Kamis, 28 Februari 2013

PENDEKATAN HOLISTIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM



           Pendekatan holistik dalam menangani berbagai penyakit di bidang kedokteran konsep dasarnya sudah diterapkan sejak awal perkembangan ilmu kedokteran itu sendiri. Konsep dasar ini bertumpu pada anggapan bahwa manusia adalah sesuatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari badan dan jiwa, yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Selain itu manusia adalah makhluk sosial yang setiap saat berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungannya dimana dia berada.
            Adanya dikotomi antara badan dan jiwa dalam menangani pasien agaknya lebih merupakan akibat dari perkembanngan ilmu dari kedokteran yang tidak seimbang antara kemajuan yang dicapai di bidang fisik seperti patologi-anatomi, biokimiawi, biologi dan sebagainya dibandingkan dengan kemajuan di bidang non-fisik.
            Oleh karena itu nampaknya kita harus mundur dulu jauh ke belakang mengingat kembali beberapa ratus tahun sebelum Masehi pada saat Socrates dan Hipocrates melakukan dasar pendekatan holistik yang menyatakan bahwa selain faktor fisik, faktor psikis sangat penting pada kejadian dan perjalanan penyakit seorang pasien.
            Ucapan Socrates (400 BC) yang sangat popular adalah: As it is not proper to cure the eyes without the head; nor the head without the body; so neither it is the proper to cure the body without the soul. Tidaklah etis seorang dokter mengobati mata tanpa melihat kepala dan tidak etis bila mengobati kepala tanpa mengindahkan badannya; lebih-lebih sangatlah tidak etis bila mengobati badannya tanpa mempertimbangkan jiwanya. Sedangkan Hipocrates menekankan pentingnya pendekatan holistik dengan mengatakan: In order to cure the human body, it is necessary to have a knowledge of the whole of things.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep kedokteran dasar tersebut mengalami pasang-surut sesuai dengan pengaruh alam fikiran para ahli pada zamannya. Pada abat pertengahan konsep dan cara berfikir para ahli kedokteran banyak dipengaruhi oleh alam pikiran fisika dan biologi semata. Pendekatan pada orang sakit semata-mata adalah pendekatan somatis saja.
Pada saat itu pengetahuan tentang sel menonjol dan mengalami perkembangan pesat, karenanya pandangan para ahli hanya ditujukan pada bidang selular semata tanpa mengindahkan faktor-faktor lain seperti faktor psikis, sehingga pada zaman ini seolah-olah dokter bertindak sebagai “mekanik” yang memperbaiki bagian-bagian “kendaraan” yang rusak.
Pada masa ini kita mengenal sarjana Virchow (1812-1902) seorang ahli patologi anatomi yang memperkenalkan teori Patologi Selular dengan dogmanya omnis cellula et cellula. Dengan sendirinya pada masa ini yang menonjol adalah anggapan bahwa manusia sakit disebabkan oleh karena selnya yang sakit. Manusia hanya dipandang sebagai kumpulan sel belaka.
Kemajuan di bidang patologi-anatomi serta patofisiologi berikutnya mendorong para ahli untuk berfikir menurut organ tubuh dan sistem. Masa inipun agaknya belum memandang manusia secara utuh. Timbullah beberapa macam cabang ilmu spesialistis menurut sistem yang ada dalam tubuh seperti kardiovaskular, paru-paru, urogenital, gastrointestinal dan sebagainya, walaupun memang pada gilirannya nanti pendekatan secara sistem di atas bermanfaat pada peningkatan mutu pelayanan.
Pendekatan menurut organ dan sistem kenyataannya tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Banyak diantaranya beberapa pasien yang tidak merasakan adanya kesembuhan setelah mendatangi beberapa ahli sesuai dengan organ tubuh yang dideritanya. Keluhan-keluhan fisik tetap saja tidak berkurang. Sejalan dengan kenyataan ini para ahli kedokteran mulai menengok kembali sisi lain, yaitu semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan manusia termasuk aspek psikis.
Di pihak lain dalam perkembangan ilmu kedokteran ini para ahli psikoanalisa menemukan dan menekankan kembali pentingnya peran faktor-faktor psikis dan lingkungan dalam kejadian dan perjalanan suatu penyakit. Bahkan kemudian para ahli yakin bahwa patologi suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja tetapi terletak pada organisme yang hidup, dan kehidupan tidak ditentukan oleh faktor biologis semata tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yaitu bio-sosio-kultural dan bahkan agama. Inilah konsep yang memandang manusia/orang sakit secara utuh dan paripurna (holistik).
Faktor-faktor fisik, psikis dan lingkungan masing-masing mempunyai inter-relasi dan interaksi yang dinamis dan terus-menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat ketiganya dalam keadaan yang seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi maka akan mempengaruhi pula pada segi yang lainnya dan sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa setiap penyakit memilliki aspek fisik, psikis dan linkungan bio-sosio-kultural dan agama. Dengan demikian konsep mono-kausal dari suatu penyakit sudah tidak dianut lagi.
Pendekatan holistik yang sedemikian itu kenyataannya semakin dirasa perlu, karena pendekatan semata-mata hanya dari sudut fisik saja baik secara teknis, mekanis, biokemis, dan fisiologis ternyata dirasakan semakin tidak banyak menolong pasien dengan sempurna dan memuaskan, terutama pada pasien-pasien dengan penyakit yang tergolong gangguan fungsional.
Dengan perkataan lain, seorang dokter sebagai manusia yang sarat dengan segala pengetahuan yang dimilikinya secara timbal-balik mengobati pasien/pasien juga sebagai manusia dengan segala aspeknya yang harus dipertimbangkan. Dan tidaklah semata hanya memandang pasien sebagai “sosok tubuh” yang tidak berdaya tergolek di tempat tidur, atau melulu hanya melihat “penyakit”-nya saja.
Kemajuan yang pesat di bidang ilmu kedokteran termasuk pengetahuan tentang biomolekular, rekayasa genetik dan kemajuan di bidang teknologi kedokteran (baik untuk diagnostik maupun terapetik) yang semakin canggih di satu pihak membawa dunia kedokteran ke dalam era baru yang semakin maju. Tetapi di pihak lain seiring dengan merebaknya globalisasi, kemajuan-kemajuan yang dicapai tadi seiring pula menimbulkan malapetaka, misalnya dengan pemanfaatan teknologi kesehatan yang tidak pada tempatnya atau makin banyak praktek-praktek yang tergolong “mal praktis” yang dilakukan oleh oknum tenaga kesehatan/dokter yang tidak bertanggung jawab.
Disinilah dalam kaitannya dengan pendekatan holistik tadi perlunya diperhatikan masalah “etika”, moral dan agama. Kemampuan menggunakan alat canggih serta kepandaian pemanfaatan laboratorium yang memadai sebagai modal dasar untuk melakukan terapi, belumlah cukup untuk menjadi dokter yang baik. Kombinasi antara pengetahuan medik, intuisi dan pertimbangan-pertimbangan yang matang adalah “seni” dalam bidang kedokteran yang diperlukan sebagai modal dalam praktek. Memang benar sekali bahwa medicine is a science and art.
Dalam kaitannya dengan masalah etika kedokteran, maka yang harus diperhatikan adalah hak dan kewajiban dokter di satu sisi, dan di sisi lain adalah hak dan kewajiban pasien. Hak-hak pasien dalam hukum kedokteran bertumpu dan berdasarkan atas dua hak azasi manusia, yaitu:
1.      Hak atas pemeliharaan kesehatan (The right to health care).
2.      Hak untuk menentukan nasib sendiri (The right to self determination).
Pasien berhak untuk menerima atau menolak tindakan pengobatan sesudah ia memperoleh keterangan yang jelas, Informed consent adalah persetujuan pasien atas tindakan setelah sebelumnya diinformasikan terlebih dahulu secara jelas dan bukan hanya sekedar memperoleh tandatangan pasien. Inilah hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagaimanakah pendekatan holistik yang menjunjung tinggi etik ini di masa yang akan datang dengan kemajuan ilmu kedokteran yang semakin pesat dan juga semakin merebaknya arus globalisasi? Jawabannya tentu merupakan tantangan besar yang harus dihadapi secara arif dan bijaksana oleh para praktisi di bidang medik.
Sebagai ilustrasi terdapat beberapa pertanyaan yang belum terjawab yang merupakan tantangan di masa yang akan datang:
ü  Apa yang akan dilakukan terhadap kelebihan frozen embryo yang belakangan dilaporkan tersimpan di laboratorium?
ü  Bagaimana menyikapi keabadian benda-benda biologis seperti sperma, yang saat ini sudah bisa dilakukan?
ü  Bagaimana segi-segi hukum yang mengatur tentang inseminasi buatan, serta bagaimana akibat yang mungkin terjadi di masa datang?
ü  Bagaimana pendekatan kepada sejumlah pasien hepatitis B karier yang masih harus melakukan aktivitas kerjanya dan bagaimana anggapan lingkungan sekelilingnya?
ü  Bagaimana perlakuan terhadap pasien dengan HIV positif?
ü  Dsb, dsb.

Nampaknya pada masa yang akan datang masih diperlukan produk hukum dan perundang-undangan dengan tetap bersumber dan mengindahkan segi-segi dan sendi agama.
Perkembangan di bidang biologi molekular telah membawa dunia kedokteran maju dangan pesat, baik dalam segi diagnostik maupun terapi. Belakangan misalnya telah dikembangkan “terapi gen”. Pada bulan September 1990 yang lalu Michael Bleese dkk, telah memulai terapi gen terhadap pasien Ashanti 4 tahun, yang menderita Several Combined Immunodeficiency (SCID) dan berhasil membuat pasien lebih kebal dari serangan infeksi hingga pasien berumur 9 tahun saat dilaporkan oleh Scientific American. Beberapa penyakit lain yang mungkin dapat diperbaiki oleh terapi gen ini misalnya Leukimia, Limfoma Maglinum, Kistik Fibrosis, Reumatoid Artritis, AIDS dan sebagainya. Ini merupakan harapan baru, namun yang harus tetap diingat adalah bahwa yang dihadapi dalam hal ini bukanlah sel, tetapi manusia sebagai kumpulan sel yang segi-segi lainnya tetap harus dipertimbangkan.

Manfaat Pendekatan Holistik
Sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan secara holistik dalam penanganan berbagai kasus harus senantiasa dilakukan. Pendekatan holistik yang dimaksud sekali lagi ditekankan ialah, pendekatan yang memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan pasien. Tidak hanya memandang segi fisik-biologis saja, tetapi juga mempertimbangkan segi-segi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang mempengaruhi pasien serta menjunjung tinggi norma-norma, etika dan agama.
Dengan berdasarkan pengertian seperti di atas, maka pendekatan holistik akan memberikan banyak manfaat, antara lain:
1.      Mendekatkan hubungan antara dokter dengan pasien. Dengan demikian persoalan penyakit/pasien menjadi transparan. Hal ini berarti menjunjung tinggi hak dan kewajiban pasien. Akibat yang menguntungkan adalah mempermudah rencana tindakan/penanganan selanjutnya. Hubungan yang baik antara dokter dengan pasien akan mengurangi ketidakpuasan pasien. Selanjutnya tentu akan mengurangi tuntutan-tuntutan hukum pada seorang dokter.
2.      Pendekatan holistik yang menjunjung tinggi norma, etika dan agama membuahkan pelayanan yang lebih manusiawi serta menempatkan hak pasien pada porsi yang lebih baik.
3.      Dari segi pembiayaan akan tercapai cost-effectiveness, hemat dan mencapai sasaran. Dalam kaitan ini, maka konsultasi yang tidak dianggap perlu akan berkurang. Pemakaian alat canggih yang berlebihan dan tidak perlu juga akan berkurang. Untuk kelainan yang bersifat fungsional misalnya, dengan pendekatan holistik tidak lagi harus menjalani pemeriksaan penunjang yang berlebih-lebihan. Pemakaian obat-obat yang bersifat “multi farmasi” yang biasanya didapatkan pasien dari beberapa subbagian yang terkait dengan penyakit-penyakitnya akan bisa dikurangi sesedikit mungkin.
4.      Dalam bidang pendidikan jelas pendekatan holistik harus sudah ditekankan sejak awal sebagai bekal, baik selama menempuh pendidikan maupun pada saat sang dokter terjun ke masyarakat. Dengan bekal pendekatan holistik bagi dokter yang sedang menempuh pendidikan, maka jelas fikirannya tidak menjadi terkotak-kotak, misalnya hanya berfikir menurut cabang ilmu di subbagian yang sedang diketahui.



DAFTAR PUSTAKA

Anderson WP. Gene Therapy: Scientific American 1995. Sept: 96-9.
Gina Maranto. Embryo Overpopulation. Scientific American 1996; April: 12-6.
Horton R. What to Do With Spare Embryos. Lancet 1996;347:1-2.
Isselbacher KJ, Braunwald E. The Practice of Medicine. In: Isselbacher KJ (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th ed. New York. Mc Graw-Hill Inc. 1995:1-6.
Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ. Clinical Ethics. 2th ed. New York. Macmillan Publishing Co. Inc, 1996.
Kaplan HI. History of Psychosomatic Medicine. In: Kaplan HI (ed). Comprehensive Textbook of Psychiatry/V vol.2 5th ed. Baltimore. William & Wilkins. 1989:1155-60.
Lo B. Ethical Issues in Clinical Medicine. In: Isselbacher KJ (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th ed. New York. Mc Graw-Hill Inc. 1995:6-8.
Oken D. Current Theoritical Concepts in Psychosomatic Medicine. In: Kaplan HI (ed). Comprehensive Textbook of Psychiatry/V vol.2 5th ed. Baltimore. Williams & Wilkins. 1989:1160-9.
Samil RS. Hak Serta Kewajiban Dokter dan Pasien. Dalam: Tjokronegoro (ed). Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 1994: 42-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar