BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sistem persarafan terdiri atas otak, medula
spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan
menggordinasikan aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan
impuls-impuls tersebut berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras. Secara
langsung dan terus menerus. Perubahan potensial elektrik menghasilkan respons
yang akan mentransmisikan sinyal-sinyal ( Batticaca, F., 2008 ).
Sistem saraf
mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti kontraksi otot, peristiwa viseral
yang berubah dengan cepat, menerima ribuan informasi dari berbagai organ
sensoris dan kemudian mengintegrasikannya untuk menentukan reaksi yang harus
dilakukan tubuh. Membran sel bekerja sebagai suatu sekat pemisah yang amat
efektif dan selektif antara cairan ektraselular dan cairan intraselular antara cairan ektraselular dan cairan
intraselular . Didalam ruangan ekstra selular ektraselular, disekitar neuron
terdapat cairan dengan kadar ion natrium dan klorida, sedangkan dalam cairan
intraselular terdapat kalium dan protein yang lebih tinggi. Perbedaan komposisi
dan kadar ion-ion didalam dan diluar sel mengakibatkan timbulnya suatu
potensial membran ( Syaifuddin, 2006).
Tugas
pokok sistem saraf meliputi: 1) Kontraksi
otot rangka seluruh tubuh. 2) Kontraksi otot polos dalam organ internal. 3) Sekresi
kelenjar eksokrin dan endokrin dalam tubuh ( Syaifuddin, 2006 ).
Tengkorak
adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
kranium(adakalanya disebut kalvaria) terdiri atas delapan tulang, dan kerangka
wajah terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan
dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan
pembuluh darah ( Pearce, E., 2002 ).
Fungsi
tengkorak adalah 1) Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengaran. 2)
Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala. 3) Sebagai tempat
penyangga gigi ( Gibson, J., 2002 ).
Otak
adalah merupakan organ yang paling mengangumkan dari seluruh organ. Kita
mengetahui bahwa seluruh angan-angan, keinginan dan nafsu, perencanaan dan
ingatan merupakan hasil akhir dari aktifitas otak ( Muttaqin, A., 2008 ).
Otak
manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa(sekitar 3 pon).
Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen
tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan
yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama
berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan
dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah bersifat konstan ( Price,
S. A., 2005 ).
Otak
dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu serebrum, batang otak, dan serebelum.
Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat tulang yang
berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang frontal, parietal,
temporal dan oksipital ( Batticaca, F., 2008 ).
Dasar
otak tengkorak terdiri atas tiga bagian fossa yaitu bagian fossa anterior
(berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer), bagian fossa tengah (berisi
lobus parietal, temporal dan oksipital)
dan bagian fossa posterior (berisi batang otak dan medula) ( Batticaca, F.,
2008 ).
Cedera
kepala adalah merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang
menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak ( Pierce & Borley, 2006 ).
Cedera
kepala adalah satu diantara kebanyakan bahaya yang menimbulkan kematian pada
manusia . Dari semua kasus cedera kepala di Amerika Serikat sekitar tahun 1985,
49% disebabkan oleh kecelakaan motor , dan jatuh merupakan penyebab umum yang kedua. Cedera
kepala paling sering ditemukan pada usia 15-24 tahun. Dan dua kali lebih besar
pada pria dibandingkan pada wanita ( Hudak, C. M., 2010 ).
Penyebab
dari cidera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industri ,
kecelakaan olahraga dan luka pada persalinan. Adapun mekanisme dari cedera
kepala adalah dapat diakibatkan oleh tiga tipe kekuatan yaitu: a) Perubahan bentuk
tengkorak kepala. b) Percepatan dan perlambatan, dimana tengkorak kepala
bergerak lebih cepat dari pada masa otak dan mengakibatkan perubahan tekanan.
c) Pergerakan kepala yang menyebabkan rotasi
dan distorsi dari jaringan otak.
Kekuatan ini dapat menyebabkan kompresi, ketegangan dan kerusakan pada jaringan
otak ( Widagdo, W., 2008 ).
Beberapa
keadaan yang dapat mempengaruhi luasnya cidera pada kepala yaitu: a) Lokasi
dari tempat benturan langsung. b) Kecepatan dan energi yang dipindahkan. c) Daerah
permukaan energi yang dipindahkan. d) Keadaan kepala saat benturan. Bentuk cedera sangat bervariasi dari luka
pada kulit kepala yang kecil hingga kontusio dan fraktur terbuka dengan
kerusakan berat pada otak ( Widagdo, W., 2008 ).
Komplikasi
yang ditakutkan pada cedera kepala adalah terjadinya hematoma subdural atau
epidural, yang dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan batang otak yang
berakibat fatal (Weiner, H. L., 2001).
Cedera
kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan keparahan, yaitu: 1) Berdasarkan
mekanisme: adanya penetrasi durameter. a) trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan
mobil) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) b) trauma tembus (luka tembus
peluru dan cedera tembus lainnya) 2) Berdasarkan keparahan cedera: a. Ringan:
gcs 14-15 b.sedang: gcs 9-13 c.berat: gcs 3-8 ( Mansjoer, A., 2000 ).
Menilai
tingkat keparahan yaitu: 1) Cedera kepala ringan ( kelompok risiko rendah)
adalah skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, orientatif), tidak ada
kehilangan kesadaran misalnya konkusi, tidak ada intoksikasi, alkohol, atau
obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat
menderita abrasi, laserasi atau
hematoma kulit kepala, tidak adanya kriteria cedera sedang-berat. 2) Cedera
kepala sedang (kelompok resiko sedang) adalah skor skala koma Glasgow 9-14
(konfusi, letargi atau stupor), konkusi, amnesia pasca trauma, muntah, tanda
kemungkinan fraktur kranium, kejang. 3) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
adalah skor skala koma Glasgow 3-8 (koma),penurunan derajat kesadaran secara
progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau
teraba fraktur depresi kranium ( Mansjoer, A., 2000 ).
Penatalaksanaan
fraktur tulang tengkorak adalah 1) fraktur tulang tengkorak yang tidak
terdepresi umumnya tidak membutuhkan tindakan pembedahan; tetapi membutuhkan
pemantauan pasien yang ketat. 2) fraktur tulang tengkorak yang terdepresi membutuhkan
tindakan pembedahan ( Baughman, D. L., 2000 ).
Penatalaksanaan
non pembedahan pada pasien dengan cidera kepala meliputi: Glukokortikoid
(dexamethasone ) untuk mengurangi edema, diuretic osmotic (manitol) diberikan
melalui jarum dengan filter untuk mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis, diuretik
loop (misalnya Furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial, obat
paralitik (Pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk
mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko peningkatan
tekanan intrakranial, selanjutnya penatalaksanaan pembedahan pada pasien dengan
cedera kepala yaitu kraniotomi diindikasikan untuk mengatasi subdural atau
epidural hematoma, mengatasi peningkatan tekanan intrakranial yang tidak terkontrol,
mengobati hidrosefalus ( Widagdo, W., 2008).
Kraniotomi adalah mencakup pembukaan
tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur
intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan tumor, mengurangi
tekanan intakranial, mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol hemoeragi ( Brunner
& Suddarth, 2002 ).
Pada
pasien kraniotomi akan terlihat tanda dan gejala berupa pada penurunan
kesadaran, nyeri kepala sebentar kemudian membaik beberapa waktu kemudian
timbul gejala yang berat dan sifatnya progresif seperti: nyeri kepala hebat, pusing,
penurunan kesadaran, pada kepala terdapat hematoma subkutan, pupil dan isokor, kelemahan
respon motorik konta lateral, reflek hiperaktif
atau sangat cepat, bila hematoma semakin meluas maka timbul gejala deserebrasi dan gangguan tanda vital
serta fungsi respirasi ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Setiap
dilakukan tindakan kraniotomi, biasanya pasien selalu lebih sensitif terhadap
suara yang keras. Pada pasien bisa juga terjadi afasia, kemungkinan lain yang
bisa terjadi adalah paralisis, buta, dan kejang. Pasien yang tidak mengalami
komplikasi, kemungkinan dapat segera keluar dari rumah sakit. Gangguan kognitif
dan bicara setelah operasi memerlukan evaluasi psikologis, terapi bicara, dan
rehabilitasi ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Komplikasi
bedah kraniotomi meliputi peningkatan tekanan intraokuler (TIK), infeksi dan
defisit neurologik. Selanjutnya peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat
edema serebral atau pembengkakan dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik,
Disamping itu pasien juga memerlukan intubasi dan penggunaan agens paralisis. Infeksi
mungkin karena insisi terbuka, pasien harus mendapat terapi antibiotik dan
balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan
drainase,bau menyengat,drainase purulen dan kemerahan serta bengkak sepanjang
garis insisi, defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pasca
operasi status neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan, apabila
tindakan ini tidak segera dilakukan akan menyebabkan kematian ( Brunner & Suddarth,
2002 ).
Masalah
keperawatan yang muncul pada pasien post kraniotomi yaitu, nyeri, perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas ( Doengoes, 2000 )
Menurut data
yang penulis dapat dari register Ruang rawat bedah pria Badan Pelayanan
Kesehatan Rumah Sakit umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh mulai tanggal 20
juni-2010 sampai 20 juni 2011 dari 950 pasien yang dirawat diruang rawat bedah
pria 84(8,8%) pasien yang mengalami post kraniotomi, 74(88%) pasien yang
pulang/sembuh akibat post kraniotomi, 3(3,35%) pasien yang pulang paksa dan
7(8.3%) pasien yang meninggal akibat post kraniotomi.
Masalah
keperawatan yang mungkin timbul pasca operasi pada kraniotomi adalah perubahan
perfusi jaringan serebral,
nyeri, perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh,
intoleransi
aktivitas, defisit
perawatan diri, risiko
tidak efektifnya jalan nafas,
gangguan
persepsi sensori, defisit
volume cairan, resiko
injuri, gangguan
mobilitas fisik ( Doengoes, 2000 ).
Penatalaksanaan pada
pasien dengan post kraniotomi berdasarkan prioritas masalah adalah menurunkan
nyeri, mempercepat proses penyembuhan dan mencegah infeksi dan untuk mengurangi
rasa nyeri dengan terapi obat-obatan, ganti verban setiap hari dan buka benang heating
bila luka sudah kering. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat
analgetik yang dapat menghilangkan nyeri, awasi tanda-tanda vital, memberikan makanan yang
tinggi kalori, protein, vitamin, mengatur posisi tidur pasien ( Doengoes, 2000 )
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
bab II ini, penulis membahas dan menguraikan tentang Asuhan Keperawatan pada
Tn.M dengan kasus Post Kraniotomi diruang Rawat Bedah Pria Badan Pelayanan
Kesehatan Rumah Sakit Umum Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh yang dilaksanakan 3 hari
mulai tanggal 20 Juni 2011 sampai 22 Juni 2011,untuk lebih jelas penulis
memaparkannya melalui langkah-langkah proses keperawatan pada pasien sebagai
berikut:
2.1.Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses
keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistemetis dalam pengumpulan data
dan berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan pasien (Nursalam,2001).
Berdasarkan
hasil pengkajian tanggal 20 Juni 2011 diperoleh data sebagai berikut:pasien
bernama Tn.M berumur 23 tahun,jenis kelamin laki-laki,agama islam,suku Aceh,kebangsaan
Indonesia,bahasa Aceh,pendidikan SD,pekerjaan swasta/kerja bangunan,status belum
kawin,alamat kecamatan Simpang Tiga kabupaten Pidie,tanggal masuk Rumah Sakit
Umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 11 Juni 2011 dengan diagnose medic Post Kraniotomi.
Kraniotomi
adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses
pada struktur intrakranial.Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan
tumor,mengurangi tekanan intakranial,mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol
hemoeragi (Brunner&Suddarth, 2002).
Pada
keluhan utama pasien mengatakan sakit kepala dengan skala nyeri 6 (nyeri
sedang).Menurut Carpenito,Lj,(2001), nyeri merupakan keadaan dimana individu
mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam berespons terhadap suatu
rangsangan yang berbahaya.Menurut Hidayat,A.A., (2006), nyeri merupakan kondisi
berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan
nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya
orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya.
Carpenito,
Lj,(2001),mengatakan nyeri yang dirasakan baik pre operasi ataupun post operasi
merupakan jenis nyeri akut, yaitu: keadaan dimana individu mengalami dan merasa
tidak nyaman yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama 6 bulan
atau lebih.
Menurut Doengoes (2000),nyeri dapat dibedakan
menjadi nyeri akut dan nyeri kronis,nyeri tersebut dapat diukur dengan skala
nyeri yaitu 0 = tidak nyeri,1-3=nyeri ringan, 4-7=nyeri sedang dan 8-10=nyeri
berat.
Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan
antara kasus dan teoritis dimana pada teori menyatakan nyeri biasa terjadi pada
saat pre dan post operasi sedangkan pada kasus ini pasien mengalami nyeri dikepala dengan skala nyeri 6(sedang).
Dari
riwayat penyakit sekarang pasien mengatakan awal kejadian kecelakaan terjadi
ketika pasien mau berkunjung ketempat saudaranya, pada saat bepergian pasien
tidak memakai helm.Pada jam 18.00 wib tanggal 10 Juni 2011 sepeda motor yang
dikendarainya menabrak orang yang sedang menyeberang jalan, akibatnya motor
yang di kendarai pasien jatuh dan kepala pasien terbentur aspal kemudian pasien
langsung di bawa ke Rumah Sakit Umum Sigli oleh warga yang melihat kejadian
tersebut.Tiba di Rumah Sakit Umum Sigli pasien di pasang Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) RL 30 tetes / menit dan di lakukan heating dan pada ke esokan harinya pada
tanggal 11 Juni 2011 jam 08.00 wib pasien di rujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Zainoel Abidin ( RSUZA ) Banda Aceh. Pasien tiba di Instalasi Gawat Darurat
( IGD ) RSUZA pada jam 10.15 wib pasien langsung di tangani oleh dokter. Pada
tanggal 12 Juni 2011 pasien di lakukan operasi pembedahan kepala dan setelah di
lakukan operasi pasien di rawat di Intensive Care Unit ( ICU ) dewasa selama 2
hari dan pasien di berikan terapi: Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) RL / NaCl
0,9 % 20 tetes / menit,injeksi cefriaxone
2 gr / 24 jam,novalgin 1 ampul / 8
jam,ranitidine 1 ampul / 8 jam,fenitoin 1 ampul / 8 jam ( di encerkan
dengan NaCl ),injeksi chlorpromazine
1 ampul / 12 jam, atas intruksi dokter, pasien di pindahkan keruang rawat bedah
pria. Pasien mengatakan nyeri di kepala yang di rasakannya saat ini,nyeri
seperti di ketok – ketok dengan skala nyeri 6, nyeri yang berat sering terjadi
di malam hari dan berkurang pada saat siang hari, dirasakannya tiba – tiba dan
lama di rasakan ± 30 menit.Diruang
rawat bedah pria pasien di berikan terapi : Intravena Fluied Drainase ( IVFD )
Rl / NaCl 0,9 % 20 tetes / menit, Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) tutofusin
5 % /hari,injeksi fenitoin 1 ampul / 8 jam,injeksi chlorpromazine l ampul / 12 jam, asam mefenamat 3 x 500 mg,
sahobion 1x1.
Menurut
asumsi penulis ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana teori menyatakan tindakan
kraniotomi dilakukan pada pasien karena kecelakaan lalu lintas sementara pada
kasus ini pasien dilakukan tindakan kraniotomi karena kecelakaan lalu lintas.
Pada
riwayat penyakit yang lalu pasien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya serta tidak pernah mengalami penyakit infeksi,seperti tipes,malaria
dan penyakit infeksi lainnya. Pasien hanya pernah mengalami penyakit biasa
seperti:flu,batuk dan demam dan sembuh dengan berobat ke Puskesmas.
Dari
riwayat penyakit keluarga Pasien mengatakan didalam keluarga pasien tidak ada
anggota keluarga yang menderita penyakit alergi,penyakit menular dan penyakit
keturunan lainnya seperti hemofilia,hipertensi,diabetes mellitus dan penyakit
keturunan lainnya.
Menurut
asumsi penulis tidak ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana teori
menyatakan, kraniotomi bukan suatu penyakit keturunan, melainkan tindakan
operasi dan dikeluarga pasien juga tidak ada anggota keluarga pasien yang
mengalami post kraniotomi.
Pada
pengkajian pola kebiasaan sehari hari pasien mengatakan sebelum sakit pasien
makan 3x sehari disertai ikan, sayur – sayuran dan buah – buahan, selama sakit
pasien diberikan dengan diet makanan biasa (MB),tetapi pasien tidak mau makan
dengan keluhan tidak selera makan, pasien hanya menghabiskan roti unibis
sebanyak 2 (dua) potong di tambah 1 (satu) buah jeruk.
Tarwoto&Wartonah,
(2006) mengatakan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah keadaan dimana
intake nutrisi kurang dari kebutuhan metabolisme tubuh.
Pada pasien pasca operasi perlu diberikan
makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) agar mempercepat penyembuhan
dan mencegah terjadinya komplikasi, (Brunnert&Suddarth,2002).
Menurut asumsi penulis tidak ada kesamaan
antara kasus dan teori,dimana teori menyatakan pada pasien pasca operasi perlu diberikan
makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) agar mempercepat proses
penyembuhan dan mencegah terjadinya komplikasi,sedangkan pada kasus pasien
tidak mampu mengabiskan 1 porsi makanan yang di sediakan oleh rumah sakit,
pasien hanya mampu menghabiskan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk,sehingga
pada pasien terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada
pola minum,pasien mengatakan sebelum sakit pasien minum ± 10 – 11 gelas perhari
(2500 – 3000 cc / hari) 1 (satu) gelas 250 cc. Selama di rawat pasien minum ± 7
- 8 gelas aqua (1750 – 2000 cc / hari) 1 (satu) gelas aqua 250 cc di tambah
dengan terpasangnya IVFD RL / NaCl 0,9 % 20 tetes / menit ( 2 kolf / hari 1000
cc ) di tambah IVFD tutofusin 5 % / hari (500 cc ). Jumlah keseluruhan cairan
selama dirawat perhari adalah ± 3000 – 3500 cc / hari. Secara teoritis
kebutuhan cairan setiap hari antara 1800-2500 ml/hari (Tarwoto&Wartonah,
2006).
Menurut asumsi penulis ada kesamaan antara
kasus dan teori,dimana pada kasus pasien minum ± 7 - 8 gelas aqua perhari(1750
- 2000 cc/hari) dan ditambah IVFD 1500 cc/hari, sehingga kebutuhan cairan
pasien terpenuhi.
Pada
pengkajian pola eliminasi pasien mengatakan sebelum sakit buang air besar (BAB)
lancar 1 (satu) hari sekali pada pagi hari dengan konsistensi lunak dan dengan
warna kuning kecoklatan selama sakit pasien baru 1(satu) kali BAB dengan
konsistensi padat dan dengan warna kehitaman. Pola buang air kecil (BAK) pasien
sebelum sakit 4 – 5 kali sehari selama sakit pola BAK pasien dengan mengunakan
kateter total produksi urine ± 2500 – 3500 cc dalam sehari, berbau amoniak dan
dengan warna kuning jernih.
Secara teoritis warna normal feses adalah warna
coklat,berbau khas karena pengaruh mikroorganisme,konsistensi lembek namun
berbentuk,sedangkan warna normal urine kuning dan jernih,keluaran urine pada orang dewasa 1200-1500 ml/hari, berbau
khas amoniak (Tarwoto&Wartonah, 2006).
Menurut
asumsi penulis terdapat kesamaan antara teori dan kasus dimana pada kasus
pasien minum± 10-11 gelas aqua/hari (2500-3000 ml/hari) dan pada kasus pasien
memproduksi urine ± 2500-3500 ml/hari, sedangkan BAB baru 1x.
Pada
pengkajian pola aktivitas pasien mengatakan mobilitas rutin pasien sebelum
sakit adalah bekerja sebangai tukang bangunan, waktu senggang yang di lakukan
nonton TV dan duduk di warung kopi. Aktivitas seperti mandi, berpakaian,
toiletting, makan dan minum dilakukan secara
mandiri. Selama sakit pasien mengatakan semua aktivitas di bantu oleh
keluarga ( tingkat ketergantungan 2 ), pasien bedrest dan mobilitas di tempat
tidur, seperti makan – minum, berpakaian dan BAK dan BAB.
Menurut
Tarwoto & Wartonah (2006), aktivitas adalah suatu energi atau keadaan
bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Tarwoto&Wartonah (2006), mengatakan
intoleransi aktivitas adalah kondisi dimana seseorang mengalami penurunan
energi fisiologis dan psikologis untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Menurut
Doengoes (2000), untuk mengukur tingkat aktivitas digunakan skala tingkat
ketergantungan 0 – 4, dengan kategori 0=pasien dapat melakukan aktivitas secara
mandiri, 1=memerlukan bantuan atau perawatan minimal, 2=memerlukan bantuan
dengan pengawasan atau diajarkan, 3=memerlukan bantuan dengan pengawasan
terus-menerus dan alat khusus, 4=tergantung secara total pada pemberian
layanan.
Menurut
asumsi penulis terdapat persamaan antara kasus dan tinjauan teoritis, dimana
pasien mengalami intoleransi aktifitas yang disebabkan oleh perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh atau penurunan energi fisiologis dan psikologis,sehingga
aktivitas pasien masih dibantu oleh keluarga dan perawat dengan skala
ketergantungan 2.
Pada
pola istirahat pasien mengatakan sebelum sakit jumlah jam tidur 6 – 7 jam dari
jam 24:00 – 06:00 wib dan pasien jarang tidur siang, tidak ada gangguan tidur
perasaan waktu bangun nyaman. Selama di rawat pasien tidur malam dari jam 22:00
– 06:00 wib. Jumlah jam tidur 8–9 jamdan pasien tidur siang dari jam 15:00 –
17:00 wib, jumlah jam tidur siang 2 – 3 jam dalam sehari,sehingga pola
kebutuhan tidur pasien selama dirawat bertambah dibandingkan dengan pola tidur
pasien sebelum dirawat.
Menurut
Tarwoto&Wartonah (2006), istirahat merupakan suatu keadaan dimana kegiatan
jasmaniah menurun yang berakibat badan menjadi lebih segar,sedangkan tidur
adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan
yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan
fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda.
Kebutuhan tidur pada orang dewasa muda
normalnya 7 – 9 jam/hari, (Tarwoto& Wartonah, 2006).
Menurut
asumsi penulis terdapat kesamaan antara teori dan kasus, dimana pada kasus
pasien tidur±8-9 jam/hari,sehingga kebutuhan tidur pasien terpenuhi.
Pada
pengkajian pola personal hygiene pasien
mengatakan sebelum sakit pasien mandi 3x sehari dengan menggunakan sabun,
selalu menggosok giginya dan selalu keramas dengan menggunakan shampo. Selama
sakit pasien mandi dengan diseka badannya oleh keluarga.
Menurut
Tarwoto & Wartonah, (2006), kebersihan individu adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis.
Menurut Carpenito, Lj, (2000), kebersihan diri
pada pasien post operasi perlu dijaga untuk mengurangi sumber infeksi dan
meningkatkan perasaan nyaman.
Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan
antara teori dan kasus dimana, kebersihan diri pasien selalu dijaga oleh
keluarganya dengan cara badan pasien selalu diseka oleh keluarga, badan pasien
tampak bersih.
Pada pengkajian aspek psikologis, pasien
mengatakan penyakit yang di rasakannya saat ini adalah cobaan dari tuhan, dan
pasien berharap agar penyakit yang di rasakan saat ini cepat sembuh agar pasien
dapat pulang kerumahnya, pasien tampak cemas dan takut.
Pada pengkajian aspek sosial, pasien
mengatakan sebelum sakit hubungannya dengan keluarga saudara danteman-temannya
sangat baik dan akrab. Selama di rawat pasien juga ramah dengan perawat dan
pasien–pasien lain yang satu kamar dengan pasien. Pasien juga mengatakan warga
pernah berkunjung ketika pasien di bawa ke RSUZA.
Pada
pengkajian aspek spiritual, pasien mengatakan sebelum sakit pasien jarang
menjalankan ibadah shalat dan selama sakit pasien juga mengatakan tidak pernah
shalat. Pasien hanya berdo’a di tempat tidur.
Menurut
Carpenito (2000), suatu kondisi yang bagus dalam aspek psikologis, sosial,
spiritual yang dirasakan oleh individu dapat langsung mempengaruhi kecepatan
dan kualitas penyembuhan seseorang. Terdapat kesamaan antara teori dan kasus, dimana
pada kasus terlihat aspek psikologis dan sosial pasien dalam kondisi bagus, tetapi pada aspek spiritual pasien
dalam kondisi yang tidak bagus sehingga mempengaruhi kesembuhan pasien.
Pengkajian
umum pada Tn.M dapat dilakukan melalui empat metode yakni inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Dapat diperoleh data sebagai berikut : keadaan umum
lemas, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital (tekanan darah:100/60 mmhg, denyut
nadi 62 x/menit, suhu 36,40C, dan pernapasan 20 x/menit ), berat
badan : 62 kg dan tinggi badan 170 cm.
Pemeriksaan
tanda vital merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya perubahan sistem
tubuh. Adanya perubahan tanda vital misalnya suhu tubuh dapat menunjukkan
keadaan metabolisme tubuh, denyut nadi dapat menunjukkan perubahan pada sistem
kardiovaskular, frekuensi pernapasan dapat menunjukkan fungsi pernapasan dan
tekanan darah dapat menilai kemampuan sistem kardiovaskular, yang dapat
dikaitkan dengan denyut nadi ( Hidayat,
A.A., 2004).
Biasanya
pada pasien post operasi tanda-tanda vital normal yaitu tekanan darah 120/80 –
140/90 mmHg, pernapasan 15-20 x/menit, denyut nadi 70-75 x/menit dan suhu 36,00C
– 37,00C (Hidayat, A.A., 2004)
Pemeriksaan
darah lengkap dilakukan untuk mengetahui kemungkinan Hb menurun karena
terjadinya pendarahan atau karena adanya anemia, sedangkan pada kasus tekanan
darah pasien berada pada ( tekanan darah 100/60 mmHg) dan berdasarkan hasil
laboratorium Hb pasien berada pada batas dibawah normal/menurun ( Hemoglobin
10,4 gr/dl).
Dalam
hal ini tidak terdapat kesamaan antara kasus dan teoritis, dimana tanda-tanda
vital pasien tidak berada pada batas normal ( tekanan darah 100/60 mmHg) dan Hb
pasien berada pada batas dibawah normal (Hb 10,4 gr/dl).
Pada pengkajian fisik dapat diperoleh data sebagai berikut: Kepala,
inspeksi: bentuk simetris, rambut hitam, tidak ada ketombe, rambut bersih,
terdapat luka operasi, keadaan luka kering, tidak ada tanda-tandainfeksi
(tumor,kalor,rubor ,dolor dan fungsiolessa). Palpasi : adanya nyeri tekan.Wajah,
inspeksi : bentuk wajah simetris, adanya kumis dan jenggot, tidak ada
benjolan,adanya bekas jahitan, ekspresi wajah meringis.Palpasi: tidak ada nyeri
tekan. Mata, inspeksi : bentuk mata simetris, mata sebelah kiri tidak bisa
digerakkan tetapi bisa melihat, penglihatan kedua mata normal, sklera ikterik,
konjungtiva pucat.Palpasi : tidak nyeri tekan.Hidung, inspeksi :bentuk hidung
simetris, tidak ada sekret dan penciuman baik. Palpasi : tidak ada nyeri tekan,
teraba patah tulang hidung.Telinga, inspeksi : bentuk kedua telinga simetris,
terdapat bekas luka di telinga sebelah kiri, tidak ada serumen. Palpasi : tidak
nyeri tekan. Mulut, Inspeksi : bentuk
simetris, mukosa bibir basah, gigi masih utuh, adanya bau mulut, adanya karies
gigi. Palpasi : tidak ada nyeri tekan. Leher,inspeksi :bentuk simetris, leher
dapat bergerak dengan bebas, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.Palpasi :
tidak ada nyeri tekan.Thorak,inspeksi : bentuk simetris, tidak ada pembekakan
dan tidak ada lesi.Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Perkusi :bunyi resonan.
Auskultasi : bunyi jantung I > bunyi jantung II dan irama jantung reguler.
Abdomen, inspeksi : bentuk simetris, tidak ada lesi dan tidak ada pembekakan. Palpasi
: tidak ada nyeri tekan.Perkusi : tidak ada distensi. Auskultasi : peristaltik
usus 10 x / menit (normal). Genetalia dan anus : tidak dilakukan pemeriksaan.
Kulit, inspeksi : kulit berwarna hitam, berbulu dan adanya bekas jahitan di
wajah dan dikepala. Palpasi : turgor kulit baik. Ekstremitas atas,inspeksi :dikedua
tangan tidak ada lesi, tangan sebelah kiri terpasang IVFD, tangan kiri dan
kanan dapat bergerak dengan bebas, tidak ada udem. Palpasi : tidak ada nyeri
tekan. Ekstremitas bawah, inspeksi : di kedua kaki tidak ada lesi, kaki kiri
dan kaki kanan berbentuk sama dan dapat bergerak dengan bebas. Palpasi : tidak
ada nyeri tekan.
Brunner dan Suddarth (2002),
mengatakan pada pengkajian segera pada klien bedah adalah kepatenan, kedalaman
dan frekuensi nafas, tanda – tanda vital, tingkat resonan, keadaan luka,
kondisi balutan, tipe nyeri dan lokasi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
padaTn.M adalah pemeriksaan laboratorium ( pemeriksaan darah) dan radiologi
(ST-Scan). Dari hasil pemeriksaan darah tanggal 11 Juni 2011 diperoleh data
sebagai berikut : Hemoglobin 10,4 gr/dl dengan batas normal 13 – 17 gr/dl,
leokosit 18,5 1000/ul dengan batas normal 4,1 – 10,5 1000/ul, trombosit 218
1000/ul dengan batas normal 150 – 400 1000/ul. Hasil pemeriksaan radiologi
(ST-Scan) pada tanggal 16 Juni 2011 di dapat hasil : Frakture Maxillo Facialis dengan Frakture OsFrontalis serta Hematosinos
Maxilaris, Frontalis, Ethomoidalis Bilateral.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002)
pemeriksaan diagnostik pada pasien kraniotomi meliputi pemeriksaan darah dan
ST- Scan kepala. Tujuan pemeriksaan darah meliputi Hemoglobin dan leukosit
dapat menurun karena pasien mengalami frakture
maxillo facialis dengan frakture Os
frontalis. Trombosit penting pada proses pembekuan darah.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan
untuk mengetahui kemungkinan hemoglobin menurun yang menunjukkan adanya
pendarahan atau penurunan yang menunjukkan adanya anemia, leukosit menurun
adanya infeksi (Hidayat, 2005).
Menurut asumsi penulis terdapat
kesamaan antara kasus dengan tinjauan teoritis dimana pada Tn.M dilakukan
pemeriksaan darah dan radiologi
(ST-Scan). Pemeriksaan diagnostik ini dilakukan sesuai dengan instruksi dokter
bedah berdasarkan kondisi pasien.
Adapun terapi medis yang diberikan
pada Tn. M pada tanggal 20 Juni 2011 adalah obat oral yaitu : asam mefenamat 3x500 sebagai
pengurang rasa nyeri, sahobion 1x1 sebagai penambah darah. Obat parenteral
yaitu : fenitoin 1 ampul/8 jam sebagai mengatasi kejang, chlorpromazine 1
ampul/12 jam sebagai penenang atau rileks (ISO, 2009)
Menurut Doengoes (2000), pemberian
terapi analgetik sesuai indikasi dapat menghilangkan nyeri, memberikan
kenyamanan pada pasca operasi.
Dari pengkajian yang telah penulis
dapatkan pada tanggal 20 Juni 2011, maka di dapat beberapa data subjektif dan
objektif yang semua itu akan dikumpulkan menurut masalah keperawatan yang
timbul dengan prioritas keperawatan berdasarkan keluhan pasien.
Pada analisa data pertama data subjektif
pasien mengatakan sakit kepala. Dan data objektifnya adalah skala nyeri 6 ( nyeri sedang ), adanya bekas jahitan
operasi dikepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, ekspresi wajah
meringis. Etiologinya adalah post op kranial dan masalah keperawatannya adalah
nyeri.
Adapun yang termasuk data subjektif
pada analisa data kedua adalah pasien mengatakan tidak selera makan dan data
objektifnya adalah makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera
Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat,
tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmhg, denyut nadi : 62 x / menit,
pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°C). Etiologinya adalah Anorexia dan
masalah keperawatannya adalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada analisa data ketiga, data
subjektifnya adalah pasien mengatakan
semua aktivitas dibantu oleh keluarga dan data objektifnya adalah keadaan umum
: lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila
melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di tempat
tidur, tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan pengawasan).
Etiologinya adalah kelemahan fisik, dan masalah keperawatannya adalah
intoleransi aktifitas.
2.2. Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa keperawatan
adalah pernyataan yang jelas mengenai status kesehatan atau masalah aktual atau
risiko dalam rangka mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan
untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada
pada tanggung jawabnya (Tarwoto & Wartonah, 2006).
Berdasarkan analisa data diatas,
maka diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada Tn.M sesuai dengan
prioritas masalah adalah sebagai berikut : dengan diagnosa keperawatan pertama
yaitu nyeri berhubungan dengan post op kranial, ditandai dengan pasien
mengatakan sakit kepala, skala nyeri 6 (
nyeri sedang ), adanya bekas jahitan operasi kepala, adanya nyeri tekan,
panjang jahitan 17 cm, ekspresi wajah meringis,tingkat ketergantungan 2
(memerlukan bantuan dan pengawasan.
Diagnosa keperawatan kedua yaitu :
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia,
ditandai dengan pasien mengatakan tidak selera makan, makan 2 potong roti
unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl,
pasien BAB baru 1 x selama dirawat, Tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 /
60 mmHg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°C).
Diagnosa keperawatan ketiga yaitu :
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai dengan
pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga, keadaan umum : lemah,
pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan
aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002),
diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post kraniotomi adalah nyeri
berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan fisik.
Dalam hal ini terdapat kesamaan
antara kasus dan teoritis, dimana diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan
pada Tn.M adalah nyeri berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
2.3. Intervensi
Perencanaan adalah
meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau
mengoreksi masalah – masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan,
tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan
rencana dokumentasi (Nursalam, 2001).
Dalam mencapai tujuan yang
diharapkan maka rencana keperawatan harus sesuai dengan masalah yang terjadi.
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditegakkan maka perencanaan yang dapat
diberikan sesuai dengan teoritis adalah sebagai berikut, pada diagnosa
keperawatan : nyeri berhubungan dengan post op kranial, ditandai dengan pasien
mengatakan sakit kepala, skala nyeri 6 (
nyeri sedang ), adanya bekas jahitan operasi kepala, adanya nyeri tekan,
panjang jahitan 17 cm, ekspresi wajah meringis,tingkat ketergantungan 2
(memerlukan bantuan dan pengawasan). Adapun tujuan nyeri berkurang
(terkontrol), dengan kriteria hasil pasien mengatakan nyeri hilang, skala nyeri
0. Adapun intervensi yang dilakukan yaitu, kaji keluhan nyeri dan intensitas
nyeri dengan skala numerik (0 – 10), rasionalnya nyeri merupakan pengalaman
subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien, untuk memudahkan intervensi yang
cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan lebih, posisikan
kepala tinggi, rasionalnya meningkatkan
aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema, ajarkan
tehnik distraksi dan relaksasi, rasionalnya mengalihkan pikiran dan memberikan
rasa nyaman, kolaborasi dengan tim medis untuk obat anti nyeri, rasionalnya memberikan
obat anti nyeri yang berguna untuk mengurangi rasa nyeri, berikan perawatan
luka (ganti balutan) dengan tehnik steril, rasionalnya mencegah terjadinya
infeksi (Doengoes, 2000).
Pada diagnosa keperawatan perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, ditandai
dengan pasien mengatakan tidak selera makan, makan 2 potong roti unibis dan 1
buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB
baru 1 x selama dirawat, tanda – tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmHg,
denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4°C). Adapun
tujuannya yaitu peningkatan status nutrisi dengan kriteria hasil, menunjukkan
pemahaman pentingnya nutrisi untuk proses penyembuhan. Adapun intervensinya
yang dilakukan yaitu berikan makan dalam
jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur, rasionalnya meningkatkan
proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan
dapat meningkatkan kerja sama pasien saat makan, jaga kebersihan mulut pasien,
rasionalnya mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan, berikan pendidikan
kesehatan tentang cara diet, sesuai dengan tindakan keperawatan berhubungan
nutrisi, rasionalnya meningkatkan pengetahuan agar pasien lebih kooperatif, selingi
makan dengan minum, rasionalnya memudahkan makanan masuk, kolaborasi dengan tim
medis, rasionalnya dapat membantu meningkatkan nafsu makan, kaji tanda-tanda
vital, rasionalnya membantu mengkaji keadaan pasien (Doengoes, 2000).
Pada diagnosa intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai dengan pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh keluarga, Keadaan umum : lemah, pasien selalu meminta
bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan aktifitas (misalnya : makan
dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur. Adapun tujuannya adalah kebutuhan
aktivitas sehari-hari terpenuhi mandiri, dengan kriteria hasil melaporkan
peningkatan toleransi aktivitas, tingkat ketergantungan 0 ( nol ), adapun
intervensinya kaji tingkat ketergantungan aktivitas, kelemahan saat aktivitas,
rasionalnya merencanakan intervensi dengan tepat, anjurkan keluarga untuk
membantu pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari, rasionalnya keluarga merupakan
orang kedua yang berperan dalam perawatan pasien setelah perawat, dekatkan
segala kebutuhan pasien dengan tempat tidur, rasionalnya kebutuhan didekatkan
dengan pasien akan memudahkan pasien untuk menjangkaunya, lakukan istirahat
yang adekuat setelah latihan dan aktivitas, rasionalnya membantu mengembalikan
energi (Doengoes, 2000).
2.4. Implementasi
Implementasi adalah merupakan
tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan
mencakup tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah,
2006).
Implementasi dalam mencapai tujuan
seperti yang direncanakan lebih awal, maka harus benar-benar sesuai dengan yang
dapat dilakukan.
Pada diagnosa nyeri berhubungan
dengan post op kranial, implementasi yang dilakukan adalah mengkaji tingkat
nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik ( 0-10)
dimana 0= tidak ada nyeri 1-3= nyeri ringan 4-7= nyeri sedang 8-10= nyeri berat
dan di dapatkan skala pasien 6 ( nyeri sedang ), mengatur posisi senyaman
mungkin, head up 300, melakukan distraksi dengan cara mengalihkan
perhatian dan konsentrasi pasien seputar kegiatan sehari – hari sebelum di
rawatkan dan untuk relaksasi ajarkan pasien nafas dalam kemudian keluarkan
secara perlahan – lahan melalui mulut, melaksanakan pemberian obat sesuai
dengan ajuran dokter, yaitu analgetik asam mefenamat 1x500 mg, melakukan
pembersihan luka diarea heating dengan teknik steril dengan cara perawatmencuci
tangan dan memakai handskun steril lalu membersihkan luka dengan NaCl dan
betadine secara searah.
Pada diagnosa perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, implementasi yang
dilakukan adalah menganjurkan pasien mengkonsumsi makananyang sedikit tapi
sering, menganjurkan pasien untuk sering menyikat gigi untuk meningkat selera
makan, memberikan pengetahuan pentingnya nutrisi dalam proses penyembuhan, memberikan
minuman pada saat pasien makan, mengkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
vitamin nafsu makan, mengkaji tanda-tanda vital,Jam : 09:00 wib(Tekanan darah:
100/60 mmHg, denyut nadi: 62 x/menit, suhu: 36,4°C, pernafasan: 20 x/menit), Jam
: 16:00 wib (Tekanan darah :100/60mmHg, denyut
nadi: 62 x/ menit, suhu: 36,2°C, pernafasan: 20 x/ menit).
Pada diagnosa intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik, implementasi yang dilakukan adalah mengkaji
tingkat ketergantungan ( 0 – 4 ): (0) pasien dapat melakukan aktivitas secara
mandiri, (1) memerlukan bantuan atau perawatan minimal, (2) memerlukan bantuan
dengan pengawasan, (3) memerlukan bantuan dengan perawatan terus – menerus dan
alat khusus, (4) bergantung secara total pada pemberian pelayanan, di dapat tingkat
ketergantungan pasien 2 dan menganjurkan
keluarga untuk membantu aktivitas pasien seperti makan, BAB dan BAK, menganjurkan
keluarga untuk mendekatkan semua kebutuhan pasien didekat tempat tidur seperti
makanan dan minuman agar pasien mudah mengambilnya, menganjurkan pasien untuk
beristirahat setelah melakukan aktivitas seperti makan, melakukan AFF kateter.
Walaupun tindakan pada Tn.M dengan
post kraniotomi telah dilakukan sesuai perencanaan tetapi belum maksimal, hal
ini dikarenakan keterbatasan waktu dalam melaksanakan asuhan keperawatan yaitu
selama 3 hari.
2.5.Evaluasi
Evaluasi adalah
perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya, tujuannya adalah
untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Tarwoto & Wartonah,
2006).
Evaluasi atau hasil yang diharapkan
secara langsung dari pasien terhadap tinjauan kasus adalah sebagai berikut :
diagnose keperawatan, nyeri berhubungan dengan post op kranial dengan hasil
yang diharapkan yaitupasien mengatakan kepalanya masih sakit tapi
sudahberkurang. Data objektifnya skala nyeri 3 (ringan), ekspresi wajah tenang, masalah nyeri teratasi sebgian
sehingga intervensi yang dilanjutkan yaitu : mengkaji tingkat nyeri yang
dirasakan pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik (0-10) dimana 0 =
tidak ada nyeri 1-3 = nyeri ringan 4-7 =
nyeri sedang 8-10 = nyeri berat dan didapatkan skala nyeri 3 (ringan), melaksanakan pemberian obat
sesuai dengan anjuran dokter yaitu analgetik asam mefenamat 1x 500 mg, melakukan
pembersihan luka diarea heating dengan tehnik steril dengan cara perawat mencuci tangan dan memakai handscun steril
lalu membersihkan luka dengan NaCl dan Betadine secara searah.
Pada diagnosa kedua perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, dengan hasil
yang diharapkan yaitu : Pasien mengatakan masih tidak selera makan, data
objektifnya, tanda-tanda vital. Jam : 09:00 wib (Tekanan darah: 110/70 mmHg, denyut
nadi: 64x/menit, suhu: 36.20C, pernafasan: 20 x/menit ). Jam 15:00
wib (Tekanan darah: 110/70 mmHg, denyut nadi: 64 x/menit, suhu: 36,20C,
pernafasan: 20 x/menit), sehingga masalah perubahan nutrisi belum teratasi,
intervensi dilanjutkan yaitu : menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang
sedikit tapi sering, memberikan minuman pada saat pasien makan, mengkaji
tanda-tanda vital : Jam 09:00 wib (Tekanan darah : 110/70 mmHg, denyut nadi: 64
x/menit, Suhu :36,20C, pernafasan: 20 x/menit).Jam 15:00 wib (Tekanan
darah:110/70 mmHg, denyut nadi:64x/menit, suhu:36,2 0C, pernafasan: 20
x/menit).
Pada diagnosa intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai denganpasien mengatakan aktivitas
sudah bisa dilakukan sendiri, dan data objektifnya tingkat ketergantungan 0, keadaan
umum baik, ini menunjukkan bahwa masalah sudah teratasi dan
intervensi dihentikan. Pasien sudah bisa melakukan aktivitas dengan
mandiri.
Melihat dari kasus, satu masalah
teratasi sebagian, dimana masalah nyeri teratasi sebagian karena skala nyeri 3
(ringan), masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi
karena pasien hanya makan dua suapan nasi dan satu buah jeruk, tetapi masalah
intoleransi aktivitas sudah teratasi karena tingkat ketergantungan 0 dan
seiring dengan pasien sudah menjalani perawatan selama 10 hari.
BAB III
PENUTUP
Setelah
menguraikan tentang post kraniotomi dan permasalahannya, penulis mengambil
suatu kesimpulan dan memberikan saran-saran yang dapat memanfaatkan bagi
pembaca terutama dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan post
kraniotomi.
3.1. Kesimpulan
3.1.1. Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan
untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Pada pasien kraniotomi
akan terlihat tanda dan gejala berupa pada penurunan kesadaran, nyeri kepala
sebentar kemudian membaik beberapa waktu kemudian timbul gejala yang berat dan
sifatnya progresif seperti: nyeri kepala hebat, pusing, penurunan kesadaran,
pada kepala terdapat hematoma subkutan, pupil dan isokor, kelemahan respon
motorik konta lateral, reflek hiperaktif
atau sangat cepat, bila hematoma semakin meluas maka timbul gejala deserebrasi
dan gangguan tanda vital serta fungsi respirasi . Setiap dilakukan tindakan
kraniotomi, biasanya pasien selalu lebih sensitif terhadap suara yang keras.
Pada pasien bisa juga terjadi afasia, kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah
paralisis, buta, dan kejang. Penatalaksanaannya adalah meningkatkan aliran
darah balik vena dan mengurangi rasa nyeri dengan terapi obat-obatan, atur
posisi pasien meninggikan kepala head up 300, ganti verban setiap
hari dan buka benang heating bila luka sudah kering, dan kolaborasi dengan tim
medis untuk pemberian obat analgetik yang dapat menghilangkan nyeri.
3.1.2. Pada saat pengkajian didapat data pada Tn.M sebagai berikut : data
subjektif , pasien mengatakan sakit dikepala, pasien mengatakan tidak selera
makan, pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga. Data
objektifnya adalah skala nyeri 6 (sedang), adanya bekas jahitan operasi
dikepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, exspresi wajah meringis, adalah
makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva
pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat, Tanda – tanda
vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmhg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan :
20 x / menit, suhu : 36.4°c), keadaan umum : lemah, pasien selalu meminta
bantuan pada perawat atau keluarga bila melakukan aktifitas (misalnya : makan
dan minum), pasien hanya tidur di tempat tidur, tingkat ketergantungan 2
(memerlukan bantuan dan pengawasan).
3.1.3. Diagnosa keperawatan yang didapat pada Tn.M dengan post kraniotomi
adalah nyeri berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.1.4. Intervensi direncanakan : kaji keluhan nyeri dan intensitas nyeri
dengan skala numerik (0 – 10), posisikan kepala tinggi, ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi, kolaborasi
dengan tim medis untuk obat anti nyeri, berikan perawatan luka (ganti balutan)
dengan tehnik steril, berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang
sering dengan teratur, jaga kebersihan mulut pasien, berikan pendidikan
kesehatan tentang cara diet, sesuai dengan tindakan keperawatan berhubungan
nutrisi, selingi makan dengan minum, kolaborasi dengan tim medis, Kaji tanda-tanda
vital, intervensinya kaji tingkat ketergantungan aktivitas, kelemahan saat
aktivitas, anjurkan keluarga untuk membantu pasien memenuhi kebutuhan
sehari-hari, dekatkan segala kebutuhan pasien dengan tempat tidur, lakukan
istirahat yang adekuat setelah latihan dan aktivitas.
3.1.5. Implementasi keperawatan : mengkaji tingkat
nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik ( 0-10)
dimana 0= tidak ada nyeri 1-3= nyeri ringan 4-7= nyeri sedang 8-10= nyeri berat
dan di dapatkan skala pasien 6 ( nyeri sedang ), mengatur posisi senyaman
mungkin, head up 300, melakukan distraksi dengan cara mengalihkan
perhatian dan konsentrasi pasien seputar kegiatan sehari – hari sebelum di
rawatkan dan untuk relaksasi ajarkan pasien nafas dalam kemudian keluarkan
secara perlahan – lahan melalui mulut, melaksanakan pemberian obat sesuai
dengan ajuran dokter, yaitu analgetik asam mefenamat 1x500 mg, melakukan
pembersihan luka diarea heating dengan teknik steril dengan cara perawat mencuci
tangan dan memakai handscun steril lalu membersihkan luka dengan Nacl dan
betadine secara searah, menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang sedikit tapi
sering, menganjurkan pasien untuk sering menyikat gigi untuk meningkat selera makan,
memberikan pengetahuan pentingnya nutrisi dalam proses penyembuhan, memberikan
minuman pada saat pasien makan, mengkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
vitamin nafsu makan, mengkaji tanda-tanda vital, Jam : 09:00 wib(Tekanan darah:
100/60 mmhg, denyut nadi: 62 x/menit, suhu: 36,4°c, pernafasan: 20 x/menit),
Jam : 16:00 wib (Tekanan darah :100/60mmhg, denyut
nadi: 62 x/ menit, suhu: 36,2°c, pernafasan: 20 x/ menit), mengkaji tingkat
ketergantungan ( 0 – 4 ): (0) pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri,
(1) Memerlukan bantuan atau perawatan minimal, (2) Memerlukan bantuan dengan
pengawasan, (3)Memerlukan bantuan dengan perawatan terus – menerus dan alat
khusus, (4) Bergantung secara total pada pemberian pelayanan, di dapat tingkat
ketergantungan pasien 2. Dan menganjurkan
keluarga untuk membantu aktivitas pasien seperti makan, BAB dan BAK, menganjurkan
keluarga untuk mendekatkan semua kebutuhan pasien didekat tempat tidur seperti
makanan dan minuman agar pasien mudah mengambilnya, menganjurkan pasien untuk
beristirahat setelah melakukan aktivitas seperti makan, melakukan AFF kateter.
3.1.6. Evaluasi
keperawatan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
hari adalah satu masalah teratasi sebagian, dimana masalah nyeri teratasi sebagian,
satu masalah belum teratasi yaitu masalah perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, tetapi masalah intoleransi aktivitas sudah teratasi. Hal ini
disebabkan karena membutuhkan waktu yang lama dan maksimal untuk memberi asuhan
keperawatan dan masalah akan teratasi seiring dengan penyembuhan luka bekas
operasi.
3.2.
Saran
3.2.1. Diharapkan kepada seluruh tim kesehatan
khususnya profesi perawat dan terutama mahasiswa
keperawatan agar dapat mengembangkan diri, memperluas wawasan melalui
buku-buku, media massa dan elektronik agar dapat meningkatkan pengetahuan,
khususnya dalam merawat.
3.2.2 Diharapkan kepada pembaca khususnya
teman-teman saya agar dapat membaca KTI ini untuk menambah ilmu pengetahuan
tentang cara merawat pasien dengan post kraniotomi.
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca,
Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan
Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Baughman, Diane
L. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Dari Brunner Dan Suddarth. Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lj.
2001. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi
Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Doengoes,
E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Gibson,
John. 2002. Fisiologi Dan Anatomi Modern
Untuk Perawat, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Hidayat,
Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Hudak,
Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis
Pendekatan Holistik, Edisi 6, Volume 2. Jakarta : EGC.
Mansjoer,
Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta : FKUI.
Muttaqin,
Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Salemba Medika.
Nursalam.
2001. Proses Dan Dokumentasi
Keperawatan, Konsep Dan Praktis. Jakarta : Salemba Medika.
Pearce,
Evelyn. 2002. Anatomi Dan Fisiologi
Untuk ParaMedis. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Pierce
dan Borley. 2006. Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Price,
Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta :
EGC.
RSUDZA.
2010. Register Medikal Recard Ruang
Rawat Bedah Pria 2010/2011
Edisi Revisi. Banda Aceh.
Syaifuddin,
H. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Weiner,
Howard L. 2001. Buku Saku Neurolologi. Jakarta : EGC.
Widagdo,
Wahyu. 2008. Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan GangguanSistem
Persarafan. Jakarta : Trans Info Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar