Sabtu, 19 Maret 2011

ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM



DEFINISI KEJANG DEMAM
Kejang demam adalah kebangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968) (Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 380C atau lebih (Soetomenggolo, 1989; Lumbantobing, 1995). Kejang terjadi akibat loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang mendadak dan lebih dari biasanya, yang meluas ke neuron sekitarnya atau dari substansia grasia ke substansia alba yang disebabkan oleh demam dari luar otak (Freeman, 1980).
ETIOLOGI
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), pneumonia(Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Saat ini makin banyak saja virus yang berhasil diidentifikasi. Meski virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas-terutama pada anak-anak- gangguan ini bisa memicu pneumonia. Untunglah, sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influensa, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian, Virus yang menginfeksi paru akan berkembang biak walau tidak terlihat jaringan paru yang dipenuhi cairan. Gejala Pneumonia oleh virus sama saja dengan influensa, yaitu demam, batuk kering sakit kepala, ngilu diseluruh tubuh. Dan letih lesu, selama 12 ? 136 jam, napas menjadi sesak, batuk makin hebat dan menghasilkan sejumlah lendir. Demam tinggi kadang membuat bibir menjadi biru), gastroenteritis akut, exantema subitum (Penyakit eksantema virus yang sering menyerang bayi (infants) dan anak-anak (young children). Ditandai dengan demam tinggi yang mendadak dan sakit tenggorokan ringan. Beberapa hari kemudian terdapat suatu faint pinkish rash yng berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari.
) salah satu komplikasinya adalah kejang demam, bronchitis, dan infeksi saluran kemih (Goodridge, 1987; Soetomenggolo, 1989). Selain itu juga infeksi diluar susunan syaraf pusat seperti tonsillitis, faringitis, forunkulosis serta pasca imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) dapat menyebabkan kejang demam.
Faktor lain yang mungkin berperan terhadap terjadinya kejang demam adalah :
  1. Produk toksik mikroorganisme terhadap otak (shigellosis, salmonellosis)
  2. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi.
  3. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
  4. Gabungan dari faktor-faktor diatas.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang antara lain:
  1. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
  2. Riwayat kejang demam dalam keluarga
  3. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal
  4. Riwayat demam yang sering
  5. Kejang pertama adalah complex febrile seizure
Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai demam. Epilepsi merupakan faktor bawaan yang disebabkan karena gangguan keseimbangan kimiawi sel-sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba. Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang rendah terhadap cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena sinar lampu yang tajam.
PATOFISIOLOGI
  1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
  2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya
  3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan



Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C akan menyebabkan kenaikan metabolisme basal (jumlah minimal energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh) sebanyak 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada anak balita aliran darah ke otak mencapai 65% dari aliran darah ke seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa aliran darah ke otak hanya 15%. Jadi, pada balita dengan kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran sel neuron tadi, sehingga mengakibatkan terjadinya pelepasan muatan listrik. Besarnya muatan listrik yang terlepas sehingga dapat meluas/menyebar ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter. Akibatnya terjadi kekakuan otot sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
  1. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi. Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu:
  1. Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.
  2. Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.
  3. Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal
  4. Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
  5. Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
  6. Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :
MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang mungkin timbul saat anak mengalami Kejang Demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
  1. Anak hilang kesadaran
  2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
  3. Sulit bernapas
  4. Busa di mulut
  5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
  6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
  1. Kejang demam sederhana (simple febrile confulsion)
  2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam (epilepsy triggered of by fever)
Kriteria livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai sebuah pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam sederhana yaitu:
  1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
  2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
  3. Kejang bersifat umum
  4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
  5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang demam normal
  6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan
  7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam, kejang ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
  1. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Dalam penanggulangan kejang demam ada 6 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
  1. Mengatasi kejang secepat mungkin
  2. Pengobatan penunjang
  3. Memberikan pengobatan rumat
  4. Mencari dan mengobati penyebab
  5. Mencegah terjadinya kejang dengan cara anak jangan sampai panas
  6. Pengobatan akut
  7. Mengatasi kejang secepat mungkin
Sebagai orang tua jika mengetahui seorang kejang demam, tindakan yang perlu kita lakukan secepat mungkin adalah semua pakaian yang ketat dibuka. Kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin. Dan bisa juga diberikan sesuatu benda yang bisa digigit seperti kain, sendok balut kain yang berguna mencegah tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan nafas. Bila suhu penderita meninggi, dapat dilakukan kompres dengan es/alkohol atau dapat juga diberi obat penurun panas/antipiretik
ASUHAN KEPERAWATAN
  1. 1. Pengkajian
    1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter
    2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
    3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka rangsangan.
    4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
    5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi
    6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra
    7. g. Riwayat jatuh / trauma
  1. 2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1)      Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
2)      Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
3)      Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Intervensi
Diagnosa 1
Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot
Tujuan:Cidera/trauma tidak terjadi
Kriteria hasil:Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.      Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
2.      Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
3.      Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
4.      Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
5.      Lindungi klien dari trauma atau kejang.
6.      Berikan kenyamanan bagi klien.
Kolaborasi
7.      Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan
1.      Demam, berbagai obat dan stimulasi lain (spt kurang tidur, lampu yang terlalu terang) dapat meningkatkan aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2.      membedakan tanda dan gejala kejang sebelum, selama, dan sesudah kejang untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan pada klien
3.      membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena
4.      mencatat keadaan posiktal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal
5.      mencegah terjadinya cedera pasca kejang
6.      dengan adanya rasa nyaman klien akan merasa lebih tenang dan dengan adanya rasa nyaman ini akan membantu dalam proses penyembuhan.
7.      untuk mencegah terjadinya kejang berulang
Evaluasi
Trauma tidak terjadi
Diagnosa 2
Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Tujuan:Inefektifitasnya bersihan jalan napas
Kriteria hasil :Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
  1. Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
2.       Lakukan penghisapan lendir,
3.      hindari hiperekstensi leher
Kolaborasi
4.      kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi  O2
1..      tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien, posisi fowler/semifowler dapat meningkatkan ekspansi dada maksimal, membuat mudah bernapas sehingga meningkatkan kenyamanan.
2.      mencegah terjadinya penumpukan lendir, dan mempermudah jalan napas.
3.      dapat menghambat jalan napas
4.      pemberian terapi bertujuan untuk mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg.
Evaluasi
Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Diagnosa 3
Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan:Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria hasil:Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal
INTERVENSI
RASIONAL
1.      Kaji factor pencetus kejang.
2.      Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
3.      Observasi tanda-tanda vital.
4.      Lindungi anak dari trauma.
5.      Berikan kompres dingin pada daerah dahi dan ketiak.
1.      mencegah terjadinya peningkatan aktifitas otak yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2. keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan pasien anak dan mempererat hubungan psikologis anak dengan orang tua 3.tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
4.mencegah terjadinya cedera pasca kejang 5kompres dingin dapat atau akan
menurunkan suhu tubuh


Evaluasi:Aktivitas kejang tidak berulang

ASUHAN KEPERAWATAN SIROSIS HEPATIS



I.    KONSEP DASAR PENYAKIT

A.    PENGERTIAN

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price & Willson, 2005, hal : 493).

Sirosis hepatis adalah penyakit kronik hati yang dikarakteristikkan oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi, gangguan fungsi seluler, dan selanjutnya aliran darah ke hati (Doenges, dkk, 2000, hal: 544).

B.     ETIOLOGI

Ada 3 tipe sirosis hepatis :
a.       Sirosis portal Laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
b.      Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c.       Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi di dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

1.      Etiologi yang diketahui penyebabnya :
-          Hepatitis virus B dan C.
-          Alcohol.
-          Metabolic.
-          Kolestasis kronik/sirosis siliar sekunder intra dan ekstra hepatic.
-          Obstruksi aliran vena hepatic.
-          Gangguan imunologis hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif.
-          Toksik dan obat INH, metilpoda.
-          Operasi pintas usus halus pada obesitas.
-          Malnutrisi, infeksi seperti malaria.

2.      Etiologi tanpa diketahui penyebabnya :
-          Sirosis yang tidak dikethui penyebabnya dinamakan sirosis kriptogenik/heterogenous.

C.    PATOFISIOLOGI

Minuman yang mengandung alkohol, zat kimia
(tetraklorida, naftalon, terklorinasi, arsen atau fosfor)

Adanya kapilerisasi             Membentuk ekstraseluler matriks           Pembengkakan pada
(ukuran pori seperti                 yang mengandung kolagen,                            hati
  endotel kapiler)                  glikoprotein, dan proteglikans
                                               (dibentuk oleh sel stellata)

                                         Terjadinya penekanan pada banyak           Mengganggu proses
                                                              vena di hati                           aliran darah ke sel
                                                                                                                        hati
                                                           Hipertensi porta
                                                                                                                 Sel hati mati          
                                                                   Asites                                                                                                                                                                      Banyaknya fungsi hati yang
                                                    Varises gastrointestinal                              rusak

                                                                  Edema                                 gagal hati kronis

D.    MANIFESTASI KLINIS

Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula glisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi portal dan asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Pasien juga cenderung menderita dyspepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangi ektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan,  yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises gastrointestinal. Edema, gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.

E.     KOMPLIKASI

Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis, dan pengobatan tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :
a.       Kegagalan hati (hepatoseluler) : timbul spider nevi, eritema Palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.
b.      Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esophagus/cardia, caput medusa, hemoroid, vena kolateral dinding perut.

Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :
-          Asites.
-          Ensefalopati.
-          Peritonitis bacterial spontan.
-          Sindrom hepatorenal.
-          Transformasi kea rah kanker hati primer (hepatoma).



F.     PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.      Pemeriksaan Laboratorium
a.       Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom mikrosister/hipokrom makrosister.
b.      Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
c.       Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
d.      Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
e.       Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
f.       Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein)  penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.

2.      Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a.       Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
b.      Esofagoskopi : dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal.
c.       Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan rutin pada penyakit hati.


G.    PENATALAKSANAAN

Terapi dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.
1.      Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan control yang teratur, istirahat yang cukup, susunan TKTP.
2.      Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui, seperti : alcohol, dan obat-obatan lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alcohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (desperioxamine). Dilakukan vanaseksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun. Pada penyakit willson (penyakit metabolic yang diturunkan) diberikan D-penicilamine 20 mg/kg BB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui urine. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid, pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
a.       Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 L/hari. Spirolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari, bila perlu dikombinasi dengan furosemid.
b.      Perdarahan varises esophagus. Pasien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran cerna. Pertama melakukan pemangan NGT, disamping melakukan aspirasi cairan lambung. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/menit atau Hb 9 g% dilakukan pemberian dekstrosa/salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali. Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan varises. Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan berasal dari pecahnya varises. Operasi pintas dilakukan pada child AB atau dilakukan transeksi esophagus (operasi Tannerso). Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe. Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk mencegah rebleeding dapat diberikan propanolol.
c.       Untuk ensefalopati dilakukan koreksi factor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma, pemberian neomisin per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan transplantasi hati dengan menggunakan bahan Cadaveric Liver.
d.      Terapi yang diberikan berupa antibiotic seperti cefotaxime 2 g/8 jam I.V. amoxicillin, aminoglikosida.
e.       Sindrom hepatorenal/nefropati hepatic, terapinya adalah imbangan air dan garam diatur dengan ketat, atasi infeksi dengan pemberian antibiotic, dicoba melakukan parasentesis abdominal dengan ekstra hati-hati untuk memperbaiki aliran vena cava, sehingga timbul perbaikan pada curah jantung dan fungsi ginjal.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang muncul pada sirosis hepatis adalah sebagai berikut:

1.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan/Kriteria Hasil: Status nutrisi baik.
Intervensi:
-       Kaji intake diet, ukur pemasukan diet, timbang BB tiap minggu.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
-       Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
-       Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan cultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
-       Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan makanan lunak.
Rasional : Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan system pencernaan.
-       Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional : Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah.
-       Berikan obat sesuai dengan indikasi : tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan enzim pencernaan.
Rasional : Hati yang rusak tidak dapat menyimpan vitamin A, B komplek, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.
-       Kolaborasi pemberian antiemetic.
Rasional : Untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.

2.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan/Kriteria hasil : peningkatan energy dan partisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
-       Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
-       Berikan suplemen vitamin (A, B komplek, C dan K).
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
-       Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
-       Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.

3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan/Kriteria hasil : Integritas kulit baik.
Intervensi :
-       Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrient dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
-       Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
-       Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
-       Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
 

DAFTAR PUSTAKA


Smeltzer, Suzanne C, dkk. (2001). Keperawatan Medikal Bedah 2. Edisi 8. Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Tjokonegoro, dkk. (1996). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.
Price, Sylvia A, dkk. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.