatakan bahwa biasanya terdapat korelasi yang tinggi antara anak dan
orang tua kandung dari pada orang tua adopsi mereka, hal ini menjadi bukti bagi
pengaruh faktor genetik. Bagaimanapun pada awal bab ini kita telah mengulas
proses yang cocok perihal adopsi. Jika lingkungan menjadi permasalahan yang
sulit untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap kecerdasan di bandingkan dengan
besarnya pengaruh genetik. Membandingkan saudara adopsi akan terlihat cacat
seakan hal ini mengasumsikan bahwa pengalaman anak didalam keluarga yang sama
adalah serupa, contoh: Lingkungan itu bersifat konstan. Penelitian Parental
menyatakan bahwa saudara kandung didalam keluarga yang sama akan memiliki
pengalaman yang mungkin sedikit berbeda satu sama lain. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pengalaman adalah :urutan kelahiran, jenis kelamin,
perangai/tabiat/kepribadian, dan pengalaman pengasuhan. Oleh karena itu, berada
dalam keluarga yang sama bukan berarti/tidak menjamin berada dalam lingkungan
yang sama, dan kembali terdapat sebagian dari hasil penelitian di pertanyakan.
Selanjutnya,
kaufman ( 1999 ) menyatakan bahwa IQ orang tua adopsi dengan anak yang tinggal
bersama mereka adalah ( 0,19 ) mirip dengan IQ dari orang tua kandung dan anak
yang hidup terpisah ( 0,22 ). Bertentangan dengan temuan Texas mengenai projek
adopsi dan tidak menyatakan bahwa genetik lebih berpengaruh dari pada
lingkungan jika hal tesebut merupakan kasus, tentunya hubungan tersebut mungkin
lebih tinggi.
III.
Faktor-
faktor Lingkungan
Sejauh
ini bukti yang menentang informasi genetik dalam penetapan kecerdasan telah
diulas. Evaluasi dari penelitian telah menyatakan bahwa lingkungan tentu saja
akan berpengaruh bagi sebagian tingkat penentuan kecerdasan. Bab ini kan
mendiskusikan beberapa faktor lingkungan dan mengulas kembali penelitian
Empiris yang dilakukan untuk menentukan pengaruh dari faktor-faktor dalam
pengukuran kecerdasan.
3.1
Penelitian Adopsi
Pada
sesi sebelumnya kita telah meninjau penelitian utama adopsi dalam menyelidiki
peranan genetik. Disini kita meninjau hal-hal tesebut untuk menyelidiki peranan
yang di mainkan oleh lingkungan.
Scarr
dan Weinberg ( 1983 ) menemukan bahwa anak adopsi memiliki skor IQ 10 atau 20
poin lebih tinggi ( rata-rata ) dari pada bersama orang tua kandungnya. Hal ini
mungkin di sebabkan oleh keluarga yang mengadopsi pada umumnya kemampuan
finansialnya lebih baik sehingga anak yang berada dalam lingkungan tersebut
dapat mengembangkan potensi mereka secara menyeluruh.
Scarr
dan Weinberg ( 1977 ) juga meneliti anak kulit hitam yang diadopsi oleh
keluarga kulit putih. Seperti di lansirkan sebelumnya, keluarga-keluarga
tersebut memilki kapasitas financial dan status pendidikan yang tinggi di
bandingkan dengan keluarga aslinya. Rata-rata IQ
anak kulit hitam yang
diadopsi 12 bulan setelah kelahiran ( umur 1 tahun ). Hal ini telah di
bandingkan dengan rata-rata IQ anak kulit hitam dengan latar belakang genetik
yang serupa namun memiliki latar belakang lingkungan orang miskin. IQ anak-anak
tersebut adalah 90. Dengan demikian, Scarr dan Weinberg menghasilkan bukti bagi
peranan dan sebuah lingkungan.
Schiff
et al. (1978 ) menemukan bahwa anak yang terlahir dari orang tua yang status
sosial nya rendah namun kemudian di adopsi oleh keluarga yang status sosial
ekonomi nya tinggi menunjukkan perolehan IQ yang signifikan ketika di bandingkan
dengan anak-anak yang tetap tinggal di lingkungan yang asli.
Capron
dan Duyme ( 1989 ) meneliti 38 anak-anak perancis yang di adopsi sejak bayi.
Setengah dari anak-anak tersebut memiliki orang tua biologis kelas menengah ke
atas, setengah nya lagi memiliki orang tua biologis yang bekerja atau kelas
rendah. Sebagian dari bayi-bayi tersebut di adopsi oleh keluarga dengan status
sosial tinggi di bandingkan orang tua biologis mereka, dan sebagian bayi lain
nya di bawa kepada keluarga dengan kelas sosial rendah. Anak-anak yang di asuh
di rumah-rumah kelas atas memiliki skor IQ 15-16 poin lebih tinggi di
bandingkan anak-anak yang berada di kelas bawah yang lebih rendah dari kelas
orang tua biologis nya . Penelitian ini menegaskan bahwa penting nya peranan
lingkungan dalam dalam mengembangkan pengukuran tingkat kecerdasan.
Evaluasi
Semakin
awal anak di adopsi, maka semakin baguslah kemampuan intelektual mereka yang
akan meningkat. Hal ini menyatakan bahwa lingkungan itu penting dan berpengaruh
ketika hal tersebut di laksanakan dalam kondisi/situasi yang tepat. Umur
kelihatan nya juga merupakan faktor yang penting. Bukti tersebut menyatakan
bahwa lingkungan sangatlah berpengaruh dalam umur “pre- school” ( sebelum
sekolah).
Penelitian
yang melibatkan anak-anak dari budaya yang berbeda di buka pembahasan nya. Tes
IQ telah di kritiskan dalam hal kebudayaan yang bias. ( perhatikan nanti di
bawah teks bias ). Pemikiran di dasari di sekitaran nilai kelas menengah kulit
putih, ide-ide dan pengalaman-pengalaman. Oleh karena itu, peningkatan
anak-anak kulit hitam mungkin tidak menjadi peningkatan intelektual yang tepat.
Mereka mungkin tidak memiliki penambahan kecerdasan, namun dikarenakan mereka
di bawa ke dalam sebuah keluarga kulit putih, faktor-faktor di ukur oleh tes IQ
menjadi semakin di kenal sehingga mereka tampil dengan baik. Misal nya: saya
mungkin akan gagal pada tes menulis di dalam bahasa yang berbeda, namun jika
hal tersebut di terjemah kan saya akan lulus. Sama hal nya jika sebuah tes
menggunakan objek dan contoh yang tak diketahui saya gagal, jika saya merujuk
kepada objek dan contoh yang saya kenal saya mungkin akan lulus. Saya tidak
semakin cerdas, saya hanya lebih memahami kaidah peraturan.
Keluarga
adopsi secara umum lebih sedikit dan mempunyai status financial dan pendidikan
yang lebih baik. Faktor-faktor tersebut menjadikan pengaruh lingkungan tampak
lebih kuat.
Meskipun
penelitian yang dilakukan oleh Capron dan Duyme ( 1989 ) menyatakan pentingnya
aspek lingkungan, faktor-faktor genetik juga merupakan hal yang penting dalam
penelitian ini. Anak-anak yang orang tua biologisnya berasal dari latar
belakang status sosial ekonomi nya tinggi memiliki IQ yang lebih tinggi di
bandingkan anak-anak yang orang tua biologisnya ( kandung ) berasal dan latar
belakang status sosial ekonomi yang rendah, tanpa pengaruh lingkungan.
3.2
Penelitian Familial ( kekeluargaan )
Kaufman
( 1999 ) menyediakan bukti untuk menyatakan
pentingya pengaruh lingkungan terhadap referensi dari penelitian
keluarga. Dia menemukan bahwa korelasi saudara kandung yang di asuh bersama ( 0,47 ) lebih tinggi
dari pada mereka yang di asuh terpisah (
0,24 ). Dia juga mendapati hal yang serupa
bahwa anak dan orang tua yang hidup bersama memiliki korelasi skor IQ
yang lebih tinggi ( 0,42 ) di bandingkan mereka yang tumbuh terpisah ( 0,22 ).
Hal ini menunjukkan bukti bahwa perkembangan pengukuran tingkat kecerdasan.
Jika faktor lingkungan tidaklah penting, maka skor yang didapatkan pada kedua
hal tersebut seharusnya mirip.
Evaluasi
Korelasi
yang di nyatakan masih sedikit rendah dan faktor-faktor lain juga mempengaruhi
perkembangan IQ.
3.3
Status Sosial ekonomi
Faktor
lain yang diselidiki adalah status sosial ekonomi ( SES ). Beberapa penelitian
di sediakan untuk di tinjau seandainya terdapat hubungan antara status sosial
ekonomi dengan tingkat kecerdasan.
Bernstein
( 1971 ) menyatakan bahasa antara keluarga yang SES rendah dan keluarga yang
SES nya tinggi adalah berbeda. Dia menyatakan dalam penelitian nya bahwa anak
yang berasal dari keluarga yang SES nya rendah memiliki batasan kode bahasa
sedangkan mereka yang berasal dari keluarga yang SES nya tinggi memiliki kode
bahasa yang mendetil. Maksud nya adalah anak dari keluarga SES yang rendah
bahasa mereka merupakan konsep abstrak yang rendah, yang menjadikan proses
informasi sulit. Disini Bernstein menyatakan berpengaruh pada perkembangan
kognitif dan kecerdasan verbal mereka, dan argumen ini menyatakan ide bahwa
kecerdasan ternyata mempunyai hubungan dengan status sosial ekonomi.
Penelitian kejuruan
Longitudinal, mengikuti perkembangan anak sejak lahir hingga remaja, dilakukan
oleh Sameroff et.al ( 1987 ). Hal ini di kenal dengan sebutan penelitian
Rochester Longitudinal dan di mulai sejak tahun 1970.
Penelitian ini
menyertakan sekitar 200 anak. Penelitian ini mengidentifikasikan 10
faktor-faktor yang mempengaruhi skor IQ. Faktor-faktor tersebut bukanlah
pengaruh genetik namun lingkungan. Mereka adalah :
Ø Keadaan
mental pengasuhan yang sakit
Ø Kegelisahan
/ keinginan serius pengasuhan
Ø Ayah
yang tinggal jauh dari keluarga
Ø Anak
yang menjadi anggota mineritas grup
Ø 4
atau lebih anak di keluarga
Ø Banyak
nya tekanan pengasuhan yang di berikan walaupun pada anak libur sekolah
Ø Kurangnya
sifat ke ibuan dan kurangnya perhatian positif
Ø Kebiasaan
pengasuhan yang kaku dalam perkembangan anak
Ø Kurang
nya pendidikan lanjut bagi para orang tua
Ø Miskin
nya pelayanan pengasuhan
Semakin
banyak faktor yang dirasakan oleh seorang anak, maka semakin rendahlah skor IQ
yang mereka dapatkan. Setiap faktor tampak nya mengurangi IQ sebanyak 4 poin.
Evaluasi
Labow
( 1970 ) mengkritisi percobaan Bernstein yakni memulai hal yang membingungkan
dengan menghilangkan Linguisrik dan sosial. Hal itu, kemampuan bahasa yang
rendah tidak lah sama dengan rendah nya lingkungan sosial. Labou juga menyatakan
bahwa Bernstein telah gagal dalam mengambil perhitungan pada penelitian tanpa
standar bahasa inggris. Beberapa anak menggunakan bahasa inggris yang berbeda
dari yang lain dan hal tersebut tidaklah di perhitungkan.
Meskipun
penelitian Sameroff seakan menunjukkan bukti bahwa tingkat kecerdasan IQ
berhubungan dengan status sosial ekonomi, hal tersebut tentunya menunjukkan
faktor-faktor asosiasi yang di sertai dengan rendah nya status sosial ekonomi
suatu kelompok, bukan pada status sosial ekonomi itu sendiri memberi dampak
pada IQ.
Faktor
lainnya yang menganggap sosial ekonomi rendah suatu kelompok mungkin secara
genetik memiliki kecerdasan yang kurang yakni mengapa mereka tidak menerima
pendidikan dan oleh sebab itu menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan ( skill )/ semi skill pegawai dan menjadi bagian dari kelas rendah.
Hal ini kemudian menjadi alasan bagi genetik bukan lingkungan. Jika kecerdasan
ditentukan oleh genetik tentu secara logika bahwa orang-orang tersebut yang IQ nya rendah memiliki status
sosial ekonomi yang rendah. ( Flanagan, 1977 ).
Faktor
lain yang bukan genetik bias di kaitkan dengan hubungan pengasuhan. Orang tua
memiliki pengaruh yang kuat terhadap lingkungan dimana anak-anak berkembang,
Sesi selanjut nya akan membicarakan tentang berbagai hal lain yang menjadi
faktor lingkungan bagi pengaruh kecerdasan.
3.4
Diet
Benton dan Cook (1991) menyediakan
sekelompok anak dengan suplemen vitamin dan sekelompok grup control diberikan
“placebos”. Ketika IQ anak dites, anak-anak yang mendapatkan suplemen memiliki
peningkatan IQ skor 7,6 poin dan placebos grup menurun hingga 1,7 poin.
Penelitian ini menjadi lebih membutakan dan oleh karena itu anak-anak tidak
mengetahui apa yang mereka anggap. Hasil tersebut sedikitnya mampu membandingkan.
Daley, Whaley, Sigmen, Epinosa dan
Neumann (2003) mencatat bahwa banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat
IQ bisa bertambah dari waktu ke waktu peningkatan ini dikenal dengan istilah
Efek Flynn. Mereka menyatakan bahwa hasil dari 20 industrial nasional telah
menunjukkan peningkatan IQ yang luas setiap waktu. Mereka menyatakan bahwa
diantara penyebab dari meningkatnya hal tersebut adalah dikarenakan nutrisi
yang baik pada anak. Penelitian akan membantu untuk menjelaskan mengapa anak
yang memiliki IQ rendah pada kelompok yang SES nya rendah, laksana diet lebih
kerap terjadi pada orang-orang miskin sehingga hal tersebut mungkin berpengaruh
bagi IQ mereka.
Berkman, Lescano, Gilman, Lopez dan
Black (2002) menginvestasikan efek kronis malnutrisi (kurang gizi) bagi
kemampuan kognitif. Mereka mengetes anak dengan umur 9 tahun dan mendapati
bahwa mereka yang miskin diet dan memiliki pertumbuhan ketangkasan pada umur 2
tahun dengan skor 10 poin lebih rendah dites kognitif pada umur 9 tahun dari pasangannya
yang tidak kekurangan nutrisi. Black menyatakan bahwa penelitian ini menekankan
aspek penting dari nutrisi bagi anak dibawah 3 tahun, kembali menyediakan bukti
bagi hubungan antara diet dan kemampuan kognitif.
Penelitian dilakukan kepada anak yang hidup
di Shanty House di India menunjukkan bahwa malnutrisi sebelum umur 6 bulan
secara signifikan menyebabkan IQ (Choudhary, Sharma, Agarwal, Kumar, Sreenivas,
& Puliyel, 2002) kembali menyatakan hubungan antara diet yang terlalu dini
dengan kecerdasan.
Bentun (2001) mengomentari penelitian
yang telah ditela’ah yakni menyelediki hubungan antara suplemen bernutrisi
dengan tingkatan kecerdasan anak.
Sepuluh penelitian dari 13 penelitian
memberikan respon positif terhadap suplemen tersebut minimal pada tes sampelnya.
Bukti tersebut menyatakan bahwa tidak semua anak memberikan respon terhadap
suplemen namun minoritas asak-anak memberikan respon, dan hal tersebut juga
memberi efek khusus terhadap perkembangandan kemampuan non verbal anak.
Bagaimanapun, hal tersebut tampak
memberi tanggap terhadap diet anak yang terdiri dari tingkatan nutrisi yang
rendah. Hal tersebut mungkin memberikan hasil yang menunjukkan level normal
bagi fungsi diet yang normal.
Evaluasi
Sebuah
masalah dengan penyelidikan terhadap diet adalah hal tersebut sulit dimonitir
atau dilacak secara menyeluruh terhadap diet perorangan dan hasil dari
disempurnakannya fasilitas makanan secara pasti. Hal ini membuat kesimpulan
mengenai hubungan antara diet dan kecerdesan menjadi tanda tanya. Permasalahan
lain yaitu mengilustrasikan efek adari faktor-faktor diet yang lain haruslah
konstan, untuk menunjukkan bahwa diet menghasilkan suatu perbedaan. Hal
tersebut adalah sulit untuk memantau seluruh aspek lingkungan dan oleh sebab
itu sulit untuk menunjukkan bahwa diet merupakan faktor yang menentukan
argument ini dapat ditinjau jika kita kembali ke penelitian sebelumnya
anak-anak india yang hidup dikota Shanty. Walaupun diet dini diidentifikasikan
sebagai penetapan aspek yang menunjukkan IQ, begitu pula halnya terhadap
pendidikan pre-sekolah dan tempat tinggal.
Anak-anak
pada tempat tinggal permanen memiliki IQ yang lebih tinggi dan mereka mungkin
kerap menghadiri pre-sekolah (TK/Playgroup). Sama halnya penelitian yang
dilakukan pada Efek Flynn mengiidentifikasikan kemampuan menulis dan membaca
pada orang tua dan struktur keluarga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat kecerdasan IQ. Tampaknya sulit untuk memetapkan hubungan antara
faktor-faktor lingkungan dengan IQ.
3.5
Stimulasi pengasuhan
Hart
dan Risley (1995) melakukan penyelidikan perkembangan dalam jangka waktu yang
lama, mereka memfokuskan kepada interaksi verbal. Mereka menemukan bahwa semua
anak mulai belajar berbicara pada umur yang sama namun akan tampak berbeda pada
umur 3 tahun.
Anak-anak
yang berasal dari keluarga profesional memiliki kosa kata yang lebih luas dari
pada anak yang keluarganya berasal dari kelas pekerja. Hart dan Risley
menghubungkan kebiasaan pengasuhan. Mereka menyatakan hubungan antara stimulasi
pengasuhan orang tua dan perkembangan bahasa.
Caldwell
dan Bradley (1978) menemukan korelasi atau hubungan antara skor IQ yang tinggi
dengan faktor-faktor berikut : pengaru pengasuhan emosional, penetapan materi,
permainan yang sesuai, kemampuan untuk bermain dan belajar, harapan orang tua.
Skor IQ yang bagus dihubungkan kepada orang tua-orang tua yang menyediakan
penerimaan dan pembelajaran untuk anak. Caldwell dan Bradley mengembangkan
ukuran yang disebut “Home Observation” untuk mengukur lingkungan (HOME). Mereka
mendapati skor yang rendah dalam skala HOME bagi korelasi bayi terhadap skor IQ
rendah di sekolah
Crandell
dan Hobson (1999) menemukan bukti untuk menghubungkan antara pengaru perasaan
(latihan) terhadap IQ. Sampel dari 36 ibu-ibu yang dibagi kedalam dua grup
dasar terhadap respon wawancara dan question terhadap “attachment”. Ibu=ibu
tersebut diberikan tes IQ dan anak-anak diberikan versi secara singkat.
Interaksi ibu-anak ditarukan di video tip. Anak yang ibunya terjamin bernilai
19 poin lebih tinggi dalam tes. Dan sub-grup yang selamat 12 poin dan 12 bagi
ibu yang tidak terjamin 12 poin bagi skor IQ, disana masih terdapat skor IQ
diantara anak-anak yang signifikan. Hal ini menyatakan “attachment atau
penyampaian perasaan” memiliki pengaruh lebih besar terhadap IQ dibandingkan
hal pengasuhan. Penelitian ini menekankan pentingnya “attachment” dan
sosialisasi lingkungan anak didalam perkembangan pengukuran kecerdasan.
Sigman
et 21 (1988) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak-anak dengan IQ yang
tinggi berbicara kepada mereka kerap dan banyak, mendetil dan tata cara yang
akurat, satu hal lagi yang mengilustrasikan pentingnya stimulasi pengasuhan. Laundry et 21 (1996) menemukan bahwa
orang tua yang memiliki anak dengan IQ yang tinggi bekerja di 2PD (perbaikan
bab 3) mereka berbicara kepada anak-anak mereka diatas standar rata-rata
pemehaman dan menggunakan strategi untuk menolong mereka mempelajari skill atau
kemampuan yang baru. Pianta dan Egeland (1994) menemukan bahwa orang tua –orang
tua yang anaknya memiliki IQ yang tinggi menyediakan permainan dan mainan yang
sesuai dengan umur mereka.
Projek
yang dinamakan “Projek Abecedanan” mengikut sertakan bayi-bayi dari level
family atau keluarga miskin yang ibu-ibu mereka memiliki skor IQ yang rendah.
Anak-anak ditetapkan pada salah satu dari dua grup-grup kontrol dan penelitian.
Di dalam kontrol grup, anak-anak diberikan suplement nutrisi dan perawatan
medis. Di dalam grup percobaan, anak-anak diberikan kedua hal tersebut, faktor
tersebut namun diperkaya dengan perawatan harian. Hal ini dimulai sejak anak
berumur 6-12 minggu dan dilanjutkan hingga anak mencapai usia TK. Skor IQ lebih
tinggi terdapat pada eksperimental grup disetiap pengetesan antara 2 hingga 12
tahun yakni 44% untuk kontrol grup dengan IQ skor yang lebih luas dibandingkan
eksperimental grup yang hanya 12,8% (Ramey dan Campbell, 1987, Ramey, 1993).
Penelitian
ini kembali memperlihatkan bagaimana pentingnya lingkungan dalam perkembangan
pengukuran kecerdasan. Tentu saja lingkungan yang kaya akan memberikan pengaruh
yang lebih daripada supplement dan perawatan medis.
Evaluasi
Kembali
hal ini disadari bahwa anak-anak mungkin akan menerima stimulasi dan pendidikan
yang lebih sebagai penyemangat sebagai akibat dari tingginya IQ para orang tua.
Hal demikian menyatakan bahwa orang tua yang memiliki IQ yang tinggi akan lebih
menekankan pada hal edukasi atau pendidikan dan stimulasi. Dengan denikian, hal
tersebut secara otomatis memberikan argument terhadap lingkungan-lingkungan
mungkin akan terbentuk dikarenakan penetapan genetik IQ yang tinggi.
Ini
penting untuk menyadari finansial sebagai sebuah faktor. Orang tua dengan IQ
yang tinggi mungkin memiliki karir yang lebih baik dan oleh karena itu akan
menentukan pendapatan mereka. Ini menjadikan penyediaan sarana permainan dan
belajar yang sesuai dengan dukungan pendidikan ekstra.
Hal
ini harus dicatat bahwa “attachment” merupakan subjek kontroversi yang tinggi.
Di dalam penelitian Crandell dan Hobson asumsi adalah suatu hal yang berbeda
dalam lingkar IQ biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal
“attachment”. Bagaimanapun permas dengan hal “attachment” akan mengindikasikan
permasalahan pada area social yang lain dan lingkungan emosi bagi anak, yang
akan menjadi latar yang terfokus pada “attachment”.
Plomin
dan Petrill (1997) menyatakan bahwa setengah dari HOME prediksi atas perbedaan
kemampuan kognitif pada anak dapat dihitung untuk genetik dan faktor
non-lingkungan.
3.6
Urutan
kelahiran
Zajonc
dan Markus (1975) meneliti tentang urutan kelahiran dan IQ, dan meninjau
kembali skor dari 40.000 lelaki Belanda. Mereka menemukan bahwa skor IQ yang
mundur dikarenakan pengaruh dari jumlah anggota keluarga dan urutan kelahiran.
Ini mungkin disebabkan oleh anak-anak yang terlahirkan dari orang tua-orang tua
harus berbagi perhatian dan waktu yang lebih banyak, dan kerap kali hal
finansial menjadi kendala.
Zajonc
(2001) membentuk sebuah model yang disebut model pertemuan. Model ini
menyatakan bahwa kecerdasan dari setiap anggota keluarga bergantung kepada
anggota keluarga lainnya. Dia menyatakan bahwa setiap anak yang urutan
kelahirannya semakin akhir akan mendapatkan pengaruh kecerdasan lingkungan yang
semakin rendah, dan hal tersebut lingkungan intelektual yang tinggi terbentuk
dari rendahnya jumlah anggota keluarga. Alas an tersebut menyatakan bahwa anak
yang pertama lahir memiliki IQ lebih tinggi dan berperan sebagai tutor bagi
saudara kandungya yang lain, oleh karena itu ajari dan jelaskan hal-hal yang
penting kepada mereka dengan sendirinya akan meningkatkan pemahaman dan IQ
mereka. Dengan sendirinya anak yang paling kecil tidak butuh memaparkan ide
dikarenakan yang lainnya akan menjelaskan ide, dan yang lainnya selalu bersedia
untuk memberikan jawaban, oleh karena itu, anak yang paling kecil tidak
melakukan hal tersebut, sehingga dia tidak terlalu perlu selalu banyak untuk
berpikir dan mengembangkan skill tersebut.
Evaluasi
Hubungan
antara urutan kelahiran dan kecerdasan telah secara ketat diperdebatkan. Lowery
(1995) mengetes kecerdasan murid-murid dan mengumpulkan informasi mengenai
urutan kelahiran. Dia menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
urutan kelahiran dan kecerdasan. Rodgers, Cleveland, Vanden Oord dan Rowe
(2001) mengklaim hubungan antara urutan kelahian dan kecerdasan hanyalah ilusi,
dan dalam penelitian tersebut ditemukan tidak ada hubungan yang konsisten
diantara faktor-faktor tersebut.
IV.
PERKEMBANGAN
TERBARU DALAM HAL PENELITIAN KECERDASAN
4.1 Pendekatan “psychometric”
terhadap kecerdasan
Argumen
untuk dan melawan pentingnya faktor genetik dan lingkungan dalam perkembangan
dan pengukuran kecerdasan telah diulas. Bagaimanapun, seperti yang dilansirkan
pada pendahuluan, perdebatan mengenai perbedaan tingkat kecerdasan yang asli
telah masuk ke area yang baru dan berpindah pada fokus pertanyaan yang lebih
baru dan lebih penting.
Kline
(1991) adalah seorang yang mendukung pendekatan psychometric terhadap
kecerdasan. Pendekatan ini merupakan usaha untuk mengidentifikasikan hubungan
antara aspek-aspek berbeda bagi kecerdasan. Pendekatan ini akan menyatakan
bahwa seseorang yang terlihat cerdas akan memiliki skor yang tinggi terhadap
pengukuran kecerdasan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, hal tersebut dapat
dilihat untuk mendapatkan faktor kecerdasan yang umum. Pendekatan psychometric
menyatakan bahwa faktor umum dapat dikenal dengan lambing “g” dan “g” merupakan
bentuk umum dari seluruh pemecahan masalah kemampuan. Pendekatan psychometric
menyatakan “g” akan dikombinasikan dengan kemampuan yang lebih spesifik di
dalama area tertentu untuk menghasilkan orang-orang yang cerdas di bidang
tersebut. Sebagai contoh, seorang musisi yang sempurna akan mempunyai “g” +
faktor music, seorang ahli matematika akan punya “g” + faktor matematika. Oleh
karena itu, Kline menyatakan bahwa terdapat faktor umum dalam kecerdasan, yang
secara fundamental menjadi pemecahan masalah dalam berbagai area, dan hal
tersebut dikombinasikan dengan kemampuan yang spesifik. “g” dibentuk
berdasarkan 2 macam kecerdasan –kecerdasan yang berubah-ubah dan kecerdasan
yang tetap. Kecerdasan yang berubah-ubah merupakan kemampuan dasar yang
beralasan. Kecerdasan yan tetap adalah kemampuan yang ditunjukkan melalui hasil
kerja (skill) oleh budaya dimana manusia tinggal. Jadi, seorang mungkin memilii
kemampuan dasar matematika namun hal tersebut ditunjukkan dan dikenal ketika
mereka menjadi seorang akuntan.
Pendekatan
psychometric menyatakan bahwa 70% perbedaan kecerdasan dipengaruhi oleh faktor
biologis dan 30% dari faktor lingkungan (Sternberg dan Wagner, 1986). Pendekatan
ini berlanjut ke dasar perdebatan natural-natural dan menyediakan sebuah
penjelasan bagi kecerdasan. Bagaimanapun, hal tersebut telah dkiritisi untuk
tidak menjelaskan apakah sebenarnya “g” itu dan bagaimana cara kerjanya
(Sternberg, 1986). Juga seperti yang akan kita diskusikan, kecerdasan
berkembang melalui perjalanan hidup dan bukan kedewasaan yang singkat, dan hal
ini sulit untuk dijelaskan dalam pendekatan psychometric.
D. KESIMPULAN
1. Secara
umum kecerdasan ditinjau dari berbagai macam kemampuan dalam memperoleh
informasi, berpikir dan beralasan secara baik & efektif serta sesuai dengan
lingkungannya.
2. Faktor
– faktor yang mempengaruhi
pengukuran kecerdasan ada dua
yaitu factor genetic dan faktor lingkungan
3. Penelitian
mengenai faktor genetik dalam pengaruh tingkat kecerdasan yaitu penelitian anak
kembar, penelitian familia, penelitian adopsi.
4. Penelitian
mengenai factor lingkungan dalam pengaruh tingkat kecerdasan yaitu penelitan
adopsi, penelitan familia, status social ekomomi, diet, stimulasi pengasuhan,
dan urutan kelahiran.
Oakley,
L. (2004). Cognitive Development.
London & New York : Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar