1. Pengertian “ intelegensi” menurut para ahli :
Ø Menurut
Kaufman (1999) anak yang tinggal bersama orang tua kandung dengan anak yang
tinggal dengan orang tua angkat berbeda dalam hal perkembangan IQ. Hal ini
membuktikan bahwa pentingnya pengaruh factor-faktor genetika terhadap factor
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan.
Ø Menurut
Plomin (1988) perkembangan intelegensi tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Ø Berdasarkan
survey yang dilakukan oleh Scarr dan Weinberg anak-anak yang hidup dengan orang
tua angkat lebih berkembangnya IQ nya daripada anak-anak yang hidup dengan orang
tua kandung. Ini dapat disebabkan karena
factor ekonomi sehingga si anak dapat
belajar lebih baik bersama orang tua angkat sehingga jelaslah bahwa factor
lingkungan turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak.
Ø Menurut
Cardwell, Clark, & Meldrum (2000:460) intelegensi adalah kemampuan untuk mendapatkan
dan menerima informasi, untuk berpikir dan memberi
alasan secara efektif, serta menyesaikan informasi tersebut dengan
lingkungan sekitarnya.
Ø Menurut Richardson(1999), pengetahuan berasal dari
pengalaman yang kemudian memasuki proses penalaran sehingga menjadi lebih terstruktur dan
empiris lalu berkembang menjadi
intelegensi yang dipengaruhi oleh factor
genetik.
Ø Menurut
Segal, WeifeldG. & Weisfeld, C., (1997) intelegensi diperoleh sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dan faktor-faktor genetik.
Ø Jadi,
dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah kemampuan individu untuk mempelajari
pengalaman baru, menalar dengan baik, untuk selanjutnya dapat menyelesaikan masalah secara efektif
yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
2.
Faktor
– faktor yang mempengaruhi intelegensi (kecerdasan) terdiri atas dua faktor
yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan
Faktor Genetik
Faktor
genetik merupakan faktor alami berupa segala
hal yang yang diwariskan atau berdasarkan keturunan. Contoh – contoh factor
genetic adalah sebagai berikut:
ü Faktor anak kembar
Berbagai
penelitian dirancang untuk mengintesvigasikan perkembangan pengukuran tingkat
kecerdasan termasuk anak kembar. Penyebab dari penelitian ini yakni untuk
mencoba membandingkan setiap individu yang saling berbagi genetik yang satu
sama lain. Dalam hal ini diharapkan para peneliti mampu untuk menggambarkan
kesimpulan mengeni factor – factor apakah yang lebih berpengaruh terhadap
kecerdasanu, factor genetic ataukah factor lingkungan. Suatu cara untuk
membandingkan orang – orang yakni dengan menggunakan skor IQ. Dalam t
pengukuran skor IQ seseorang akan diberikan tes untuk orang tersebut, tes
tersebut akanmengukur beberapa factor seperti logika matematika, kemampuan
verbal dan sebagainya. Ketika tes selesai dilaksanakan maka IQ dari seseorang
akan dapat dihitung, secara umum semakin tinggi skor yang dimiliki semakin
tinggi pula kecerdasan yang dimiliki. Bagaimanapun sangatlah penting untuk
menyadari bahwa terdapat beberapa permasalahan pada tes IQ. Penadapat yang
merujuk kepada genetika dan alam diinvestasikan menggunakan tes IQ. Jika orang
– orang yang memiliki genetikyang sama namun memiliki skor IQ yang berrbeda
maka hal ini dapat dinyatakan bahwa lingkungan berpengaruh membentuk kecerdasan.
Kembaran
monozygot ( MZ ) berbagi material genetik yang sama dikarenakan mereka
berasal dari satu telur sehingga disebut “Kembar Identik”.
Kembaran dizigot
(Dz) berasal dari telur yang berbeda
satu sama lain sehingga genetik mereka mirip dengan saudara kandung, yang
membedakan hanyalah mereka saling berbagi pengalaman di masa-masa sebelum
kelahiran, tidak seperti saudara kandung lainnya yang dikandung secara
terpisah.
Biasanya
dalam penelitian skor IQ dari dua orang yang kembar akan dibandingkan dan
menghasilkan sejumlah korelasi. Sebuah korelasi yang berangkakan 1 merupakan
korelasi yang sempurna dan artinya skor
kedua orang tersebut sama persis. Semakin menjauh dari angka korelasi 1, maka
semakin berkurang korelasi/hubungan yang dimiliki. Sebagai contoh, sebuah
penelitian yang menghasilkan korelasi 0,89 akan menunjukkan tingkat korelasi
yang tinggi antara dua skor IQ, sebaliknya hasil dan korelasi 0,2 menunjukkan
tingkatan hubungan atau kemiripan yang rendah antar skor-skor tersebut.
Shield
(1962) melakukan salah satu perlakuan yang paling awal dan sangat terkenal
dalam penelitian anak kembar. Shield mencetuskan mengenai hal disertakannya
anak kembar dalam suatu percobaan dengan menyediakan sampel 44 kembaran,
sebagian anak kembar akan tinggal bersama dan sebagian lainnya akan dipisahkan
dari kembarannya. Tingkatan IQ dari kembaran-kembaran tersebut di tes dan
dibandingkan, korelasi kembaran Mz adalah 0,77 untuk kembaran yang dipisahkan
dan 0,76 untuk kembaran yang tumbuh bersama. Hal ini menunjukkan bahwa
lingkungan tempat mereka tumbuh sedikit
berperan dalam kecerdasan dikarenakan kolerasinya yang hampir identik. Jika
lingkungan berpengaruh kepada faktor perkembangan kecerdasan maka kita harapkan
perbedaan antara kolelasi tersebut menjadi lebih besar.
Evaluasi
Penelitian
ini tampaknya menyediakan bukti yang jelas bahwasanya kecerdasan dipengaruhi
oleh faktor genetik namun hal ini dikritisi habis-habisan oleh prinsip kamin
(1977).
Dia
menyatakan bahwa sampel yang disediakan shield sangatlah kecil. Juga menjadi
pernyataan bahwa sebagian anak kembar tumbuh bersama dan sebagian lagi
dipisahkan justru patut dipertanyakan. Tidak terdapat pengklasifikasian yang
jelas ketika kamin (1977) meninjau ulang penelitian itu, ditemukan bahwa kerap
kali kembaran yang dikatakan diasuh secara terpisah tentunya telah menghabiskan
sejumlah waktu secara bersama-sama.
Kembaran-kembaran
Mz hanya diasuh terpisah setelah berumur 1 tahun, dan kerap diadopsi oleh sanak
saudaranya, dan tentunya akan saling menjenguk satu sama lain. Hal ini juga
diketahui bahwa agen adopsi mencoba untuk mencocokkan keluarga adopsi dengan si
anak, dalam hal mencocokkan tempat
merupakan suatu usaha dimana anak
ditempatkan pada lingkungan yang sama untuk membuat adaptasi menjadi mudah.
Oleh karena itu hal tersebut tidak
mungkin dikatakan bahwa lingkungan tempat pengasuhan anak kembar
tersebut sangatlah berbeda hanya karena mereka diasuh secara terpisah. Isu
ketiga yakni sama halnya dengan digaet yang dituduh melakukan percobaan yang
bias, juga korelasi sempurna yakni satu (1), jadi catatan faktor apakah yang menjadi
perbedaan antara hasil penelitian shieds dan 100? Bisa saja percobaan yang
disebabkan oleh faktor lingkungan
sehingga faktor lingkungan dapat ditinjau sebagai hal yang berpengaruh. Asumsi bahwa kembarna Mz adalah identik juga
menimbulkan pertanyaan, mereka mungkin saja memiliki perbedaan pengalaman lahir
oleh juga diasuh dan memiliki hubungan berbeda dengan orang tua yang berbeda.
Keseluruhan dari pengalaman mereka itu tidak dapat dikatakan identik secara
menyeluruh dan oleh karena itu mereka tidaklah identik secara menyeluruh
(Flanagan, 1977).
Penelitian
lainnya yang menggunakan anak-anak kembar sebagai perlakuan. Kaufman (1999) dan Bounchard dan
McGue (1988) meninjau ulang perlakuan dari beberapa penelitian. Pederson etal
(1992) meninjau ulang adopsi orang-orang swedia / pembelajaran pertumbuhan anak
kembar, dan New man et al (1928) juga menginvestasikan perbedaan IQ pada
kembaran Mz dan Dz. Hasil dari penelitian – penelitian ditunjukkan pada tabel
4.1. tabel mengindikasikan apa tipe sampel kembaran yang disediakan, apa
kondisi tempat mereka tumbuh, misalnya bersama
atau terpisah dan kolerasi antar skor IQ yang mereka miliki setelah
tahap pengetesan.
Hasil
dari penelitian ini menyatakan bahwa faktor genetik lebih mempengaruhi tingkat
kecerdasan dari pada faktor lingkungan, layaknya kembaran dengan genetik
material yang sama (Mz) memiliki korelasi yang
lebih tinggi dan pada kembaran (Dz) sebagiamanapun pertumbuhan yang
mereka tempuh ini menyatakan bahwa faktor-faktor genetik lebih penting menentukan tingkatan
kecerdasan. Pederson et al (1952) menyatakan bahwa sekitar 80% IQ itu diwarisi.
Dalam
penelitian lebih lanjut oleh Bounchart et.al (1990) meninjau ulang terhadap 100
kembaran di Memisota yakni penelitian terhadap kembaran yang diasuh secara terpisah.
Mereka menemukan bahwa sekitar 70% skor IQ ditentukan oleh faktor genetik. kaufman (1999) menyatakan
bahwa persentasi heritablitas bagi IQ sekitar 50% lagi-lagi hal ini mendorong
pembuktian terhadap pengaruh genetik bagi kecerdasan.
Bagaimanapun
jika kita meninjau ulang kesalahan yang diperbuat dalam penelitian shields,
bisa dikatakan bahwa hal tersebut mungkin sama dengan pengaplikasian yang telah
dilakukan dalam beberapa penelitian. Hal tersebut disebabkan juga oleh
penggunaan sampel yang kecil, asumsi / pernyataan tentang kembaran yang tumbuh
terpisah padahal masih terdapat beberapa
kontak / komunikasi yang berlangsung gagal dalam mengakui proses pencocokan
adopsi/percobaan yang bias, gagal untuk mengakui bahwa kembaran identik tidak
memiliki pengalaman yang identik dan gagal untuk mengomentari kekurangan dari
korelasi yang sempurna.
Di
dalam banyak penelitian kembaran baru-baru ini di Australia didapati bahwa
minimal 50% dan mungkin saja 65% dari beragam pendidikan/edukasi yang didapati
mampu berdistribusi terhadap genetik. Penelitian ini menyatakan bahwa hanya 25%
dari variasi edukasi / pendidikan yang mungkin dapat menjadi faktor lingkungan
(Miller, Muluey, & Maltin, 2001). Penelitian ini menyediakan dukungan bagi
pengaruh genetik terhadap kecerdasan dan pencapaian pendidikan.
Didalam
penelitian lainnya tentang anak kembar yang cakupannya lebih luas, yang
baru-baru ini dilakukan, telah memberikan dukungan lebih lanjut terhadap
pengaruh genetik dalam perkembangan pengukuran pengukuran kecerdasan. Dalam
penelitian in 209 pasang kembaran telah dites dengan umur 5,7,10 & 12
tahun. Hasil dari beberapa tes IQ menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
heritabilitas bagi semua umur dan genetik menjadi pengaruh utama yang
menyebabkan stabilitas kemampuan kognitif, kembali dukungan ide terhadap
penetapan kecerdasan yang secara umum semakin meluas (Bartels, Rietveld, Van
Boal & Boomsma, D.2002).
Penelitian
oleh Al-Arcon, Knopik, & Defries (2000) terhadap kemampuan matematika anak
dan kemampuan – kemampuan kognitif secara umum mereka menemukan bahwa terdapat
90% faktor-faktor dalam matematika dan 80% faktor-faktor kognitif secara umum
yang dipengaruhi oleh genetik.
De
Gues, Wright, Martin & Boomsma (2001) menyediakan kesimpulan mengenai
penelitian tentang efek genetik yang berpengaruh terhadap ragam individu dan
kemampuan kognitifnya dan didapati bukti meliputi eksistensi yang cukup besar
terhadap pengaruh dari pada genetik.
Penelitian Familia
Penelitian
tambahan mengenai anak kembar, familia atau konship telah dilaksanakan, hal
tersebut menghadirkan partisipan yang memilikihubungan darah kembali alasan
disebabkan oleh adanya hubungan informasi genetik. Bouchard & McGue (1981)
meninjau ulang jumlah yang banyak dari kembaran dan penelitian familia yang
mencoba untuk menetukan faktor apakah yang paling berpengaruh di dalam
perkembangan kecerdasan. Penemuan mereka ditunjukkan pada tabel 4.2. peninjauan
ulang terhadap penelitian ini memberikan dukungan bagi faktor genetik, semakin
dekat hubungan genetik maka semakin tinggi korelasi skor IQ yang didapatkan.
v Evaluasi
Jika
pertimbangan hasil yang diperoleh maka dapat ditinjau bahwa masih terdapat
sebuah korelasi yang belum sempurna, sehingga tidak semua skor IQ dapat
ditentukan oleh genetik. Juga sulit untuk memberikan batasan yang jelas antara pengaruh genetik dan lingkaran.
Saudara kandung dan kembaran yang diasuh bersama tidak hanya memiliki kesamaan
informasi genetik namun juga lingkungan yang sama, didalam perkembangan yang
lebih luas, sehingga sangatlah sulit untuk menetapkan jika pengaruh lingkungan
yang sama akan memberikan korelasi yang tinggi terhadap skor IQ. Tentunya
sangatlah egois jika diasumsikan bahwa informasi genetik yang samalah yang mempengaruhi skor IQ.
Akhirnya
terdapat sebuah keuntungan bagi kelompok yang sama dalam sejumlah penelitian
dan meninjau ulang hal tersebut, namun dalam melakukan sejumlah penelitian,
kamu akan digunakan secara bersama ke dalam test yang berbeda, oleh karena itu
sangatlah sulit untuk menjamin semua penelitian yang digunakan adalah sama dan
hal ini justru membuat hasil yang didapatkan menjadi pertentankan.
Bagaimanapun,
terdapat penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh segal, Weis Feld, G.
& Wessfeld, C. (1997). Dia meneliti perihal orang yang tidak memiliki
hubungan darah dengan umur yang sama diasuh secara bersama sejak bayi (hal ini
serupa dengan kasus kembaran Dz). Dia mendapati bahwa korelasi IQ hanyalah 0,17
Penemuan
ini menantang praduga yang telah ada yang dibuat untuk tingkatan IQ yang mirip
dan didukung oleh teori tentang pengaruh IQ oleh informasi genetik.
Korelasi
IQ yang didapatkan adalah 0,15 bagi ibu adopsi dan 0,28 untuk ibu kandung ini
menunjukkan beberapa pengaruh genetik terhadap kecerdasan.
Plomin
(1988) menelusuri perkembangan anak-anak yang di ikut sertakan dalam penelitian
sebelumnya, dan meninjau ulang skor IQ sertakan dalam penelitian sebelumnya,
dan meninjau ulang skor IQ mereka pada umur 10 tahun, mereka memiliki korelasi
hanya 0,02 terhadap saudara adopsi mereka. Kembali hal ini membuktikan bahwa
lingkungan yang sama tidaklah terlalu berpengaruh dibandingkan dengan informasi
genetik yang telah ada.
Stolmiller
(1998) memunculkan pertanyaan-pertanyaan terhadap rancangan projek adopsi texas
dan menyarakan bahwa telah terdapat sebuah peremehan yang keterlaluan terhadap
pengaruh dari faktor lingkungan keluarga. Bagaimanapun, pernyataan ini
diperselisihkan oleh Loeh Lin and Horn (2000).
Faktor lingkungan
Faktor-
faktor Lingkungan
Sejauh
ini bukti yang menentang informasi genetik dalam penetapan kecerdasan telah
diulas. Evaluasi dari penelitian telah menyatakan bahwa lingkungan tentu saja
akan berpengaruh bagi sebagian tingkat penentuan kecerdasan. Bab ini kan
mendiskusikan beberapa faktor lingkungan dan mengulas kembali penelitian
Empiris yang dilakukan untuk menentukan pengaruh dari faktor-faktor dalam
pengukuran kecerdasan.
Penelitian Adopsi
Pada
sesi sebelumnya kita telah meninjau penelitian utama adopsi dalam menyelidiki
peranan genetik. Disini kita meninjau hal-hal tesebut untuk menyelidiki peranan
yang di mainkan oleh lingkungan.
Scarr
dan Weinberg ( 1983 ) menemukan bahwa anak adopsi memiliki skor IQ 10 atau 20
poin lebih tinggi ( rata-rata ) dari pada bersama orang tua kandungnya. Hal ini
mungkin di sebabkan oleh keluarga yang mengadopsi pada umumnya kemampuan
finansialnya lebih baik sehingga anak yang berada dalam lingkungan tersebut
dapat mengembangkan potensi mereka secara menyeluruh.
Scarr
dan Weinberg ( 1977 ) juga meneliti anak kulit hitam yang diadopsi oleh
keluarga kulit putih. Seperti di lansirkan sebelumnya, keluarga-keluarga
tersebut memilki kapasitas financial dan status pendidikan yang tinggi di
bandingkan dengan keluarga aslinya. Rata-rata IQ
anak
kulit hitam yang diadopsi 12 bulan setelah kelahiran ( umur 1 tahun ). Hal ini
telah di bandingkan dengan rata-rata IQ anak kulit hitam dengan latar belakang
genetik yang serupa namun memiliki latar belakang lingkungan orang miskin. IQ
anak-anak tersebut adalah 90. Dengan demikian, Scarr dan Weinberg menghasilkan
bukti bagi peranan dan sebuah lingkungan.
Schiff
et al. (1978 ) menemukan bahwa anak yang terlahir dari orang tua yang status
sosial nya rendah namun kemudian di adopsi oleh keluarga yang status sosial
ekonomi nya tinggi menunjukkan perolehan IQ yang signifikan ketika di
bandingkan dengan anak-anak yang tetap tinggal di lingkungan yang asli.
Capron
dan Duyme ( 1989 ) meneliti 38 anak-anak perancis yang di adopsi sejak bayi.
Setengah dari anak-anak tersebut memiliki orang tua biologis kelas menengah ke
atas, setengah nya lagi memiliki orang tua biologis yang bekerja atau kelas
rendah. Sebagian dari bayi-bayi tersebut di adopsi oleh keluarga dengan status
sosial tinggi di bandingkan orang tua biologis mereka, dan sebagian bayi lain
nya di bawa kepada keluarga dengan kelas sosial rendah. Anak-anak yang di asuh
di rumah-rumah kelas atas memiliki skor IQ 15-16 poin lebih tinggi di
bandingkan anak-anak yang berada di kelas bawah yang lebih rendah dari kelas
orang tua biologis nya . Penelitian ini menegaskan bahwa penting nya peranan
lingkungan dalam dalam mengembangkan pengukuran tingkat kecerdasan.
Evaluasi
Semakin
awal anak di adopsi, maka semakin baguslah kemampuan intelektual mereka yang
akan meningkat. Hal ini menyatakan bahwa lingkungan itu penting dan berpengaruh
ketika hal tersebut di laksanakan dalam kondisi/situasi yang tepat. Umur
kelihatan nya juga merupakan faktor yang penting. Bukti tersebut menyatakan
bahwa lingkungan sangatlah berpengaruh dalam umur “pre- school” (sebelum
sekolah).
Penelitian
yang melibatkan anak-anak dari budaya yang berbeda di buka pembahasan nya. Tes
IQ telah di kritiskan dalam hal kebudayaan yang bias. ( perhatikan nanti di
bawah teks bias ). Pemikiran di dasari di sekitaran nilai kelas menengah kulit
putih, ide-ide dan pengalaman-pengalaman. Oleh karena itu, peningkatan
anak-anak kulit hitam mungkin tidak menjadi peningkatan intelektual yang tepat.
Mereka mungkin tidak memiliki penambahan kecerdasan, namun dikarenakan mereka
di bawa ke dalam sebuah keluarga kulit putih, faktor-faktor di ukur oleh tes IQ
menjadi semakin di kenal sehingga mereka tampil dengan baik. Misal nya: saya
mungkin akan gagal pada tes menulis di dalam bahasa yang berbeda, namun jika
hal tersebut di terjemah kan saya akan lulus. Sama hal nya jika sebuah tes
menggunakan objek dan
contoh yang tak diketahui saya gagal, jika saya merujuk kepada objek dan contoh
yang saya kenal saya mungkin akan lulus. Saya tidak semakin cerdas, saya hanya
lebih memahami kaidah peraturan.
Keluarga
adopsi secara umum lebih sedikit dan mempunyai status financial dan pendidikan
yang lebih baik. Faktor-faktor tersebut menjadikan pengaruh lingkungan tampak
lebih kuat.
Meskipun
penelitian yang dilakukan oleh Capron dan Duyme ( 1989 ) menyatakan pentingnya
aspek lingkungan, faktor-faktor genetik juga merupakan hal yang penting dalam
penelitian ini. Anak-anak yang orang tua biologisnya berasal dari latar
belakang status sosial ekonomi nya tinggi memiliki IQ yang lebih tinggi di
bandingkan anak-anak yang orang tua biologisnya ( kandung ) berasal dan latar
belakang status sosial ekonomi yang rendah, tanpa pengaruh lingkungan.
Penelitian Familial ( kekeluargaan
)
Kaufman
( 1999 ) menyediakan bukti untuk menyatakan
pentingya pengaruh lingkungan terhadap referensi dari penelitian
keluarga. Dia menemukan bahwa korelasi saudara kandung yang di asuh bersama ( 0,47 ) lebih tinggi
dari pada mereka yang di asuh terpisah (
0,24 ). Dia juga mendapati hal yang serupa
bahwa anak dan orang tua yang hidup bersama memiliki korelasi skor IQ
yang lebih tinggi ( 0,42 ) di bandingkan mereka yang tumbuh terpisah ( 0,22 ).
Hal ini menunjukkan bukti bahwa perkembangan pengukuran tingkat kecerdasan.
Jika faktor lingkungan tidaklah penting, maka skor yang didapatkan pada kedua
hal tersebut seharusnya mirip.
Evaluasi
Korelasi
yang di nyatakan masih sedikit rendah dan faktor-faktor lain juga mempengaruhi
perkembangan IQ.
Status Sosial ekonomi
Faktor
lain yang diselidiki adalah status sosial ekonomi ( SES ). Beberapa penelitian
di sediakan untuk di tinjau seandainya terdapat hubungan antara status sosial
ekonomi dengan tingkat kecerdasan.
Bernstein
( 1971 ) menyatakan bahasa antara keluarga yang SES rendah dan keluarga yang
SES nya tinggi adalah berbeda. Dia menyatakan dalam penelitian nya bahwa anak
yang berasal dari keluarga yang SES nya rendah memiliki batasan kode bahasa
sedangkan mereka yang berasal dari keluarga yang SES nya tinggi memiliki kode
bahasa yang mendetil. Maksud nya adalah anak dari keluarga SES yang rendah
bahasa mereka merupakan konsep abstrak yang rendah, yang menjadikan proses
informasi sulit. Disini Bernstein menyatakan berpengaruh pada perkembangan
kognitif dan kecerdasan verbal mereka, dan argumen ini menyatakan ide bahwa
kecerdasan ternyata mempunyai hubungan dengan status sosial ekonomi.
Penelitian
kejuruan Longitudinal, mengikuti perkembangan anak sejak lahir hingga remaja,
dilakukan oleh Sameroff et.al ( 1987 ). Hal ini di kenal dengan sebutan
penelitian Rochester Longitudinal dan di mulai sejak tahun 1970.
Penelitian
ini menyertakan sekitar 200 anak. Penelitian ini mengidentifikasikan 10
faktor-faktor yang mempengaruhi skor IQ. Faktor-faktor tersebut bukanlah
pengaruh genetik namun lingkungan. Mereka adalah :
Ø Keadaan
mental pengasuhan yang sakit
Ø Kegelisahan
/ keinginan serius pengasuhan
Ø Ayah
yang tinggal jauh dari keluarga
Ø Anak
yang menjadi anggota mineritas grup
Ø 4
atau lebih anak di keluarga
Ø Banyak
nya tekanan pengasuhan yang di berikan walaupun pada anak libur sekolah
Ø Kurangnya
sifat ke ibuan dan kurangnya perhatian positif
Ø Kebiasaan
pengasuhan yang kaku dalam perkembangan anak
Ø Kurang
nya pendidikan lanjut bagi para orang tua
Ø Miskin
nya pelayanan pengasuhan
Semakin banyak faktor yang dirasakan
oleh seorang anak, maka semakin rendahlah skor IQ yang mereka dapatkan. Setiap
faktor tampak nya mengurangi IQ sebanyak 4 poin.
Evaluasi
Labow
( 1970 ) mengkritisi percobaan Bernstein yakni memulai hal yang membingungkan
dengan menghilangkan Linguisrik dan sosial. Hal itu, kemampuan bahasa yang
rendah tidak lah sama dengan rendah nya lingkungan sosial. Labou juga
menyatakan bahwa Bernstein telah gagal dalam mengambil perhitungan pada
penelitian tanpa standar bahasa inggris. Beberapa anak menggunakan bahasa
inggris yang berbeda dari yang lain dan hal tersebut tidaklah di perhitungkan.
Meskipun
penelitian Sameroff seakan menunjukkan bukti bahwa tingkat kecerdasan IQ
berhubungan dengan status sosial ekonomi, hal tersebut tentunya menunjukkan
faktor-faktor asosiasi yang di sertai dengan rendah nya status sosial ekonomi
suatu kelompok, bukan pada status sosial ekonomi itu sendiri memberi dampak
pada IQ.
Faktor
lainnya yang menganggap sosial ekonomi rendah suatu kelompok mungkin secara
genetik memiliki kecerdasan yang kurang yakni mengapa mereka tidak menerima
pendidikan dan oleh sebab itu menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan ( skill )/ semi skill pegawai dan menjadi bagian dari kelas rendah.
Hal ini kemudian menjadi alasan bagi genetik bukan lingkungan. Jika kecerdasan
ditentukan oleh genetik tentu secara logika bahwa orang-orang tersebut yang IQ nya rendah memiliki status
sosial ekonomi yang rendah. ( Flanagan, 1977 ).
Faktor
lain yang bukan genetik bias di kaitkan dengan hubungan pengasuhan. Orang tua
memiliki pengaruh yang kuat terhadap lingkungan dimana anak-anak berkembang,
Sesi selanjut nya akan membicarakan tentang berbagai hal lain yang menjadi
faktor lingkungan bagi pengaruh kecerdasan.
Ø DIET
Benton dan Cook (1991)
menyediakan sekelompok anak dengan suplemen vitamin dan sekelompok grup control
diberikan “placebos”. Ketika IQ anak dites, anak-anak yang mendapatkan suplemen
memiliki peningkatan IQ skor 7,6 poin dan placebos grup menurun hingga 1,7
poin. Penelitian ini menjadi lebih membutakan dan oleh karena itu anak-anak
tidak mengetahui apa yang mereka anggap. Hasil tersebut sedikitnya mampu membandingkan.
Daley, Whaley, Sigmen,
Epinosa dan Neumann (2003) mencatat bahwa banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa tingkat IQ bisa bertambah dari waktu ke waktu peningkatan ini dikenal
dengan istilah Efek Flynn. Mereka menyatakan bahwa hasil dari 20 industrial
nasional telah menunjukkan peningkatan IQ yang luas setiap waktu. Mereka
menyatakan bahwa diantara penyebab dari meningkatnya hal tersebut adalah
dikarenakan nutrisi yang baik pada anak. Penelitian akan membantu untuk
menjelaskan mengapa anak yang memiliki IQ rendah pada kelompok yang SES nya
rendah, laksana diet lebih kerap terjadi pada orang-orang miskin sehingga hal
tersebut mungkin berpengaruh bagi IQ mereka.
Berkman, Lescano,
Gilman, Lopez dan Black (2002) menginvestasikan efek kronis malnutrisi (kurang
gizi) bagi kemampuan kognitif. Mereka mengetes anak dengan umur 9 tahun dan
mendapati bahwa mereka yang miskin diet dan memiliki pertumbuhan ketangkasan
pada umur 2 tahun dengan skor 10 poin lebih rendah dites kognitif pada umur 9
tahun dari pasangannya yang tidak kekurangan nutrisi. Black menyatakan bahwa
penelitian ini menekankan aspek penting dari nutrisi bagi anak dibawah 3 tahun,
kembali menyediakan bukti bagi hubungan antara diet dan kemampuan kognitif.
Penelitian dilakukan
kepada anak yang hidup di Shanty House di India menunjukkan bahwa malnutrisi
sebelum umur 6 bulan secara signifikan menyebabkan IQ (Choudhary, Sharma,
Agarwal, Kumar, Sreenivas, & Puliyel, 2002) kembali menyatakan hubungan
antara diet yang terlalu dini dengan kecerdasan.
Bentun (2001)
mengomentari penelitian yang telah ditela’ah yakni menyelediki hubungan antara
suplemen bernutrisi dengan tingkatan kecerdasan anak.
Sepuluh penelitian dari
13 penelitian memberikan respon positif terhadap suplemen tersebut minimal pada
tes sampelnya. Bukti tersebut menyatakan bahwa tidak semua anak memberikan
respon terhadap suplemen namun minoritas asak-anak memberikan respon, dan hal
tersebut juga memberi efek khusus terhadap perkembangandan kemampuan non verbal
anak.
Bagaimanapun, hal tersebut
tampak memberi tanggap terhadap diet anak yang terdiri dari tingkatan nutrisi
yang rendah. Hal tersebut mungkin memberikan hasil yang menunjukkan level
normal bagi fungsi diet yang normal.
Ø EVALUASI
Sebuah masalah dengan
penyelidikan terhadap diet adalah hal tersebut sulit dimonitir atau dilacak
secara menyeluruh terhadap diet perorangan dan hasil dari disempurnakannya
fasilitas makanan secara pasti. Hal ini membuat kesimpulan mengenai hubungan
antara diet dan kecerdesan menjadi tanda tanya. Permasalahan lain yaitu
mengilustrasikan efek adari faktor-faktor diet yang lain haruslah konstan,
untuk menunjukkan bahwa diet menghasilkan suatu perbedaan. Hal tersebut adalah
sulit untuk memantau seluruh aspek lingkungan dan oleh sebab itu sulit untuk
menunjukkan bahwa diet merupakan faktor yang menentukan argument ini dapat
ditinjau jika kita kembali ke penelitian sebelumnya anak-anak india yang hidup
dikota Shanty. Walaupun diet dini diidentifikasikan sebagai penetapan aspek
yang menunjukkan IQ, begitu pula halnya terhadap pendidikan pre-sekolah dan
tempat tinggal.
Anak-anak pada tempat
tinggal permanen memiliki IQ yang lebih tinggi dan mereka mungkin kerap
menghadiri pre-sekolah (TK/Playgroup). Sama halnya penelitian yang dilakukan
pada Efek Flynn mengiidentifikasikan kemampuan menulis dan membaca pada orang
tua dan struktur keluarga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kecerdasan IQ. Tampaknya sulit untuk memetapkan hubungan antara faktor-faktor
lingkungan dengan IQ.
Ø STIMULASI PENGASUHAN
Hart dan Risley (1995)
melakukan penyelidikan perkembangan dalam jangka waktu yang lama, mereka
memfokuskan kepada interaksi verbal. Mereka menemukan bahwa semua anak mulai
belajar berbicara pada umur yang sama namun akan tampak berbeda pada umur 3
tahun.
Anak-anak yang berasal
dari keluarga profesional memiliki kosa kata yang lebih luas dari pada anak
yang keluarganya berasal dari kelas pekerja. Hart dan Risley menghubungkan
kebiasaan pengasuhan. Mereka menyatakan hubungan antara stimulasi pengasuhan
orang tua dan perkembangan bahasa.
Caldwell dan Bradley
(1978) menemukan korelasi atau hubungan antara skor IQ yang tinggi dengan
faktor-faktor berikut : pengaru pengasuhan emosional, penetapan materi,
permainan yang sesuai, kemampuan untuk bermain dan belajar, harapan orang tua.
Skor IQ yang bagus dihubungkan kepada orang tua-orang tua yang menyediakan
penerimaan dan pembelajaran untuk anak. Caldwell dan Bradley mengembangkan
ukuran yang disebut “Home Observation” untuk mengukur lingkungan (HOME). Mereka
mendapati skor yang rendah dalam skala HOME bagi korelasi bayi terhadap skor IQ
rendah di sekolah
Crandell dan Hobson
(1999) menemukan bukti untuk menghubungkan antara pengaru perasaan (latihan)
terhadap IQ. Sampel dari 36 ibu-ibu yang dibagi kedalam dua grup dasar terhadap
respon wawancara dan question terhadap “attachment”. Ibu=ibu tersebut diberikan
tes IQ dan anak-anak diberikan versi secara singkat. Interaksi ibu-anak
ditarukan di video tip. Anak yang ibunya terjamin bernilai 19 poin lebih tinggi
dalam tes. Dan sub-grup yang selamat 12 poin dan 12 bagi ibu yang tidak
terjamin 12 poin bagi skor IQ, disana masih terdapat skor IQ diantara anak-anak
yang signifikan. Hal ini menyatakan “attachment atau penyampaian perasaan”
memiliki pengaruh lebih besar terhadap IQ dibandingkan hal pengasuhan.
Penelitian ini menekankan pentingnya “attachment” dan sosialisasi lingkungan
anak didalam perkembangan pengukuran kecerdasan.
Sigman et 21 (1988)
menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak-anak dengan IQ yang tinggi
berbicara kepada mereka kerap dan banyak, mendetil dan tata cara yang akurat,
satu hal lagi yang mengilustrasikan pentingnya stimulasi pengasuhan. Laundry et 21 (1996) menemukan bahwa
orang tua yang memiliki anak dengan IQ yang tinggi bekerja di 2PD (perbaikan
bab 3) mereka berbicara kepada anak-anak mereka diatas standar rata-rata
pemehaman dan menggunakan strategi untuk menolong mereka mempelajari skill atau
kemampuan yang baru. Pianta dan Egeland (1994) menemukan bahwa orang tua –orang
tua yang anaknya memiliki IQ yang tinggi menyediakan permainan dan mainan yang
sesuai dengan umur mereka.
Projek yang dinamakan
“Projek Abecedanan” mengikut sertakan bayi-bayi dari level family atau keluarga
miskin yang ibu-ibu mereka memiliki skor IQ yang rendah. Anak-anak ditetapkan
pada salah satu dari dua grup-grup kontrol dan penelitian. Di dalam kontrol
grup, anak-anak diberikan suplement nutrisi dan perawatan medis. Di dalam grup
percobaan, anak-anak diberikan kedua hal tersebut, faktor tersebut namun
diperkaya dengan perawatan harian. Hal ini dimulai sejak anak berumur 6-12
minggu dan dilanjutkan hingga anak mencapai usia TK. Skor IQ lebih tinggi
terdapat pada eksperimental grup disetiap pengetesan antara 2 hingga 12 tahun
yakni 44% untuk kontrol grup dengan IQ skor yang lebih luas dibandingkan
eksperimental grup yang hanya 12,8% (Ramey dan Campbell, 1987, Ramey, 1993).
Penelitian ini kembali
memperlihatkan bagaimana pentingnya lingkungan dalam perkembangan pengukuran
kecerdasan. Tentu saja lingkungan yang kaya akan memberikan pengaruh yang lebih
daripada supplement dan perawatan medis.
Ø EVALUASI
Kembali hal ini
disadari bahwa anak-anak mungkin akan menerima stimulasi dan pendidikan yang
lebih sebagai penyemangat sebagai akibat dari tingginya IQ para orang tua. Hal
demikian menyatakan bahwa orang tua yang memiliki IQ yang tinggi akan lebih
menekankan pada hal edukasi atau pendidikan dan stimulasi. Dengan denikian, hal
tersebut secara otomatis memberikan argument terhadap lingkungan-lingkungan
mungkin akan terbentuk dikarenakan penetapan genetik IQ yang tinggi.
Ini penting untuk
menyadari finansial sebagai sebuah faktor. Orang tua dengan IQ yang tinggi
mungkin memiliki karir yang lebih baik dan oleh karena itu akan menentukan
pendapatan mereka. Ini menjadikan penyediaan sarana permainan dan belajar yang
sesuai dengan dukungan pendidikan ekstra.
Hal ini harus dicatat
bahwa “attachment” merupakan subjek kontroversi yang tinggi. Di dalam
penelitian Crandell dan Hobson asumsi adalah suatu hal yang berbeda dalam
lingkar IQ biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal “attachment”.
Bagaimanapun permas dengan hal “attachment” akan mengindikasikan permasalahan
pada area social yang lain dan lingkungan emosi bagi anak, yang akan menjadi
latar yang terfokus pada “attachment”.
Plomin dan Petrill
(1997) menyatakan bahwa setengah dari HOME prediksi atas perbedaan kemampuan
kognitif pada anak dapat dihitung untuk genetik dan faktor non-lingkungan.
Ø URUTAN KELAHIRAN
Zajonc dan Markus
(1975) meneliti tentang urutan kelahiran dan IQ, dan meninjau kembali skor dari
40.000 lelaki Belanda. Mereka menemukan bahwa skor IQ yang mundur dikarenakan
pengaruh dari jumlah anggota keluarga dan urutan kelahiran. Ini mungkin
disebabkan oleh anak-anak yang terlahirkan dari orang tua-orang tua harus
berbagi perhatian dan waktu yang lebih banyak, dan kerap kali hal finansial
menjadi kendala.
Zajonc (2001) membentuk
sebuah model yang disebut model pertemuan. Model ini menyatakan bahwa
kecerdasan dari setiap anggota keluarga bergantung kepada anggota keluarga
lainnya. Dia menyatakan bahwa setiap anak yang urutan kelahirannya semakin
akhir akan mendapatkan pengaruh kecerdasan lingkungan yang semakin rendah, dan
hal tersebut lingkungan intelektual yang tinggi terbentuk dari rendahnya jumlah
anggota keluarga. Alas an tersebut menyatakan bahwa anak yang pertama lahir
memiliki IQ lebih tinggi dan berperan sebagai tutor bagi saudara kandungya yang
lain, oleh karena itu ajari dan jelaskan hal-hal yang penting kepada mereka
dengan sendirinya akan meningkatkan pemahaman dan IQ mereka. Dengan sendirinya
anak yang paling kecil tidak butuh memaparkan ide dikarenakan yang lainnya akan
menjelaskan ide, dan yang lainnya selalu bersedia untuk memberikan jawaban,
oleh karena itu, anak yang paling kecil tidak melakukan hal tersebut, sehingga
dia tidak terlalu perlu selalu banyak untuk berpikir dan mengembangkan skill
tersebut.
Ø EVALUASI
Hubungan antara urutan
kelahiran dan kecerdasan telah secara ketat diperdebatkan. Lowery (1995)
mengetes kecerdasan murid-murid dan mengumpulkan informasi mengenai urutan
kelahiran. Dia menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan
kelahiran dan kecerdasan. Rodgers, Cleveland, Vanden Oord dan Rowe (2001)
mengklaim hubungan antara urutan kelahian dan kecerdasan hanyalah ilusi, dan
dalam penelitian tersebut ditemukan tidak ada hubungan yang konsisten diantara
faktor-faktor tersebut.
3. Teori Perkembangan Moral menurut
Piaget
Dengan cara mengamati anak-anak
bereksperimen, Piaget mengembangkan teori tahapan perkembangan moral. Sejalan
dengan teori perkembangan kognitif,
teori ini juga dibangun berdasarkan tahapan-tahapan yang terjadi pada
anak. Setiap tahapan perkembangan moral berbeda secara kualitatif. Piaget
menggunakan dua alat utama untuk menyelidiki perkembangan moralitas. Piaget
mengamati anak-anak bermain kelereng dan komitmen mereka terhadap peraturan
permainan tersebut. Dia juga meminta anak-anak untuk membuat penilaian moral
terhadap tindakan anak-anak lain melalui penyajian cerita. Cerita-cerita
tersebut kontras menggambarkan prilaku dan tindakan dua anak yang berbeda.
Piaget tertari untuk melihat bagaimana anak-anak membuat penilaian tentang
prilaku apa yang salah dan apa yang benar, dan apa yang menjadi dasar penilaian
tersebut. Contoh dari salah satu pasangan cerita moral ini dapat dilihat pada
tabel 5.1
Piaget meminta
anak-anak untuk mendengarkan cerita, kemudian menyakan kembali tanggapan mereka
tentang cerita tersebut, seperti yang tercantum dalam tabel 5.1. Dia juga
menanyakan siapa sebenarnya yang membuat kesalahan dan mengapa? Dengan merekam
tanggapan anak-anak terhadap cerita-cerita tersebut, Piaget bisa mengamati
kemajuan dan perkembangan dalam moralitas anak-anak berdasarkan usia. Perubahan
dalam menganalisa apa yang benar dan salah ditinjau secara moral, dapat dilihat
pada contoh tabel 5.1.
Tabel 5.1.
cerita moral Piaget
|
Cerita A.
Alfred bertemu dengan teman kecilnya yang sangat miskin, temannya mengatakan
bahwa ia tidak makan malam itu karena tidak ada makanan dirumahnya, lalu
Alfred pergi ke toko roti, karena ia tidak punya uang lagi, dia menunggu
tukang roti membelakanginya dan mencuri roti tersebut. Dia berlari dan
memberikan roti gulung tersebut pada temannya.
Cerita B.
Henriette pergi ke toko. Dia melihat sepotong pita cantik diatas meja dan
berfikir bahwa itu akan terlihat bagus di gaunnya. Jadi ketika wanita penjaga
toko membelakanginya dia mencuri pita dan kemudian berlari.
Tanggapan
anak saat wawancara.
Anak 1.
“Schma” 6 tahun.
Mana yang
lebih nakal dari dua anak tersebut ? Anak laki-laki yang mengambil roti kesalahannya
lebih besar.
Apakah
seharusnya mereka dihukum? Ya, empat tamparan untuk yang pertama.
Dan gadis
itu? Dua tamparan.
Mengapa anak
laki-laki tersebut mengambil roti gulung? Karena temannya tidak makan malam.
Dan anak
perempuan? Untuk membuat dirinya
cantik.
Anak 2.
“Geo” 6 tahun.
Manakah
diantara mereka yang lebih nakal? Anak laki-laki dengan roti gulung, karena
roti gulung itu lebih besar daripada pita.
Anak 3.
“Corm” 9 tahun.
Apa
pendapatmu tentang hal itu? Ya, anak laki-laki tersebut mencuri bukan untuk
dirinya sendiri. Tapi dia telah mencuri, maka dia harus membayarnya, yang
satunya lagi, bukankah dia telah mencuri pita yang bagus.
Mana
diantara mereka yang lebih nakal? Gadis kecil yang mengambil pita untuk
dirinya sendiri, anak laki-laki yang mengambil roti gulung juga nakal, tapi
roti tersebut dia berikan untuk temannya yang tidak makan malam.
Jika anda
adalah guru sekolah, mana yang akan anda hukum paling berat? Gadis kecil itu.
|
v Tahapan model perkembangan moral
Piaget
Berdasarkan penelitian dan pengamatannya
terhadap anak-anak dan berbagai dilema moral yang muncul dari tanggapan mereka
terhadap permainan kelerang. Piaget mencatat bahwa pemahaman dan penalaran
anak-anak tentang moral berubah karena mereka kembangkan. Atas dasar penelitian
itu, ia membangun model perkembangan seperti yang terlihat pada gambar 5.1.
Piaget menghubungkan perkembangan
penalaran moral dengan perubahan kognitif. Dia berfikir bahwa penurunan
egosentrisme dan menumbuhkan cara berfikir operasional sangat relevan dengan
perkembangan moral anak-anak. Untuk menumbuhkan rasa pemahaman moral tersebut,
anda harus mampu melihat masalah dari perspektif yang berbeda dan tidak hanya
melihatnya dari sudut pandang anda. Sebagai contoh, mengambil mainan dari anak
lain merupakan aktivitas umum balita. Sebagian besar orang dewasa dan anak yang
lebih tua akan melihatnya sebagai sesuatu yang salah, namun untuk anak yang
berada pada tahap egosentris, hal ini akan menjadi masuk akal, karena mainan
akan membuat kita bahagia. Anak tersebut tidak mengerti aturan atau perspektif
orang lain sehingga mengganggapnya sebagai sesuatu yang boleh dikerjakan.
Oleh karena itu, Piaget melihat bahwa
perkembangan moral berhubungan dengan perkembangan kognitif. Piaget mencatat
pentingnya interaksi dengan teman sebaya, dalam pengembangan pemahaman moral.
Dia merasa ini penting, untuk memungkinkan anak agar mulai memahami penilaian
dari perspektif orang lain dan belajar untuk menyelesaikan konflik yang timbul,
misalnya memiliki semua mainan yang diinginkan semua anak. Dengan berinteraksi,
anak-anak belajar untuk mengembangkan berbagai cara untuk menghadapi konflik,
dan mampu membuat aturan, karena aturan tersebut merupakan tahap penting dari
perkembangan moral.
Sebuah contoh terkini tentang
perkembangan moral anak-anak yang relevan, adalah kasus terbunuhnya seorang
balita yang bernama Jamie Bulger. Ada banyak perdebatan tentang apakah kedua
anak laki-laki yang membunuhnya itu bertanggung jawab secara moral atas
tindakan mereka. Beberapa orang merasa bahwa mereka terlalu muda untuk memahami
konsekuensi dari tindakan mereka, yang lain percaya bahwa pada usia 10 tahun
perkembangan moral telah terjadi sedemikian rupa dan mereka telah menyadari
sepenuhnya tindakan mereka tersebut.
Bagaimana teori Piaget menjelskan hal
ini? Anak-anak yang bertanggung jwab berumur 10 tahun pada waktu itu, dan
mereka membunuh balita. Oleh karena itu, mereka berada pada tahapan
perkembangan relativisme moral. Pada tahap ini, anak-anak telah dapat membentuk
moralnya sendiri. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa anak-anak menganggap
bahwa prilakunya tidak dapat diterima orang lain. Jika mereka telah membangun
moralnya sendiri. Menyakiti anak lain mungkin masih dapat diterima oleh moral
mereka. Piaget juga menekankan pentingnya teman dalam pengembangan moral, dan
melalui nilai-nilai moral, barulah diskusi dapat dibangun dan ini melibatkan 2
teman. Menariknya, meskipun saat ini niat terlihat lebih penting dari
konsekuensi, piaget lebih memikirkan apa maksud dari tindakan anak tersebut daripada
fokus pada konsekuensi tindakan mereka. Juga ketika memutuskan apakah mereka
bertanggung jawab secara moral, mungkin lebih tepat jika fokus pada niat awal
mereka daripada konsekuensi dari tindakan mereka. Mereka tidak dapat membuat
keputusan tanpa mengetahui niat awal mereka.
Teori piaget menunjukkan bahwa pada
tahapan ini, timbal balik menjadi kunci dari hukuman mereka, anak-anak akan
diharapkan mendapat hukuman yang berat sesuai dengan beratnya kejahatan. Namun,
piaget berpendapat bahwa harus ada pertimbangan pada niat mereka daripada
konsekuensi dan juga anak-anak ini masih berada dalam tahapan operasional
konkret, mereka tidak memiliki kemampuan kognitif secara logis yang dapat
menyimpulkan konsekuensi dari tindakan mereka, mereka tidak mampu memahami
konsekuensi bagi Jamie atau bagi mereka sendiri.
Teori Piaget tidak dapat memberikan
jawaban penuh untuk pertanyaan yang diangkat dari kasus Jamie Bulger. Tapi
teori tersebut memungkinkan kita mengeksplorasi, ditinjau dari sudut pandang
Piaget, tahapan moral pembunuh muda tersebut mungkin telah tercapai.
4.
Teori
Perkembangan Moral Kohlberg
Koheberg
mengembangkan ide-ide Piaget lebih lanjut.di menghasilkan perkembangan teori
moral mulai dari anak-anak sampai dewasa. Teorinya jauh lebih komplek dan
dialamatkan beberapa kritik yang dibuat Piaget. Namun, ada beberapa karkteritik
dari keua teori, yitu:
·
Keduanya memiliki tingkat/tahapan karena
mereka menyarankan bahwa tingkat perkembangan dari pemahaman moral adalah
urutan yang telah ditentukan dari tahap bawaan.
·
Tiap tahapan merupakan sebuah
perkembangan berfikir
·
Fokusnya tidak pada apa yang difikirkan seseorang teapi bagaimana mereka berikir dan bagaimana hal ini mempengaruhi
penilaian apa yang mereka buat (yaitu
perilaku moral) (Flanagan dan Eysenc, 2000)
Teori Kohlberg terdiri
dari tiga tingkat perkembangan moral dan disetiap tingkat berisi dua tahapan.
Seperti bagan berikut ini:
Tingkat 3: Berprinsip atau pasca konvensional moral
|
Tahap 6 : Prinsip-prinsip etis universal
|
Tahap 5 : Kontrak sosial atau utilitas dan hak-hak individu
|
|
Tingkat 2: Konvensional moraliats
|
Tahap 4 : Sistem sosial dan hati nurani (hukum dan peraturan)
|
Tahap 3 : Antar pribadi yang saling berharap, berhubungan dan
sesuai
|
|
Tingkat 1: Pra-konvensional moralitas
|
Tahap 2 : Individualisme, tujuan instrumen dan pertukaran
|
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan
|
Tahap perkembangan
moral menurut teori Kohlberg secara rinci akan dijelaskan berikut ini:
Tingkat I : Penalaran Pra-Konvensional
Tingkat
pra-konvensional moralitas merupakan tingkat yang paling rendah dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, ditandai dengan otoritas
(kekuasaan) eksternal, penilaian benar dan salah berdasarkan pada otoritas
orang terdekat dan unggul secara fisik misalnya orang tua. Standar dari
tindakan benar atau salah secara eksternal. seorang anak menggunakan
konsekuensi dari tindakan untuk memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.
-
Tahap satu (Orientasi hukuman dan
ketaatan)
Yaitu : pada
tahap ini Anak menilai apa yang salah dengan hukuman apa yang diberikan dan apa
yang benar dengan tidak diberi hukuman atau akan dihargai.
-
Tahap dua (Individualisme, tujuan
instrumen dan pertukaran)
Yaitu : pada
tahap ini anak berprilaku dengan cara yang akan dihargai dan menghindari
prilaku yang akan nantinya akan dihukum. Benar dilihat apa itu adil dan baik
adalah yang membawa hasil yang menyenangkan.
Tingkat II :
penalaran konvensional
Pada tingkatan ini, konsekuensi
penilaian bukan berasal dari konsekuensi eksternal tetapi didasari dari
aturan-aturan kelompok yang dimiliki anak. Norma-norma kelompok tersebut
terinternalisasi. Bukan lagi dari orang tua.
-
Tahap tiga (Antar pribadi yang
saling berharap, berhubungan dan sesuai/ Norma-norma
Interpersonal)
Yaitu : pada
tahapan ini, perilaku baik adalah apa yang menyenangkan orang lain, kepercayaan
sangat dihargai sebagai loyalitas. Mempertahankan hubungan dinilai suatu yang
sangat penting.
-
Tahap empat (Sistem sosial dan hati nurani (hukum dan peraturan)
Yaitu : tahap dimana anak berfokus pada
kelompok-kelompok sosia yang besar yang menyedikn mereka dengan norma-norma
moral. Penalaran moral berfokus pada tugas dan menghormati otoritas, seperti
hukum dan peraturan (peraturan yang tidak dipertanyakan lagi).
Tingkat
III : pasca konvensional moral
Pada
tingkatan terakhir ini, suatu tingkat yang menjauh dari aturan kelompok yang
dijadikan otoritas pribadi dan pilihan pribadi didasrkan pada prinsip dan
penilaian pribadi atau suatu pemikiran tingkat tinggi dimana
moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada
standar-standar orang lain.
-
Tahap lima : Kontrak sosial atau utilitas dan hak-hak individu
Yaitu : tahap ini melihat awal dari prinsip
pribadi yang dipilih. Pada tahap ini hukuman dan aturan tidak relevan. Apa yang
benar dan adil adalah suatu yang penting.
-
Tahap enam : prinsip-prinsip etis universal
Yaitu : dalam tahap akhir individu ini,
mengasumsikan tanggung jawab untuk tindakan mereka sendiri dan keputusan
didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan menghorm ati orang lain atau jika seseorang
telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia
universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar